Bab 45 — Pertempuran di Pagi Buta

Pagi itu datang tanpa warna.

Langit kelabu.

Kabut dingin merayap di antara pepohonan dan tanah berbatu.

Di kejauhan, suara langkah pasukan Elmar mengguncang bumi, seperti gemuruh badai yang mendekat.

Arvin berdiri di garis depan, bendera dengan lambang tangan terulur berkibar di belakangnya.

Di sekitarnya, pasukan kecilnya bersiap — perisai seadanya, tombak buatan sendiri, pedang tua.

Namun di mata mereka, ada api yang tidak bisa dipadamkan.

Elira, di samping Arvin, menggenggam busur di tangannya.

Mata mereka bertemu — tak ada kata-kata yang perlu diucapkan.

Mereka siap.

---

Teriakan perang pertama memecah keheningan.

Pasukan Elmar muncul dari balik kabut — barisan rapi, zirah mengilap, tombak teracung.

Arvin mengangkat pedangnya tinggi ke udara.

> "Untuk dunia baru!" serunya.

"UNTUK DUNIA BARU!!"

Gema pekik para pejuang menjawab, mengguncang udara.

Dan tanpa ragu, mereka berlari maju.

---

Benturan pertama terasa seperti petir menghantam bumi.

Tombak bertemu perisai.

Pedang beradu dengan pedang.

Arvin menebas ke depan, gerakannya cepat dan tajam.

Setiap ayunan pedangnya bukan hanya untuk bertahan hidup — tapi untuk membela semua harapan yang mereka bawa.

Di sisi lain, Elira memanah tanpa henti, anak panahnya selalu menemukan sasaran di antara celah zirah musuh.

Pasukan Elmar, meski lebih terlatih, tidak siap menghadapi kegigihan para pejuang Arvin.

Setiap langkah yang mereka ambil, dibalas dengan darah dan tekad.

---

Namun, keunggulan jumlah mulai terasa.

Pasukan Arvin mulai terdesak.

Benteng-benteng kecil dari kayu dan batu mulai runtuh di bawah tekanan.

Arvin berteriak:

> "Bertahan! Jangan mundur!"

Ia sendiri melompat ke tengah medan, menghadapi tiga prajurit sekaligus.

Dengan kecepatan dan keberanian, ia menjatuhkan mereka satu per satu, meski bahunya terkena luka ringan.

---

Di tengah kekacauan, suara terompet perang terdengar dari arah utara.

Arvin menoleh.

Dari celah hutan, pasukan tambahan Elmar muncul.

Pengepungan.

Mereka bermaksud memotong jalur mundur Arvin.

Elira berlari ke arah Arvin, darah membasahi lengannya.

> "Mereka mengirimkan pasukan kedua! Kita terjepit!"

Arvin mengepalkan tangan.

> Mereka meremehkan kita, pikirnya.

Dengan cepat, Arvin membuat keputusan:

> "Buka jalur ke sungai! Kita bergerak mundur ke barisan belakang! Di sana kita punya keunggulan!"

---

Pertempuran berubah.

Alih-alih melawan mati-matian di tempat terbuka, pasukan Arvin mulai bergerak — bertarung sambil mundur perlahan ke arah sungai berbatu yang mengalir deras.

Di sana, di medan sempit dan licin itu, jumlah besar pasukan Elmar menjadi tidak berguna.

Formasi mereka kacau.

Arvin memimpin serangan balik kecil — serangan gerilya, cepat, mematikan.

---

Sore harinya, kedua belah pihak sama-sama kelelahan.

Mayat berserakan di medan perang.

Tanah basah oleh darah dan hujan yang mulai turun.

Pasukan Elmar, melihat kesulitan untuk maju, akhirnya menarik mundur pasukan untuk sementara.

Arvin berdiri di tepi sungai, pedangnya meneteskan darah dan hujan.

Tubuhnya penuh luka.

Napasnya berat.

Namun... mereka bertahan.

Mereka bertahan.

---

Di tenda pertempuran, Arvin dan Elira menatap peta sederhana yang dibuat dari kain lusuh.

Elira menunjuk arah timur.

> "Jika kita tidak bergerak cepat, mereka akan mengepung kita lagi."

Arvin mengangguk.

> "Kita perlu sekutu. Lebih banyak orang yang berani bermimpi."

Matanya bersinar, meski tubuhnya penuh kelelahan.

> "Peperangan baru saja dimulai."

---

Bab 45 selesai.