Malam menyelimuti pangkalan Antartika dengan selimut tebal yang dingin. Kabut pekat menggulung di antara dinding es purba, seakan menutup rapat rahasia yang telah membeku selama ribuan tahun. Di dalam salah satu menara pengawasan Pangkalan Zona 4A, alarm elektromagnetik meraung nyaring, suaranya memecah kesunyian. Cahaya merah berkedip-kedip dalam ruangan yang tadinya remang-remang, menciptakan bayangan-bayangan menari yang menakutkan.
Seorang ilmuwan muda, yang wajahnya kini memucat, bergegas ke panel kendali. Tangannya gemetar saat membaca data di layar. "Ini sinyal yang sama," bisiknya lirih, seolah takut suaranya akan membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terlelap. "Tapi ada... anomali suhu. Fluktuasi lokal... radius lima puluh meter dari pusat lapisan es." Keheningan sejenak, yang terasa tak wajar dan berat, mengisi ruangan. Lalu, ia menekan tombol peringatan darurat.
Tak lama kemudian, auman helikopter khusus G.I.E.R.A. membelah udara dingin saat mendarat dengan kasar di landasan yang tertutup salju tebal. Angin yang dilepaskan baling-baling menerbangkan serpihan es ke segala arah, menciptakan badai salju mini. Dari dalam kabin, Prof. Goom melangkah turun. Di belakangnya, Kaori, asisten setianya, mengikuti. Jaket termal mereka yang canggih tampak sanggup menahan dingin yang menggigit hingga ke tulang.
Mereka disambut oleh Kolonel Yanagi, kepala unit surveilans lapangan di pangkalan tersebut. Tatapannya kaku, nyaris tidak bersahabat, terpancar jelas keraguan dan ketidaksukaan dari sorot matanya.
“Kami belum menyelesaikan karantina wilayah ini,” ucap Kolonel Yanagi tegas, suaranya dingin dan menusuk seperti angin Antartika. “Kalian datang terlalu cepat.”
Goom tidak menjawab. Matanya menunduk, fokus mengaktifkan alat sensor genggamnya. Di layar, pola resonansi yang sebelumnya mereka lihat tampak melonjak—bergerak tidak beraturan, seolah sesuatu yang tengah gelisah dan memanggil-manggil.
“Shard ini memanggil,” gumam Goom, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun di sekitarnya. “Jika kita terlambat satu hari saja... resonansinya akan menghilang.”
Kolonel Yanagi hanya menggelengkan kepalanya perlahan, ekspresinya tidak berubah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Prof. Goom dan Kaori dalam kesunyian yang menggigit, hanya ditemani deru angin dan bisikan sinyal yang semakin kuat. Sebuah panggilan yang tak bisa diabaikan, namun juga tak bisa dijelaskan.