Lampu-lampu kubah observasi berkedip pelan saat warga mulai berkumpul. Suasana hening, hanya terdengar detak sepatu di lantai logam dan dengungan halus sistem pendingin. Anak-anak yang biasanya riang di lorong kini digandeng erat oleh orang tua mereka, matanya menatap kaca bundar besar yang memantulkan keheningan malam.
Di panggung sederhana di tengah ruang, Lavra berdiri tegap dengan tablet di tangan. Di sampingnya, dua pria berpakaian sipil berdiri tanpa ekspresi, seperti bayangan yang siap mengawal setiap ucapannya. Kamera-kamera kecil di sudut kubah merekam untuk disiarkan ke seluruh modul.
Cyan dan Magenta masuk dari pintu samping, berdiri di barisan belakang, mengamati semua dengan napas tertahan. Wajah Magenta pucat, tapi matanya menyala penuh tekad. Cyan mengusap punggung tangan Magenta perlahan, memberi kekuatan tanpa kata.
Lavra mengangkat tangan, menengahi keramaian kecil yang mulai gaduh. “Tenang,” suaranya lantang namun terkontrol. “Hari ini, saya akan berbicara atas nama dewan investor.” Aura dingin menyelubungi ruangan. “Mulai saat ini, struktur manajemen koloni akan berubah. Semua kebijakan—mulai dari distribusi energi, produksi pangan, hingga riset genetik—akan diawasi langsung oleh divisi baru yang kami bentuk.” Sebuah suara beep pendek dari tablet-nya, lalu layar holografik menampilkan skema organisasi yang asing bagi banyak orang. Lambang divisi pengawas itu hanyalah segitiga hitam kecil di lingkaran putih.
Gemuruh tak tentu terdengar dari kerumunan. Seorang petani murung meremas pot jagung biru kecilnya. Seorang teknisi muda menoleh ke teman sebangkunya, bisikannya nyaris tak terdengar: “Kita bakal dikendalikan lebih ketat… apa jeritan kita masih didengar?”
Lavra menatap kerumunan, wajahnya tetap datar. “Sebagai tahap pertama, per 24 jam ke depan, akses kalian ke sistem logistik—termasuk kanan, kiri, maupun cadangan—akan melalui verifikasi divisi pengawas. Setiap kebijakan baru harus memiliki cap persetujuan dari mereka.” Ia memberi jeda, merasakan ketegangan memburu. “Ini demi kestabilan investasi dan keberlanjutan jangka panjang. Dengan begitu, koloni ini akan berkembang sesuai standar global.”
Di kursi-kursi belakang, Magenta menahan napas. Ia menatap ke arah Cyan, mencari jawaban di matanya. Cyan hanya mengangguk pelan, seolah berkata, “Kita tahu ini artinya. Kita siap.”
Seorang wanita paruh baya berdiri di antara kerumunan. Suaranya bergetar saat memanggil: “Tapi… bukankah koloni ini dibangun karena kami ingin merdeka, bukan dijadikan anak emas para investor?” Tatapannya tertuju ke arah Lavra, melewatkan Cyan–Magenta. Kerumunan ikut bergelombang: ada yang mengangguk setuju, ada pula yang resah.
Lavra menurunkan tablet, menatap tajam ke arah wanita itu. “Kedatangan saya bukan untuk merampas kemerdekaan kalian. Saya hanya memastikan bahwa visi ini—yang sudah diinvestasikan oleh banyak pihak—tak berantakan karena keputusan sepihak.” Ia menjeda sesaat, memilih kata yang tepat. “Kami tetap menghargai otonomi riset dan pengembangan. Namun, setiap langkah baru harus sejalan dengan kepentingan dana yang disuntikkan. Kurang dari itu, kami khawatir inisiatif ini akan mati di tengah jalan.”
Getaran di udara terasa semakin pekat. Magenta meremas tangan Cyan, menggenggam perlahan. Tangan Cyan melingkar ke belakang punggung Magenta, menenangkan.
Di lorong-lorong kubah, petunjuk lampu indikator berkedip merah—sinyal bahwa banyak modul belum mengirim data verifikasi sesuai instruksi baru. Di benak banyak orang bergolak: “Bagaimana kalau mereka menolak dan suplai benar-benar diputus?”
Lavra menutup pengumuman dengan satu kalimat penutup: “Mulai sekarang, setiap keputusan penting akan melalui meja kami. Siapa pun yang menentang—setidaknya secara terang-terangan—resikonya adalah penghentian aliran logistik. Semoga kita bisa bekerja sama demi masa depan bersama.”
Tepat setelah suaranya usai, kerumunan meledak: beberapa bertepuk tangan penuh lega—mungkin karena merasa ada kepastian baru; beberapa lagi berderai air mata kecewa. Seorang pria muda berdiri, menepuk pundak temannya: “Kalau begini, kita akan sulit bergerak.” Temannya hanya mengangguk, menunduk pelan.
Cyan menarik Magenta menjauh ke sisi ruang observasi, memasuki area yang lebih sepi. Hanya lampu samar dan bunyi halus perangkat pendingin yang menemani. Di sinilah mereka butuh merumuskan jawaban.
“Dia langsung mengunci semua akses,” kata Cyan, suaranya pelan namun tegas. “Mulai sekarang, kita harus berkomunikasi lewat cara lain—jalan tikus, jika perlu.”
Magenta menutup mata sesaat. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kita tak bisa langsung menyerang balik. Kalau kita coba hack sistem sekarang, Lavra akan punya alasan menuduh kita sabotase, dan mereka pakai itu buat memiskinkan kita.”
