Bab 46 — Bara di Antara Abu

Malam itu, di kamp sederhana mereka di tepi sungai, udara dipenuhi bau darah, tanah basah, dan asap kayu bakar.

Luka-luka mereka dibalut seadanya.

Orang-orang duduk berdekatan, berbagi sisa makanan yang ada.

Beberapa di antaranya menghela napas panjang, beberapa lagi hanya menatap kosong ke arah kegelapan.

Keheningan yang berat.

Seolah-olah semua semangat telah habis terbakar.

Arvin berjalan perlahan di antara mereka, mengenali wajah-wajah yang kelelahan, namun juga penuh harap.

Setiap mata yang menatapnya mengandung pertanyaan yang sama:

> "Masih adakah harapan?"

---

Di tengah lingkaran api unggun, Arvin akhirnya berbicara.

> "Aku tahu, hari ini kita berdarah. Kita kehilangan banyak teman."

Ia berhenti sejenak, menatap ke arah para korban yang baru saja mereka kuburkan.

> "Tapi dari abu kehancuran ini, ada bara kecil yang masih menyala."

> "Bara itulah kita."

Semua orang mulai mendengarkan, perlahan.

> "Selama kita masih bernapas, selama kita masih memegang impian akan dunia yang lebih adil, kita belum kalah."

Arvin menunduk sebentar, lalu mendongak dengan tatapan membara:

> "Mereka punya pasukan besar, benteng kokoh, dan pedang yang mengilap. Tapi kita punya sesuatu yang lebih kuat."

> "Kita punya kebenaran."

Suara Arvin menguat, mengalir ke setiap hati yang terluka di sekelilingnya.

> "Dan kebenaran — tidak bisa dibunuh hanya dengan pedang."

---

Keesokan harinya, Arvin memutuskan untuk mengambil langkah berani.

Bersama Elira dan sekelompok kecil pasukan, ia akan berkeliling ke desa-desa yang ditinggalkan, mencari orang-orang yang mungkin masih berani bermimpi.

Mereka membagi pasukan: sebagian bertahan menjaga kamp, sebagian lagi bergerak cepat ke luar.

---

Di sebuah desa yang hampir hancur, Arvin dan rombongannya menemukan sisa-sisa harapan.

Petani tua, pandai besi, anak-anak muda yang kehilangan keluarga karena perang.

Mereka semua takut — tapi ketika Arvin berbicara, sesuatu dalam diri mereka kembali menyala.

> "Bergabunglah dengan kami. Bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk membangun sesuatu yang lebih baik."

Sedikit demi sedikit, mereka mulai mengangkat kepala.

Menggenggam senjata tua mereka.

Mereka memilih untuk mempercayai Arvin.

---

Dalam beberapa hari, jumlah pasukan Arvin bertambah.

Mereka bukan tentara sempurna — jauh dari itu.

Tapi mereka adalah orang-orang yang memiliki alasan untuk berjuang.

Dan itu membuat mereka jauh lebih kuat daripada pasukan mana pun yang hanya berperang untuk tahta kosong.

---

Di tempat lain, Raja Cedric mendengar laporan tentang Arvin yang kembali membangkitkan pasukan dari abu kehancuran.

Ia menggertakkan gigi, marah.

> "Aku harus memusnahkan bara itu," bisiknya pada dirinya sendiri.

"Sebelum bara itu berubah menjadi api yang membakar segalanya."

Dan ia mulai mempersiapkan serangan terakhir.

Serangan yang akan menentukan segalanya.

---

Bab 46 selesai.