Chapter 2 - The Movement of a Shadow

Suara benturan kayu dan teriakan kompak membangunkan Kala dari tidurnya. Ia duduk perlahan di atas tikar, mendengarkan bunyi-bunyian itu sejenak sebelum keluar dari bilik. Cahaya pagi menyelinap melalui celah dedaunan, membentuk pola-pola samar di tanah padepokan.

Di halaman utama, belasan murid berpakaian latihan tengah bergerak serempak, mengikuti aba-aba dari seorang pemuda bertubuh tegap, berwajah ramah, dan sorot mata yang tajam namun bersahabat. Dialah Bujang, sosok yang tadi malam menyelamatkan nyawanya.

Tak jauh dari sana, duduk di bawah pohon Trembesi yang rindang, Ki Mahadri menulis sesuatu pada lembar lontar. Meski pandangannya tertuju pada tulisannya, sesekali ia mengangkat kepala memperhatikan para murid yang berlatih.

Kala menghampirinya dengan langkah ringan.

“Oh, akhirnya kau menampakkan diri,” sambut Ki Mahadri tanpa menoleh. “Pasti suara anak-anak ini yang membangunkanmu. Aku yakin kau kelelahan setelah kejadian panjang kemarin, jadi aku melarang siapa pun membangunkanmu.”

Kala menunduk sopan. “Maafkan saya, Ki. Seharusnya saya bangun lebih awal.”

Ki Mahadri hanya tersenyum. “Tidak perlu minta maaf. Istirahat juga bagian dari kebijaksanaan.”

“Apakah ini kegiatan rutin setiap pagi?” tanya Kala, memandangi para murid yang kini mulai berlatih berpasangan.

“Tentu saja. Kemarin kau tak melihatnya karena kami semua sibuk menyiapkan pertemuan itu.”

Kala mengangguk pelan, lalu diam sejenak sambil memandangi murid-murid yang sedang berlatih sebelum bertanya, “Ki, apakah engkau pernah mendengar tentang kelompok Hasyasyin dari Timur Tengah?”

“Hasyasyin?” Ki Mahadri mengerutkan alis. “Maksudmu dari negeri Arab? Aku pernah dengar sekilas dari para pedagang. Katanya mereka kelompok yang berbahaya, pembunuh yang bisa menghancurkan satu kerajaan hanya dalam beberapa malam saja.”

Kala menarik napas. “Itu salah satu sisi mereka. Tapi di balik kisah-kisah yang menakutkan, mereka memiliki keahlian yang luar biasa dalam hal pengintaian, penyusupan, dan penguasaan medan. Mereka membangun jaringan informasi yang bahkan menyaingi kekuatan kerajaan besar pada masanya.”

Raut wajah Ki Mahadri berubah serius. “Kau tak berniat menjadikan padepokanku sebagai sarang pembunuh, bukan?”

“Tentu tidak,” jawab Kala cepat. “Aku hanya berpikir… di zaman seperti ini, ketika kekuatan istana mulai memudar dan bahaya datang dari arah yang tak terduga, kita membutuhkan jaringan yang bisa melihat dalam gelap. Aku ingin melatih murid-murid di sini dengan kemampuan seperti itu. Bukan untuk membunuh, tapi untuk menjaga, mengamati, dan—kalau perlu—mengantisipasi bencana.”

Ki Mahadri memandangi Kala dalam diam. Udara pagi terasa lebih berat sejenak.

“Apa yang kau usulkan bukan hal kecil,” ucapnya akhirnya. “Mengumpulkan para saudagar, tuan tanah, dan pengrajin sudah cukup membuat gaduh kota ini, dan sekarang kau ingin mengubah arah angin di padepokanku. Tapi. . . kalau kau memang serius, buktikan bahwa kau bisa berdiri di tengah badai.”

Ia melirik ke arah lapangan.

“Kalahkan Bujang dalam pertarungan latihan. Jika kau bisa membuatnya mengakui keunggulanmu, aku akan mempertimbangkan usulanmu dengan lebih serius.”

Kala menoleh ke arah Bujang yang sedang tersenyum sambil membantu salah satu murid memperbaiki posisi kuda-kuda.

“Bukan tugas yang mudah, Bujang adalah salah satu murid terbaik untuk urusan pertarungan. Aku bahkan yakin di masa depan dia bisa menjadi salah satu pimpinan militer yang disegani” ujar Ki Mahadri membanggakan muridnya. “Jika kau tak gentar menghadapi tantangan ini, barulah aku tahu bahwa kau bersungguh-sungguh.”

Kala menatap Ki Mahadri sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau itu syaratnya, saya terima tantangan itu.”

Saat para murid bersiap menyudahi latihan pagi, suara Ki Mahadri menghentikan mereka.

“Bujang,” panggilnya.

Pemuda itu menoleh dan segera berjalan ke arah sang guru. Wajahnya berseri, namun berubah sedikit bingung melihat Kala berdiri di samping Ki Mahadri.

“Ya, Ki?”

“Saudara barumu ini ingin menguji kekuatannya padamu,” ujar Ki Mahadri dengan nada datar.

Bujang menoleh ke Kala, matanya menyipit namun tetap sopan. “Latihan persahabatan, huh?”

Kala tersenyum tipis. “Sesuatu seperti itu.”

Beberapa murid mulai berkumpul, membentuk lingkaran di sekitar lapangan latihan. Di tengahnya, Bujang dan Kala berdiri berhadapan. Angin pagi berhembus pelan, membawa aroma tanah dan daun-daun lembap. Suasana menjadi hening, hanya suara dedaunan yang bergesekan.

Bujang mengambil sikap. Tubuhnya tegap, kuda-kudanya mantap. Kala, meski posturnya tak sekuat lawannya, berdiri dengan tenang. Matanya tak lepas dari gerakan pundak dan pergelangan tangan Bujang. Ia membaca nafasnya, menakar keseimbangan tubuhnya.

“Hanya sampai satu pihak menyerah atau tak mampu berdiri. Jangan berlebihan.”

Bujang tersenyum lebar. “Aku akan menahan diri, Guru.”

