Malam itu, di kamp sederhana mereka di tepi sungai, udara dipenuhi bau darah, tanah basah, dan asap kayu bakar.
Luka-luka mereka dibalut seadanya.
Orang-orang duduk berdekatan, berbagi sisa makanan yang ada.
Beberapa di antaranya menghela napas panjang, beberapa lagi hanya menatap kosong ke arah kegelapan.
Keheningan yang berat.
Seolah-olah semua semangat telah habis terbakar.
Arvin berjalan perlahan di antara mereka, mengenali wajah-wajah yang kelelahan, namun juga penuh harap.
Setiap mata yang menatapnya mengandung pertanyaan yang sama:
> "Masih adakah harapan?"
---
Di tengah lingkaran api unggun, Arvin akhirnya berbicara.
> "Aku tahu, hari ini kita berdarah. Kita kehilangan banyak teman."
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah para korban yang baru saja mereka kuburkan.
> "Tapi dari abu kehancuran ini, ada bara kecil yang masih menyala."
> "Bara itulah kita."
Semua orang mulai mendengarkan, perlahan.
> "Selama kita masih bernapas, selama kita masih memegang impian akan dunia yang lebih adil, kita belum kalah."
Arvin menunduk sebentar, lalu mendongak dengan tatapan membara:
> "Mereka punya pasukan besar, benteng kokoh, dan pedang yang mengilap. Tapi kita punya sesuatu yang lebih kuat."
> "Kita punya kebenaran."
Suara Arvin menguat, mengalir ke setiap hati yang terluka di sekelilingnya.
> "Dan kebenaran — tidak bisa dibunuh hanya dengan pedang."
---
Keesokan harinya, Arvin memutuskan untuk mengambil langkah berani.
Bersama Elira dan sekelompok kecil pasukan, ia akan berkeliling ke desa-desa yang ditinggalkan, mencari orang-orang yang mungkin masih berani bermimpi.
Mereka membagi pasukan: sebagian bertahan menjaga kamp, sebagian lagi bergerak cepat ke luar.
---
Di sebuah desa yang hampir hancur, Arvin dan rombongannya menemukan sisa-sisa harapan.
Petani tua, pandai besi, anak-anak muda yang kehilangan keluarga karena perang.
Mereka semua takut — tapi ketika Arvin berbicara, sesuatu dalam diri mereka kembali menyala.
> "Bergabunglah dengan kami. Bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk membangun sesuatu yang lebih baik."
Sedikit demi sedikit, mereka mulai mengangkat kepala.
Menggenggam senjata tua mereka.
Mereka memilih untuk mempercayai Arvin.
---
Dalam beberapa hari, jumlah pasukan Arvin bertambah.
Mereka bukan tentara sempurna — jauh dari itu.
Tapi mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan untuk berjuang.
Dan itu membuat mereka jauh lebih kuat daripada pasukan mana pun yang hanya berperang untuk tahta kosong.
---
Di tempat lain, Raja Cedric mendengar laporan tentang Arvin yang kembali membangkitkan pasukan dari abu kehancuran.
Ia menggertakkan gigi, marah.
> "Aku harus memusnahkan bara itu," bisiknya pada dirinya sendiri.
"Sebelum bara itu berubah menjadi api yang membakar segalanya."
Dan ia mulai mempersiapkan serangan terakhir.
Serangan yang akan menentukan segalanya.
---
Bab 46 selesai.