Benih di Bawah Bayangan (lanjutan)

Pagi simulasi di Mare Serenitatis datang dengan langit biru pucat, hangat tapi palsu. Di balik cahaya buatan itu, tekanan nyata terasa semakin menebal.

Lavra mulai memeriksa sistem koloni secara sistematis. Ia tidak menampakkan wajah kasar, tapi semua orang tahu bahwa kehadirannya bukan untuk bekerja sama, melainkan menaklukkan. Satu per satu divisi diminta menyerahkan laporan keuangan, inventaris energi, bahkan skema tanam eksperimen. Ia berbicara lembut—nyaris seperti guru yang sabar—namun setiap kalimatnya menyimpan ancaman.

“Kami ingin membantu sistem Anda berjalan lebih efisien,” katanya saat menyambangi unit pertanian. “Efisiensi adalah awal dari kelangsungan.”

Magenta hanya menjawab dengan senyum tipis. “Tumbuhan kami tidak tumbuh dengan ancaman.”

**

Cyan lebih banyak diam dalam rapat. Ia mengamati wajah-wajah yang dulu antusias, kini mulai terbagi. Ada yang takut. Ada yang marah. Ada yang lelah. Dan ada pula yang mulai tertarik dengan janji Lavra—akses penuh ke teknologi, bonus finansial, dan “perlindungan” dari orbit.

Sore itu, Rezha mendekatinya saat Cyan sedang mengecek saluran udara utama.

“Aku tahu kamu nggak suka bicara soal politik,” ujar Rezha. “Tapi kita nggak bisa terus bersembunyi di balik idealisme. Kita harus mulai menetapkan sikap.”

Cyan menutup panel perlahan. “Aku sedang membangun sistem. Bukan kerajaanku sendiri.”

Rezha menatapnya dalam. “Tapi jika kamu tidak mengklaimnya, orang lain akan melakukannya untukmu.”

**

Beberapa hari kemudian, Lavra mengumpulkan para kepala divisi. Ia berdiri di tengah aula transparan yang menghadap langsung ke lereng kawah tua.

“Mulai minggu depan,” katanya, “semua proses produksi akan diawasi langsung oleh tim kami. Kami juga akan memindahkan sistem komunikasi orbit ke frekuensi khusus—lebih aman, dan sesuai standar.”

Cyan hanya berkata singkat, “Tidak ada sistem yang lebih aman daripada yang dibuat dengan kepercayaan.”

Lavra menatapnya, dingin. “Kepercayaan tak mengisi generator. Tapi kendali, ya.”

**

Di sisi lain koloni, bisik-bisik mulai menyebar.

Beberapa teknisi muda mulai berkumpul diam-diam di lorong logistik tingkat dua. Mereka tak puas pada kepemimpinan Cyan—terlalu pelan, terlalu filosofis. Di antara mereka, nama Lavra mulai disebut bukan sebagai ancaman, tapi sebagai pilihan.

“Kita bisa dapat akses langsung ke paten-paten teknologi dari Bumi,” ujar salah satu dari mereka. “Kalau kita main cerdas, kita bisa jadi koloni paling maju. Bukan cuma idealis yang hidup dari Nutri-Gel dan harapan.”

Namun di pojok yang lebih gelap, percakapan lain terjadi—lebih pelan, lebih penuh tekad.

“Kita mulai salin blueprint reaktor cadangan,” bisik seorang wanita tua dari divisi energi. “Kalau nanti mereka ambil alih sistem utama, kita tetap punya nyawa.”

Seseorang membalas, “Cyan tahu?”

“Belum. Tapi Magenta tahu.”

**

Malam itu, Magenta kembali ke ruang observasi. Ia membawa catatan, bukan kopi. Cyan sudah duduk di sana, memandangi permukaan Bulan yang sunyi. Refleksi dari Bumi tampak samar—seperti hantu dari masa lalu.

“Mereka mulai bergerak,” kata Magenta tanpa preambule. “Bukan hanya Lavra. Orang-orang kita sendiri.”

Cyan menghela napas. “Aku tahu.”

“Kamu nggak akan bertindak?”

“Aku tidak mau jadi tiran.”

“Kamu bukan. Tapi kamu juga bukan bayangan.”

Cyan menatapnya. Lama. Ada konflik dalam tatapannya—bukan karena takut kehilangan posisi, tapi takut kehilangan arah. Selama ini, ia percaya pada kesadaran kolektif, pada semangat membangun bersama. Tapi kini ia melihat retak-retak pada kaca idealismenya sendiri.

“Apa aku harus berubah jadi pemimpin yang mereka takuti?” bisiknya.

Magenta menggenggam tangannya perlahan. “Kamu hanya harus menjadi pemimpin yang tak mudah ditelan.”

**

Dan saat malam semakin pekat, seseorang—dari balik ruang data sekunder—memasukkan chip enkripsi ke dalam panel tersembunyi. Layar menyala. Sebuah sistem aktif dalam senyap. Labelnya:

ORACLE – Autonomous Surveillance Node

Status: Aktif (Stealth Mode)

Mata-mata pertama koloni mulai bekerja. Dan tidak semua mata mengabdi pada Cyan.

Tapi malam itu, dalam sunyi Mare Serenitatis, dua tangan masih saling menggenggam.

Dan harapan belum padam.