Kala hanya mengangguk, matanya menatap lekat ke arah lawannya.

“Mulai.”

Bujang langsung melesat. Tubuhnya seperti angin, gerakannya mantap. Ia membuka dengan sapuan kaki rendah, memaksa Kala mundur. Kala melompat ringan, lalu berputar menjauh.

Serangan demi serangan datang cepat. Pukulan lurus, tendangan rendah, bantingan kilat—semuanya dilancarkan dengan efisien. Kala nyaris tak sempat membalas, hanya menghindar dan memutar posisi. Tubuhnya ringan, cekatan, tapi jelas terlihat bahwa ia sedang terdesak.

Murid-murid bersorak kecil ketika Bujang hampir berhasil menjatuhkan Kala. Tapi tiba-tiba—Kala berbalik, memanfaatkan dorongan tubuh Bujang, dan mengubah momentum menjadi gerakan mengunci. Lengan Bujang nyaris tertekuk. Bujang mendorong kuat dan melepaskan diri, mundur dua langkah.

Nafas keduanya mulai berat. Ki Mahadri memerhatikan keduanya dengan seksama.

Kala mulai menunjukkan kelebihannya: membaca pola serangan lawan. Ia tak membalas dengan kekuatan, tapi dengan pengamatan. Ia menunggu celah, memancing reaksi, lalu bergerak sepersekian detik sebelum lawannya sempat menyesuaikan diri.

Sebuah tendangan dari Bujang meleset. Kala memutar ke samping, menghantam rusuknya dengan siku. Lalu menjauh sebelum Bujang membalas.

Wajah Bujang kini lebih serius, walau senyum ramahnya belum pudar. “Aku kira kau hanya seorang kutu buku” katanya sembari melangkah melingkar.

Kala tak menjawab. Matanya menelaah, gerakannya stabil.

Pertarungan mulai seimbang.

Namun mendadak, Bujang kembali menyerang dengan pukulan beruntun. Kala hampir terdesak. Tapi ia diam di tempat, menapak kuat di tanah. Bujang mengira Kala telah kehabisan tenaga. Ia maju dengan satu pukulan ke arah dada Kala.

Kala menghindari serangan itu dengan sedikit bergeser ke samping. Seketika itu pula Ia menurunkan kuda-kudanya dan langsung mengarahkan tangan kanannya dengan gerakan seolah ingin menusuk lawannya. Tapi dia berhenti sesaat, dalam jarak nyaris menempel dada Bujang—seketika itu juga ia lepaskan satu pukulan pendek, tak lebih dari satu jengkal.

“BUK.”

Bujang terpental beberapa langkah ke belakang, ia benar-benar tidak menyangka, seseorang seperti Kala bisa membuatnya bertekuk lutut. Nafasnya tercekat. Ia menatap dada sendiri—tak ada luka, tapi jelas terasa hantaman kuat yang tak masuk akal dari jarak sedekat itu.

Para murid yang tadi bersorak untuk Bujang tiba-tiba terdiam.

Bujang tertawa kecil, sambil terbatuk. “Apa tadi itu?”

Kala menurunkan tangan. “Aku mempelajarinya dari seorang pengembara China, itu adalah bentuk pengembangan dari Kung Fu. Mengandalkan tenaga terpusat, bukan ayunan.”

Ki Mahadri berdiri perlahan. “Menarik… kau tidak pernah gagal mengejutkanku.”

Ia menatap murid-muridnya. “Pertarungan ini cukup. Kemenangan tipis, tapi jelas.”

Ki Mahadri lalu menoleh ke Kala. “Usulanmu… akan kita bicarakan lebih jauh. Kau sudah menunjukkan kesungguhanmu, dan potensi yang layak dipertimbangkan.”

 

Dari kejauhan, di balik rerimbunan pohon sukun yang menghadap halaman belakang padepokan, tampak sesosok perempuan tengah mengamati pertarungan dari awal. Langkahnya ringan namun mantap, menyibak bayang pagi yang masih diselimuti embun. Ketika pertarungan usai dan napas para murid belum kembali teratur, ia perlahan mendekat.

Ternyata itu Dyah Larasmaya.

Dengan senyum menggoda yang sulit dibaca antara kagum atau mengejek, ia berkata, “Aku kira kau seorang pemikir… Tapi ternyata bisa juga menjatuhkan monyet besar ini.”

Bujang yang masih duduk di tanah, sambil mengelus belakang kepalanya yang terkena hempasan, mendongak cepat. “Monyet besar? Apa maksudmu? Kau menyebut laki-laki setampan aku ini… monyet?”

Dyah mengangkat sebelah alis, menatapnya datar. “Aku tidak bicara soal wajahmu. Tapi tingkah lakumu.”

Suara beberapa murid terkekeh tertahan. Kala menahan senyum, tak ingin ikut memperkeruh suasana.

Dari nada bicara dan cara mereka saling melempar sindiran, jelas sudah ada kedekatan. Entah pertemanan, entah permusuhan yang belum selesai, atau mungkin keduanya sekaligus. Bujang sebelumnya memang mengaku kenal dekat dengan Dyah, tapi baru sekarang Kala melihat bukti nyata sekaligus… menarik.

Kala kemudian bertanya pada Dyah, “Apa yang membawamu kemari sepagi ini?”

Dyah kembali tenang, suaranya lebih datar saat menjawab, “Ayah menyuruhku menjemputmu. Ia ingin kau melihat langsung kondisi pertanian dan pasar di Trowulan. Tadi malam aku sudah ceritakan isi pertemuan para saudagar dan pengrajin pada beliau.”

Kala mengangguk sopan. Ia meminta izin pada Ki Mahadri yang tampaknya sudah tahu niat itu dari semalam. Dia sudah paham kalau temannya, Raden Tirta adalah pria yang cepat tanggap meskipun dalam kondisi sakit. Tak butuh waktu lama, mereka pun bersiap berangkat.

Namun, baru beberapa langkah berjalan, suara lain menyusul dari belakang.

“Tunggu aku!”

Bujang, yang tadi masih duduk, kini melangkah cepat mengikuti mereka.

