Langit di atas Lembah Batu Tua tampak kelabu, awan-awan menggantung rendah seperti hendak menindih bumi. Angin membawa aroma lembap tanah dan darah kering—sebuah peringatan bisu bahwa lembah ini bukan tempat pelatihan, melainkan ujian hidup dan mati.
Mo Tian membuka matanya perlahan.
Tubuhnya terasa berat, tetapi pikirannya jernih. Qi yang tadi malam diserap kini perlahan mengalir, membentuk aliran kecil dalam meridian yang sempit dan belum terlatih. Rasanya seperti mengukir sungai di atas batu cadas.
Namun, yang paling mencolok… adalah ketenangan pikirannya.
“Tubuh kedua itu… apakah itu bagian dari diriku?”
Ia tidak memahami sepenuhnya, tetapi ia bisa merasakan keberadaannya—suatu entitas dalam dirinya yang tidak mencari kekuatan fisik, melainkan pemahaman.
“Kalau satu tubuh bisa berjalan di dunia nyata, maka satu lagi… akan berjalan di dunia kebenaran.”
Sementara itu, di sisi lain lembah.
Tiga murid senior dari Sekte Xuanhu berdiri di balik bebatuan, memperhatikan Mo Tian dengan tatapan jijik dan penasaran. Mereka adalah bagian dari kelompok yang pernah mencibir dan menghina bocah itu saat ujian seleksi.
“Huh, lihat dia... Masih mencoba bertahan?”
“Sudah seharusnya mayatnya tergeletak seminggu yang lalu.”
Salah satu dari mereka, murid bernama Shen Liang, mengerutkan kening. Ia melihat aura samar dari tubuh Mo Tian yang mulai tampak lebih padat.
“Dia… menyerap Qi? Tidak mungkin…”
Di dasar lembah, Mo Tian perlahan berdiri.
Tangannya gemetar, tetapi matanya membara. Dalam dirinya, muncul satu pemahaman: dunia ini tidak akan menunggu yang lemah.
Ia mengangkat tangan dan mulai mengulang Teknik Dasar Penyerapan Qi. Tapi kali ini, dia menambahkan sesuatu…
Fokus. Kesadaran. Dan keinginan untuk bertahan hidup.
“Qi bukan sekadar kekuatan…”
“Ini adalah hidup. Dan aku ingin hidup.”
Dan saat itu juga, perubahan kecil terjadi.
Di dalam meridiannya, helai Qi yang semula liar mulai patuh. Mereka tidak lagi menyerang, tapi mengalir seperti sungai yang diarahkan bendungan.
Tubuhnya kembali berdarah—tetapi luka yang ia derita tak lagi tanpa arah. Luka-luka itu menjadi jejak pertumbuhan, dan rasa sakit menjadi bagian dari proses.
Narasi Pencerahan (Tubuh Kedua):
“Ketika seseorang memahami rasa sakit, barulah ia layak memahami kekuatan.”
“Satu langkah dalam penderitaan adalah seribu langkah dalam jalan Dao.”
Hari mulai senja. Mo Tian duduk kembali, tapi kali ini dengan punggung lebih tegak. Tubuhnya ringkih, namun sesuatu di dalamnya telah berubah.
Ia belum kuat.
Belum berbakat.
Tapi hari ini…
Ia telah memilih untuk tidak kembali.