Cyan mengangguk, meninjau ulang catatan di tablet-nya. “Kita perlu menyusun strategi tiga langkah: pertama, lindungi data warga—sedapat mungkin keluarkan backup. Kedua, perkuat moral penduduk: mereka harus tahu kita masih berjuang. Ketiga, cari sekutu baru—bukan hanya Orion-7, tapi juga koloni-koloni kecil lain di orbit rendah yang mungkin siap membantu.”
Magenta mengangguk mantap. “Aku sudah rencanakan titik-titik pertemuan rahasia di kubah kebun mikro. Di sana angin lebih segar, komunikasi lebih sulit terpantau. Kita bisa kumpulkan beberapa kepala divisi—rezha, maya, lia—tanpa mengundang kecurigaan.”
Cyan menatap tatapan Magenta, lalu menarik napas panjang. “Baik. Kita lakukan sekarang.”
**
Malamnya, di kubah kebun mikro yang diterangi lampu biru lembut, beberapa orang sudah menunggu. Maya merapikan bibit di rak kecil sambil menunggu kehampaan sejenak. Lia duduk di bangku kayu, mencatat pengamatan tiap orang yang datang. Rezha berdiri di sudut, matanya tajam mengawasi pintu masuk sambil menyandarkan punggung pada dinding.
Ketika Magenta dan Cyan tiba, mereka disambut senyum lelah tapi penuh semangat. Magenta mengangguk pada Maya: “Bagaimana kondisi panen jagung biru?”
Maya menarik napas. “Hampir matang, tapi penerangan otomatis di zona barat menurun 1%. Aku butuh bantuan Dato untuk stabilkan sistem cahaya—itu kunci panen tepat waktu.”
Lia menyela, “Aku sudah atur sesi “Tenang Saja” malam ini. Warga harus mendengar langsung dari kita tentang kondisi sebenarnya, bukan hanya desas-desus Lavra.” Ia menepuk lengan Maya, “Setidaknya kita bisa jaga semangat mereka.”
Rezha menatap ke arah Cyan. “Tim keamanan sudah mengamankan dua jalur alternatif—sistem kapsul data yang tak terhubung ke verifikasi Lavra. Kalau kita butuh kirim informasi ke luar, itu jalurnya.” Ia memperlihatkan sebuah pouch kecil berisi perangkat komunikasi satelit mini.
Cyan mengangguk pelan, lalu menatap lingkaran kecil itu. “Baik. Kita punya rencana. Aku akan buat draft pesan untuk dikirim ke Orion-7 dan beberapa koloni kecil di orbit rendah—pasrahkan nasib kita pada solidaritas antariksa.”
Magenta mengambil kotak kecil dari saku jaketnya—berisi benih jagung biru langka yang hasil rekayasa genetik sukses. “Aku ingin bagi-bagi ini malam ini juga, ke beberapa kepala keluarga yang berpengaruh. Biar mereka tanam di rumah masing-masing—simbol perlawanan kecil: panen ini panen kita sendiri, bukan panen versi Lavra.”
Senyum tanda setuju terbit di wajah Maya dan Lia. “Sosialisasi bibit ini akan menyebar cepat,” kata Maya. “Saat panen, setiap orang akan menyadari: kita bukan lagi bergantung pada produksi massal. Kita bisa makan hasil tangan kita sendiri.”
Magenta menatap Cyan, lalu menunduk memberi hormat pendek. “Kita harus bergerak. Semakin kita tunggu, Lavra semakin kencangkan cengkeraman.”
Di sudut kubah, lampu-lampu lembut menari di dedaunan sintetis. Suasana damai, seolah menyamarkan ketegangan. Namun di balik daun-daun hijau itu, benih benih harapan menanti untuk tumbuh.
**
Kembali ke ruang kontrol, Cyan duduk di depan layar monitor, memantau detik per detik—siapa saja yang memasuki jalur alternatif, siapa saja yang mengirim pesan rahasia. Laraian kode dan angka menari di layar, tetapi di setiap baris–baris data itu, Cyan menaruh harapan: bahwa dengan satu sinyal, sejumlah pesan kunci akan terbang melintasi ruang hampa menuju sekutu yang tak terlihat.
Sementara itu, di lorong-lorong koloni, Magenta dan timnya menyebar pesan tertulis kecil—di balik label rak makanan, di pojok mesin pendingin, bahkan pada catatanku: “Tanam benih biru, hidupkan harapan.” Pesan-pesan itu mungkin tampak sepele, tapi di benak siapa pun yang menemukannya, ada pedoman: “Kita masih punya kendali atas apa yang kita tanam, baik di tanah sintetis maupun di jiwa kita sendiri.”
Di malam yang hening itu, ketegangan mengalir perlahan—ibarat arus tipis di balik lempeng es. Esok matahari simulasi akan terbit dengan keputusan lebih sulit: apakah koloni ini akan bertahan, atau menderita reputasi hancur di bawah kendali Lavra. Namun selangkah demi selangkah, rencana mereka membentuk lilitan yang lebih kokoh daripada protokol investor mana pun.
Di sudut ruangan, Cyan menutup matanya sesaat, membiarkan gema harapan dan kecemasan bergulung dalam benaknya. Magenta menyandarkan punggung ke bahu Cyan, ikut merasakan detik-detik penting yang akan tiba.
Dan di balik kubah yang diam, sebuah benih perubahan menunggu untuk tumbuh—lebih kuat dari bayang-bayang yang mengintai.