Dyah menghentikan langkah dan menoleh tajam. “Aku tidak ingat mengajakmu ikut serta.”

Bujang tersenyum enteng, sama sekali tak terusik. “Maaf saja, Tuan Putri. Aku tidak mengikuti kalian. Aku hanya ingin jalan-jalan ke sawah. Setelah latihan tadi, kupikir udara segar bisa menghilangkan lelahku.”

Jawabannya membuat Dyah mendengus pelan, jelas tak puas. Tapi ia tak membalas lagi. Hanya melengos dan melanjutkan langkah.

Kala, yang berjalan di tengah mereka, hanya menghela napas. Di balik sorot matanya yang tenang, pikirannya justru terusik. Ia sempat mengira Dyah sebagai sosok perempuan ideal: dewasa, tenang, dan bijak. Tapi melihatnya kini bersitegang dengan Bujang seperti anak-anak, bayangan itu retak.

Ternyata gadis ini juga punya sisi seperti itu batinnya. Bukan kecewa,. . . Mungkin malah... membuat Dyah terlihat makin menarik.

Kala sempat melirik Bujang yang masih berjalan dengan langkah ringan meski baru saja terjatuh cukup keras.

“Apa kau yakin tidak mau mengistirahatkan badanmu dulu?” tanyanya setengah khawatir.

Bujang tertawa kecil. “Tak apa. Ikut denganmu juga bisa dibilang bentuk istirahatku.”

Dyah mencibir, “Tak perlu mengkhawatirkannya, Kala. Kau pukul kepalanya pun dia akan baik-baik saja. Karena tidak ada apa pun di sana.”

“Aku setuju,” timpal Bujang cepat. “Kau bisa memukulku berkali-kali dan aku akan tetap baik-baik saja.”

Nada suaranya jelas sengaja dibuat untuk memancing reaksi. Dan reaksi itu memang datang, berupa tatapan tajam dari Dyah yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Kala menoleh sebentar, menggeleng pelan sambil mendengus pelan. “Kalian memang akrab,” ucapnya singkat sebelum mempercepat langkah, membiarkan dua orang itu meneruskan perdebatannya di belakang.

 

Hamparan sawah membentang sejauh mata memandang. Kabut pagi masih menggantung di permukaan tanah, membingkai ladang-ladang yang mulai ditanami dengan padi muda. Di kejauhan, tampak para petani sibuk bekerja, sebagian membajak tanah dengan bantuan kerbau, sebagian lain menanam benih dengan langkah-langkah teratur yang seperti dihafal oleh tubuh mereka sejak lahir.

Dyah menunjuk ke salah satu gubuk kecil yang berdiri di tengah sawah. “Itu tempat singgah para petani kami saat istirahat. Di sebelah sana,” ia menunjuk ke arah barat daya, “ada kolam tadah hujan yang kami gunakan untuk irigasi. Tahun ini airnya lebih sedikit dari biasa, karena hujan datang terlambat.”

Kala mengamati setiap detail dengan penuh perhatian. Ia mencatat dalam benaknya: teknik bercocok tanam yang digunakan, arah aliran air, dan jumlah tenaga kerja yang terlihat.

“Petani di sini masih menggunakan bajak kayu dan kerbau, ya?” tanyanya.

“Ya,” jawab Dyah. “Kami belum menemukan cara yang lebih efisien, meski beberapa pengrajin mencoba membuat alat dari logam. Tapi terlalu berat untuk ditarik binatang, apalagi di tanah berlumpur.”

Bujang, yang sejak tadi hanya memperhatikan sambil sesekali bersiul kecil, akhirnya angkat bicara. “Ini pasti dapat dipecahkan dengan mudah oleh temanku ini, benar kan Kala?”

Kala tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Tapi dalam pikirannya, ia sudah membayangkan sketsa alat bajak ringan berbahan logam tipis berbentuk roda yang bahkan bisa digerakkan oleh manusia.

Dyah kemudian mengajak mereka ke salah satu petak tanah yang baru dibuka.

“Bagian ini rencananya akan kami tanami sayur-sayuran. Tapi tanahnya masih keras dan tidak terlalu subur,” jelasnya. “Banyak lahan seperti ini yang terbengkalai karena hasilnya tidak sepadan dengan tenaga yang dibutuhkan.”

Kala mulai berjongkok, mengambil segenggam tanah, dan menggenggamnya. Ia mengendus, merasakannya, lalu mengangguk pelan.

“Ada kemungkinan tanah ini bisa diperbaiki. Dengan memberikan pupuk, sedikit rekayasa tanah, dan rotasi tanaman tertentu, kalau kita bergegas musim depan lahan ini sudah bisa ditanami. Dan juga kita harus segera membangun kincir air dan saluran irigasi agar tanah-tanah yang kering tadi bisa segera diairi”

Dyah menoleh, sedikit terkejut. “Kau juga tahu tentang pertanian?”

“Sedikit” jawab Kala kalem. “Setidaknya cukup untuk mulai membenahi kondisi seperti ini.”

Bujang mencibir sambil berbisik pada Dyah, “Lihat? Kau menyuruhnya untuk memindahkan kota dan seisinya pun dia pasti akan melakukannya.”

Dyah menahan senyum, tapi tidak menanggapi. Ia hanya menatap Kala lebih lama dari biasanya. Ada rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam dirinya, lebih dalam dari sekadar ingin tahu siapa lelaki asing ini sebenarnya.

 “Apakah kalian juga punya masalah terkait hama?”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Dyah.

“Ah, ya. Kami juga kesulitan mengatasi wereng dan serangga lain. Sejauh ini belum ada cara yang benar-benar berhasil.”

“Begitu rupanya,” ucap Kala sambil merogoh saku kain kecil di balik jubahnya. Ia mengeluarkan kantong biji berisi butiran kecil, bulat pipih, berwarna kecokelatan. “Kalau kau tak keberatan, aku ingin meminta tolong padamu untuk menanam ini. Gunakan tanah yang paling subur, tanam bijinya di wadah kecil di tempat yang sedikit disinari matahari, kau bisa memindahkannya keluar setelah batang dan daunnya sudah tumbuh sekitar 1 hasta. Dengan sedikit keberuntungan, kita seharusnya bisa memanfaatkannya dalam waktu dekat untuk mengatasi masalah hama tadi.”

Dyah menerima kantong itu dengan hati-hati. “Biji apa ini?”

“Kau harus melihatnya sendiri nanti, ketika tanamannya tumbuh dan berbuah. Aku mengandalkanmu, Putri Dyah.”

“Hentikan itu. Panggil saja langsung namaku,” sahut Dyah dengan nada jengah.

“Baik, kalau itu maumu.” Kala tersenyum, seolah tak terganggu oleh nada ketus itu.

“Terkait lahan kering tadi,” lanjut Kala, “kita memang harus segera membangun saluran irigasi. Setelah aliran air tersedia, kita bisa menggunakan telur ayam dan bahan organik lain untuk menetralkan keasaman tanah. Tanah di sini tampaknya terlalu asam, itu sebabnya sayuran tidak tumbuh optimal.”

“Aku tidak sepenuhnya memahami semua yang kau katakan barusan,” ujar Dyah sambil mengernyit. “Kau harus menjelaskannya padaku nanti secara perlahan. Tapi satu hal yang kupahami: alat-alatmu itu harus segera diwujudkan. Kita harus ke pasar sekarang. Ada seorang pandai besi yang aku percaya. Namanya Paman Ganta.”

Kala mengangguk menyetujui. Mereka lalu beranjak menyusuri jalan setapak menuju pasar.

Sepanjang perjalanan, Kala menjelaskan kembali secara perlahan: bagaimana keasaman tanah memengaruhi kesuburan, bagaimana telur dan abu bisa digunakan sebagai pengimbang keasaman, dan bagaimana irigasi yang baik dapat menyuburkan lahan tandus. Dyah mendengarkan dengan saksama, sesekali melontarkan pertanyaan, dan Bujang—yang biasanya hanya bersenandung—kali ini ikut menimpali dengan antusiasme yang mengejutkan.

Pasar Trowulan pagi itu riuh dengan sorak tawar-menawar dan derap kaki kereta kayu. Aroma ikan asap bercampur dengan wangi daun sirih, dan sesekali terdengar bunyi dentang logam dari deretan bengkel di sisi barat. Kala memperhatikan suasana itu dengan diam, seolah sedang membaca nadi kehidupan masyarakat kota ini.

Mereka menyusuri jalanan tanah yang mulai mengering setelah hujan semalam, hingga akhirnya tiba di depan sebuah bengkel sederhana dengan dinding anyaman bambu tebal dan atap ijuk. Plakat kayu tergantung di pintunya, diukir dengan aksara Jawa kuno yang berbunyi “Wiyasa Ganta” — Bengkel Tempa Ganta.

Dari dalam terdengar denting palu memukul besi dan suara bara mendesis. Seorang lelaki bertubuh kekar muncul dari balik tirai pintu, wajahnya berseri begitu melihat rombongan kecil itu.

“Hei! Sudah kuduga, cepat atau lambat kalian pasti akan datang ke sini” serunya, menyeka keringat dengan kain lusuh di pundaknya.

“Tuan Ganta,” sapa Kala sambil tersenyum hangat dan menjabat tangan lelaki itu. “Kami datang untuk membicarakan detail alat-alat yang aku usulkan saat pertemuan kemarin, Engkau sedang tidak sibuk, kan?”

“Dan aku sudah tak sabar mengotori tangan untuk percobaanmu yang katanya bisa menggantikan lima petani hanya dengan satu alat,” ucap Ganta sambil terkekeh.

Dyah menatap mereka berdua, terkejut dengan keakraban itu. “Kalian sudah saling mengenal rupanya.”

“Tentu saja, nak Dyah,” jawab Ganta. “Kala ini… anak muda dengan ide paling aneh yang pernah kutemui—aneh, tapi masuk akal di saat yang sama. Saat pertemuan di padepokan itu, ia menggambar alat putar air dengan bentuk seperti lingkaran raksasa. Katanya, dengan bantuan angin dan aliran sungai, petani bisa menyiram sawah tanpa harus membawa timba satu per satu. Konyol? Mungkin. Tapi aku tahu besi, dan aku tahu roda. Itu bisa dibuat.”

Kala tersenyum. “Saya percaya seorang ahli sepertimu bisa mengubah gambar di atas daun lontar menjadi suatu kenyataan.”

“Masuklah kalian. Aku baru saja menyuruh murid-muridku menyiapkan cetakan dari tanah liat keras. Kita bisa mulai dari alat bajak putar seperti yang kita bicarakan kemarin.” Ia menepuk bahu Kala. “Tapi jangan pikir kau bisa berdiri saja sambil memberi perintah. Di sini, semua yang bermulut, juga harus punya otot.”

Mereka masuk ke dalam bengkel, yang dipenuhi alat-alat besar, tungku pembakaran, lempengan logam yang disandarkan di dinding, dan rak tempat penyimpanan berbagai jenis pahat, cetakan, dan roda gerinda. Udara di dalam ruangan terasa panas, namun menghidupkan—sebuah atmosfer kerja keras dan keterampilan.

Kala segera membuka gulungan kulit lontarnya dan menunjukkan rancangan-rancangan lanjutan: penggiling padi dengan roda kayuh, alat semai berderet, hingga kincir air sederhana yang bisa memutar baling-baling dari bilah bambu.

Ganta mengamati semuanya dalam diam sejenak. “Kau tahu, Kala… Kalau ini berhasil, bukan hanya hasil panen yang akan meningkat. Pandai besi seperti kami juga akan dikenang sebagai bagian dari sejarah. Aku belum pernah merasa serindu ini terhadap pekerjaanku sejak aku memulainya dulu.”

Dyah menatap Ganta dengan tatapan baru—seorang pengrajin yang bukan hanya menempakan logam, tapi juga membentuk masa depan. Ia lalu memalingkan wajahnya ke Kala dan berkata, “Nampaknya kau benar-benar telah memulai sesuatu.”

“Bukan aku saja,” jawab Kala lembut. “Kita semua.”

Ganta tertawa, kemudian dia meninggalkan Kala dan teman-temannya sejenak untuk memberi instruksi pada murid-muridnya. Suara palu kembali bergema.

 —

Setelah selesai membahas alat pertanian dan sketsa kincir air, Kala membuka satu gulungan lainnya. Gambarnya berbeda dari yang lain—sebuah pedang ramping, melengkung lembut, dengan satu sisi tajam dan gagang yang cukup panjang untuk digenggam dengan dua tangan.

Paman Ganta memperhatikan dengan seksama. “Hmm… bentuk ini tak biasa. Pedang melengkung, mirip dengan milik orang-orang dari Arab, tapi sangat berbeda, tidak pula seperti pedang lurus dari para prajurit kerajaan. Pedang macam apa ini, nak?”

Kala menatap gambar pedang itu sejenak, lalu menjawab perlahan, “Dari sebuah negeri kepulauan di arah timur laut. Sebuah kerajaan yang hidup terpisah dari daratan besar, tapi memiliki pandai besi yang sangat terampil. Mereka menempanya dengan cara yang berbeda… pedang ini disebut katana.”

“Katana,” Paman Ganta mengulang pelan.

Dyah dan Bujang menunduk memperhatikan gambar itu.

“Pedang ini terbuat dari dua macam baja,” lanjut Kala. “Yang satu sangat keras dan bisa diasah sangat tajam. Yang satunya lebih lentur, supaya tidak mudah patah ketika membentur. Kedua logam itu ditempa bersama, dilipat dan dipukul berulang kali untuk mengusir kotoran.”

Paman Ganta mengangguk pelan, mencoba membayangkan.

“Saat sudah dibentuk, pedang ini dilapisi tanah liat. Bagian mata diberi lapisan tipis, sementara bagian belakang diberi yang tebal. Kemudian pedang dipanaskan, lalu didinginkan mendadak dalam air dingin. Perbedaan ketebalan tanah liat membuat pendinginannya tidak serempak—hasilnya, bagian mata menjadi lebih keras, sementara punggungnya tetap lentur. Lengkungan itu muncul dengan sendirinya saat pendinginan.”

“Ah… seperti memainkan panas dan dingin untuk mengatur sifat logam,” gumam Paman Ganta.

“Ya. Para pandai besi disana menyebutnya yakitsuke,” jelas Kala. “Tapi mereka melakukannya dengan penuh perhitungan, bahkan menunggu hari tertentu dalam bulan untuk menempanya.”

Ganta terdiam. Matanya terpaku pada gambar pedang, lalu berkata lirih, “Tantangan seperti ini membuat darahku muda kembali. Aku ingin mencobanya.”

“Kita bisa memulainya dengan bilah kecil dulu, dengan panjang bilah satu setengah hasta” usul Kala. “Belajar melipat logam, mencampur baja keras dan lunak. Mungkin tak langsung sempurna, tapi aku yakin kita bisa membuatnya.”

Dyah memandang ke arah Kala. “Mengapa pedang ini dibuat serumit itu?”

Kala menoleh, matanya tajam tapi tenang. “Karena senjata ini bukan hanya untuk membunuh. Ia adalah perpanjangan dari hati dan kehormatan pemiliknya.”

Bujang menoleh, wajahnya serius. “Orang-orang dari tempat itu… pasti sangat menjaga kehormatannya.”

“Betul,” ucap Kala pelan. “Dan mereka juga diajarkan untuk tidak sembarangan mencabutnya. Pedang seperti ini lebih banyak mengajarkan pengendalian diri daripada kekerasan. Katana ini adalah senjata yang tidak bisa digunakan untuk bertarung dalam medan perang. Gaya bertarungnya adalah sekali ia keluar dari sarungnya, ia harus bisa langsung menyelesaikan pertarungan. Oleh karena itu penggunaan pedang ini adalah pilihan paling akhir untuk mempertahankan nyawa pemiliknya atau mengakhiri konflik secepat mungkin”

Paman Ganta menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Kalau begitu, kita harus segera memulai pengerjaan pedang ini. Aku ingin melihat seperti apa pedang yang bisa mengendalikan diri pemiliknya.”

Kala lalu berkata pelan, “Sebenarnya, aku punya satu rancangan lagi. Tapi kita akan membutuhkan baja khusus dari wilayah selatan India. Logamnya sangat padat dan bisa menyimpan kekuatan tajam tanpa mudah patah.”

“Baja dari selatan India?” Ganta mengernyit. “Aku pernah dengar logam seperti itu dari pedagang Gujarat. Harganya cukup mahal, karena itu kami tidak pernah menggunakannya. Kau butuh banyak?”

“Tidak, cukup untuk satu bilah sebagai permulaan. Tapi logamnya harus murni.”

“Baiklah,” jawab Ganta. “Aku kenal satu atau dua saudagar yang mungkin bisa membantumu. Besok aku akan mengantarmu menemui mereka.”

Setelah itu Kala menanyakan jenis logam yang biasa digunakan oleh pandai besi di Majapahit.

Ganta menjelaskan panjang lebar—besi hitam dari pegunungan barat, perunggu dari arah selatan, dan baja kasar yang sering dicampur dari besi bekas alat pertanian. “Untuk senjata, kami lebih banyak menggunakan baja lipat. Tapi untuk alat besar, kami gunakan logam lunak agar mudah ditempa.”

Kala menyimak, lalu mulai menyebutkan beberapa jenis logam lain: satu dari pasir hitam yang banyak mengandung besi, satu lagi dari batuan berkilau yang bisa dipanaskan dalam suhu tinggi. Ia menyebut ciri-ciri tanah dan tempat di mana biasanya logam semacam itu dapat ditemukan.

Diskusi itu berlangsung sampai sore hari. Saat matahari mulai condong ke barat dan pasar mulai sepi, obor mulai dinyalakan di bengkel pandai besi milik Ganta.

Kala, Dyah, dan Bujang pamit dengan janji akan kembali dalam waktu dekat. Di tangan Ganta, sketsa-sketsa itu digenggam erat, seolah ia sedang membawa lembar-lembar masa depan.

--

Setelah mereka keluar dari bengkel tempa milik Paman Ganta, matahari sudah mulai condong ke barat, semburat jingga mengintip di balik atap pasar yang nyaris kosong.

“Sepertinya kita terlalu lama berada di tempat Paman Ganta,” ucap Dyah sambil melirik ke arah jalan pasar yang mulai sepi. “Padahal aku ingin mengenalkanmu langsung ke beberapa pedagang yang aku kenal, tapi sepertinya mereka sudah pulang.”

“Tak apa,” jawab Kala tenang. “Kita bisa lanjutkan besok. Lagipula, besok Aku juga harus kembali ke bengkel Paman Ganta untuk mulai membantu pengerjaan rancangan yang tadi kami bicarakan.”

“Setuju,” timpal Bujang sambil menguap kecil. “Aku juga akan ikut lagi besok. Tapi sekarang kita harus kembali ke padepokan, sebelum guru marah karena kita pergi terlalu lama.”

“Baiklah,” kata Kala, lalu menoleh ke Dyah. “Kalau begitu kami kembali dulu ke padepokan. Kamu bisa pulang sendiri, kan?”

Dyah menggeleng kecil. “Tunggu. Ayahku menitip pesan untuk mengajakmu ke rumah. Ia benar-benar penasaran denganmu.”

“Raden Tirta?” gumam Kala. “Benar juga… kemarin aku belum sempat menemuinya saat mengantarmu pulang. Aku harus mengucapkan terima kasih atas dukungannya di pertemuan kemarin.”

Kala lalu menoleh ke Bujang. “Kembalilah duluan. Sampaikan pada guru bahwa malam ini aku akan pulang larut lagi.”

Bujang menghela nafas sambil mengangguk. “Baiklah, tapi jangan terlalu larut, atau kau akan dicegat Tumenggung Reksanagara lagi.”

“Tentu,” jawab Kala singkat.

Bujang pun meninggalkan mereka berdua. Kala dan Dyah melanjutkan langkah mereka menyusuri jalanan kota yang mulai sepi, menuju kediaman bangsawan yang dihormati banyak orang itu.

 —

Kala dan Dyah berjalan menyusuri lorong pasar yang mulai senyap. Langit telah berubah jingga, dengan matahari menggantung rendah di balik deretan atap rumah dan pepohonan.

Suara langkah kaki mereka berpadu dengan kicau burung yang pulang ke sarang. Sisa aroma logam panas dan bara masih melekat di pakaian mereka, bercampur dengan wangi kayu dan rempah dari kios-kios yang sudah menutup.

“Sejak Ibu wafat, Ayah jarang menerima tamu. Bahkan banyak pejabat yang harus menunggu berhari-hari untuk menemuinya. Tapi… untukmu, ia yang meminta langsung.”

Kala menoleh, wajahnya tenang tapi sorot matanya menyimpan tanya. “Kenapa begitu?”

Dyah tersenyum kecil, tapi tidak menjawab langsung. “Nanti kau akan mengerti. Ayahku adalah pria yang baik, tapi ia punya cara sendiri untuk memahami watak orang yang baru dikenalnya.”

Kala tidak membalas. Ia hanya melangkah sedikit lebih lambat.

Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah besar yang bersahaja. Dinding kayu tua tampak kokoh, dihiasi ukiran lembut dan taman kecil yang rapi. Dua penjaga di depan gerbang memberi hormat saat melihat Dyah, lalu membuka pintu dan memberi isyarat agar mereka masuk.

Lorong rumah itu sunyi. Hanya suara langkah kaki mereka berdua yang terdengar, mengiringi aroma kayu manis dan cendana yang lembut dari dalam.

“Ayah, Aku sudah kembali” panggil Dyah begitu mereka mendekati sebuah ruangan yang sepertinya adalah kamar milik Tuan Rumah

Seorang pria paruh baya nampak berusaha bangkit dari tempat tidurnya, Ia mengenakan jubah panjang berwarna coklat tua. Wajahnya tenang, namun sorot matanya penuh wibawa—tajam, tapi tidak mengintimidasi.

Kala segera menunduk sopan sambil menempatkan tangan kanannya di dada. “Salam hormat, Raden Tirta. Terima kasih atas dukungan dan kepercayaan Anda berikan lewat putri Anda di pertemuan kemarin.”

Raden Tirta menatapnya dalam-dalam selama beberapa detik yang terasa panjang. Akhirnya ia berkata pelan sambil tersenyum , “Jadi… kaulah pemuda yang diceritakan panjang lebar oleh putriku.”

Kala mengangguk. “Benar Tuan, Putri Anda sudah banyak membantu Saya kemarin, tanpanya Saya akan mendapatkan banyak kesulitan. Anda memiliki putri yang sangat cerdas dan berani.”

Wajah Dyah memerah mendengar itu. Raden Tirta menangkap perubahan raut muka anaknya kemudian tersenyum sambil menggosok dagunya.

“Aku memang mengutus Dyah untuk menggantikanku untuk hadir di pertemuan kemarin, tapi aku menyerahkan kepadanya untuk mengambil keputusan apapun untuk kebaikan kami.”

“Dyah tolong bantu mbok Karni untuk menyiapkan jamuan untuk tamu kita. Panggilkan juga Bima adikmu untuk ikut makan bersama.” Ucap Tirta kepada anaknya.

Dyah lalu pergi meninggalkan Kala berdua bersama ayahnya.

“Aku tidak akan menanyakan lagi identitas dan asalmu, Dyah sudah cukup menceritakannya. Aku akan menghormati sikapmu untuk menyembunyikan jati dirimu karena yakin Kau pasti punya alasan tertentu untuk tidak mengatakannya.” Ucap Tirta sambil menatap tajam mata pemuda di depannya.

“Cukup jawab pertanyaanku ini,” ujar Raden Tirta, nadanya tenang tapi penuh bobot. “Mengapa kau ingin membantu kami—rakyat kami? Dengan pengetahuan dan kemampuanmu, kau bisa saja merebut kekuasaan dari tangan raja. Tapi kau tidak melakukannya. Mengapa kau memilih jalan ini—jalan yang lebih panjang, lebih berbatu?”

Kala terdiam. Tatapannya tidak goyah, tapi napasnya sempat tertahan. Kini ia tahu, pria di hadapannya ini bukan bangsawan biasa. Rakyat tidak menghormatinya karena garis keturunan atau kekuasaannya, melainkan karena kehebatannya dalam menaklukkan lawannya hanya dengan kata-kata.

Kala menarik napas pelan. Tatapannya tetap tenang, namun suaranya kini lebih dalam—ada ketegasan yang tumbuh dari luka lama.

“Saya pernah melihat sebuah peradaban kehilangan segalanya—kekuasaan, ilmu, bahkan harapan. Dunia itu tidak hancur oleh musuh dari luar, tapi oleh keserakahan dan kelalaian dari penguasanya… dan rakyatnya sendiri. Saya tidak ingin hal itu terjadi lagi. Tidak di sini.”

Ia berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Raden Tirta.

“Bagi saya, membantu rakyat Majapahit bukan soal ketulusan hati atau pengorbanan. Ini pilihan sadar—sebuah tanggung jawab—atas semua pengetahuan yang saya bawa. Agar dunia ini bisa jadi lebih baik… untuk semua yang hidup di dalamnya.”

Raden Tirta menyandarkan punggungnya perlahan. Matanya menyipit, seolah menakar kadar kebenaran dari setiap kata yang diucapkan Kala.

“Dan kau yakin, perubahan bisa datang dari alat dan akal… bukan dari takhta dan pedang?”

“Ini baru permulaan,” jawab Kala tenang. “Pohon yang besar tidak tumbuh dari batang dan daunnya, melainkan dari benih kecil yang mengakar dalam—menyentuh langsung lapisan bumi. Perubahan lahir dari mereka yang menyentuh langsung luka dan harapan rakyat. Karena itu saya ingin memulainya dari bawah—pengrajin, petani, pedagang kecil. Bukan dari istana.”

Senyum tipis mengembang di wajah Raden Tirta. “Banyak orang datang padaku membawa janji-janji perubahan. Tapi hampir semuanya menginginkan kekuasaan, atau setidaknya—kedekatan dengannya.”

Ia menunduk sebentar, lalu menatap Kala dalam-dalam.

“Aku akan mempercayaimu… untuk saat ini.”

Kala membungkuk hormat. “Saya berterima kasih atas kepercayaan Anda, Raden.”

Tirta mengangguk pelan. “Baiklah… Aku ingin melihat ke mana kau membawa langkahmu. Tapi ingat satu hal, Kala. Mereka yang menyalakan api, sering kali dibakar oleh apinya sendiri.”

Kala menatapnya dengan tenang dan menjawab lirih, “Saya siap terbakar, asalkan cahayanya bisa menerangi sepanjang masa.”

--

Raden Tirta bangkit dari duduknya, menatap Kala dengan isyarat ramah.

“Sudahlah, kita lanjutkan sambil makan. Kau pasti belum menyentuh apapun sejak pagi.”

Kala mengangguk pelan. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah yang sederhana namun bersih dan terawat. Beberapa lampu minyak menerangi jalan mereka menuju ruang makan mungil. Di sana, meja kayu persegi sudah tertata rapi, dikelilingi empat kursi ukiran tua yang tampak terawat. Hidangan khas Majapahit tersaji hangat: nasi pulen, sayur berkuah santan, lauk ikan sungai, serta sambal rempah yang menggoda lidah.

Raden Tirta mempersilakan, “Duduklah di sini, Kala,” sambil menunjuk kursi di samping Bima, tepat di seberang Dyah. Ia sendiri duduk di sebelah putrinya.

“Inilah putraku, Bima. Anak bungsuku. Ia juga murid di padepokan Mahadri, sama sepertimu.”

Kala menunduk hormat. “Senang berkenalan denganmu.”

“Saya sering dengar nama Kangmas disebut-sebut di padepokan,” sahut Bima dengan semangat. “Apalagi setelah tadi pagi Kangmas mengalahkan Mas Bujang.”

“Oh, kau mengalahkan Bujang dalam duel?” Raden Tirta menoleh, setengah terkejut. “Aku tidak pernah mengira ada orang seusianya yang bisa mengalahkannya, apalagi kau. Orang yang banyak menggunakan otaknya,” tambahnya sambil mengambil suapan pertama.

“Hanya kebetulan saja, Tuan. Bujang menjadi lengah setelah unggul di awal.” Jawaban Kala terdengar datar, nyaris seperti gumaman. Matanya tidak sepenuhnya hadir di ruang itu.

Mereka mulai makan. Dyah dan Tirta menyantap perlahan, tangan kanan mengikuti adat, sementara Bima sesekali membilas jari di mangkuk kecil berisi air bunga.

Kala masih menatap makanan. Wajahnya murung. Ia menunduk, seperti menyembunyikan sesuatu yang hampir tumpah dari dalam dirinya.

Dyah memperhatikannya. “Kau tidak menyukai masakannya?”

Kala menggeleng pelan. “Bukan begitu… Aku hanya belum pernah merasakan suasana makan seperti ini.”

Ia mengambil suapan pertama. Begitu makanan itu menyentuh lidahnya, sesuatu yang lama tertahan mulai meleleh. Matanya memanas. Satu tetes air mata jatuh tanpa ia sadari.

Bima yang sedang mengunyah berhenti. “Kangmas…” ucapnya pelan.

Raden Tirta menoleh, tapi hanya mengangkat tangan pelan, memberi isyarat agar tidak ada yang bicara.

Kala menegakkan tubuhnya, berusaha menguasai diri. “Maaf… aku sudah lama tidak bisa merasakan makanan seperti ini. Aku membuat suasana menjadi tidak enak.”

Tak ada yang menanggapi. Bukan karena tak peduli, melainkan karena tidak ingin mengganggu keheningan yang seolah sedang merawat luka. Sunyi itu menggantung hangat, seperti pelukan yang tak butuh kata.

Kala menunduk lagi, menatap hidangan. Tangan kirinya menggenggam pangkal lengan kanan, seakan menahan sesuatu agar tetap di dalam. Ia mengambil suapan berikutnya—lebih lambat, lebih sadar.

Selama ini, ia makan hanya agar tubuh tetap bertahan. Makan tanpa benar-benar merasa. Sudah lama sejak dunianya runtuh dan ia kehilangan segalanya. Dan meski kini ia duduk di ruang yang damai, luka itu tetap setia mengikutinya.

Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, ia pernah duduk di meja seperti ini, tapi tak pernah benar-benar melihat wajah-wajah di seberangnya. Hanya siasat. Hanya misi.

Namun kali ini berbeda.

Ia melihat tangan kecil Bima yang polos mengelap jari ke daun pisang. Ia melihat mata Dyah yang lembut dan tidak menghakimi. Ia melihat Raden Tirta, yang diam tapi hadir sepenuhnya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kala tidak merasa seperti orang asing di dunia yang bukan miliknya. Ia merasa seperti manusia di tengah manusia.

Dan justru karena itulah, ia merasa rapuh.

“Terima kasih…” katanya lirih. Tak jelas kepada siapa. Mungkin kepada Dyah. Mungkin kepada Raden Tirta. Mungkin kepada waktu itu sendiri, yang memberinya kesempatan untuk merasakan kembali apa yang pernah ia buang demi tujuan yang tak menyisakan kehangatan.

Dyah masih terdiam. Ia tak menyangka akan melihat sisi itu dari Kala—seseorang yang sejak awal tampak tenang, cerdas, dan kuat. Tapi kini, di balik cahaya lampu minyak yang temaram, ia tampak seperti daun kering yang bahkan bisa patah oleh hembusan angin.

Dyah menggenggam jemarinya sendiri di atas pangkuan, ragu. Ia ingin menghiburnya, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Tak ada kata-kata yang terasa cukup. Ia hanya bisa menatap Kala, mencoba menyampaikan bahwa ia ada di situ—bahwa ia mendengarkan, meski tak paham seluruh kisahnya.

“Kalau kau mau, nanti… bisa cerita,” ucap Dyah akhirnya, pelan, hampir seperti bisikan. “Tapi kalau tidak pun… tak apa.”

Kalimat itu menggantung, ringan tapi tulus. Kala tidak menoleh, tapi ia mendengarnya.

Raden Tirta yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, dalam, seperti seseorang yang telah banyak melihat kesedihan tapi memilih untuk tidak memaksakan harapan.

“Kita memang baru saling mengenal,” ujarnya, “Tapi kau sudah menjadi bagian dari kami. Jangan kau pikul semuanya sendiri.”

Kala masih menunduk, tapi matanya bergerak, seperti sedang menahan tangis yang belum selesai. Kata-kata itu menembus sesuatu dalam dirinya.

Bima hanya terdiam. Ia menatap ayah dan kakak seperguruannya bergantian, mencoba memahami beban yang tak sepenuhnya ia mengerti. Ia belum cukup dewasa untuk memberi tanggapan, tapi ia tahu: ada sesuatu yang penting sedang terjadi di hadapannya.

Suasana hening menggantung sejenak di antara mereka. Hanya suara lembut air dalam kendi yang dituang ke gelas tanah liat terdengar samar. Tak ada yang tahu harus berkata apa, tapi tak ada pula yang merasa perlu memaksa. Luka tak selalu butuh obat berupa kata.

Dyah, yang masih menunduk dalam diam, akhirnya bergerak. Ia menyendokkan satu potong ikan sungai yang masih hangat ke piring Kala, lalu berkata pelan, hampir seperti bisikan,

“Cobalah ini. Mbok Karni bilang bumbunya pas hari ini.”

Kala mengangkat wajahnya, matanya bertemu mata Dyah. Tak ada desakan dalam pandangannya, hanya kehangatan yang tak diucapkan. Ia mengangguk pelan, lalu mengambil suapan berikutnya.

Makan kembali dilanjutkan, perlahan, dalam diam yang tak lagi canggung. Tak semua luka bisa sembuh malam itu, tapi setidaknya mereka sedang duduk bersama—dan itu, bagi Kala, sudah lebih dari cukup.

Setelah selesai makan, Kala mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.

“Maaf… aku membuat suasana menjadi tidak enak,” katanya dengan nada menyesal.

Ia kemudian berpamitan kepada Raden Tirta yang menjawab dengan anggukan tenang.

“Dyah,” ujarnya kepada putrinya, “antarkan Kala sampai ke depan.”

Dyah bangkit dan berjalan bersama Kala menuju pintu. Malam sudah turun sempurna, angin membawa wangi bunga kenanga dari halaman samping. Saat mereka melewati ambang pintu, Dyah menoleh padanya.

“Kau yakin tak ingin menceritakan apa pun padaku?” tanyanya lembut. “Dengan bercerita, beban yang kau pikul bisa menjadi lebih ringan—dan langkahmu ke depan mungkin tak seberat sekarang.”

Kala terdiam sesaat, lalu menatapnya dengan senyum tipis yang belum sempat mengusir bayang kesedihan dari wajahnya.

“Aku akan menceritakannya… saat aku sudah siap,” jawabnya lirih. “Terima kasih sudah menemaniku hari ini. Kita harus beristirahat, masih banyak hal yang harus kita lakukan besok.”

Dyah mengangguk pelan. “Aku akan menantikannya. Saat kau siap, aku akan mendengarkan kisahmu dengan sepenuh hati. Selamat beristirahat… dan hati-hati di jalan.”

Kala menunduk hormat, kemudian melangkah melewati gerbang. Dua penjaga yang berjaga malam itu memberi salam sopan. Kala membalas dengan anggukan singkat sebelum bergegas menyusuri jalan kembali ke padepokan. Malam yang tenang menyambut langkahnya, sementara dalam dadanya masih bergema suara yang belum sempat Ia bagi.