Chapter 3 - Bayangan yang Tersingkap

Udara pagi masih dingin, embun belum sempat benar-benar menguap dari dedaunan. Langit perlahan berwarna biru pucat, sementara bayang-bayang panjang pohon trembesi merambat pelan di tanah padepokan.

Kala membuka mata lebih awal dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak ia tiba di masa ini, ia merasa benar-benar pulih setelah tidur. Tanpa menunggu lama, ia bangkit, membersihkan diri dengan air dari tempayan bambu di samping biliknya, membasuh wajah, lalu menyeka sisa kantuk dari matanya.

Langkahnya ringan saat menyusuri jalan setapak menuju lapangan latihan. Suara alam menjadi satu-satunya irama: cicit burung pagi, desau angin di antara daun, dan gemericik air dari saluran kecil di samping bangunan utama padepokan.

Lapangan itu masih kosong. Tanahnya masih basah, meninggalkan aroma khas tanah subuh. Di bawah pohon trembesi tua di ujung halaman, tampak siluet yang tak asing: Ki Mahadri, duduk bersila dengan tenang, sebuah naskah di pangkuannya dan sebuah cangkir uap tipis mengepul di dekat kakinya.

Kala mendekat tanpa mengucap sepatah kata. Ki Mahadri tak langsung menoleh, tapi seolah sudah tahu siapa yang datang.

“Pagi ini kau datang lebih awal,” ucapnya pelan, suaranya dalam tapi lembut.

Kala mengangguk dan duduk perlahan di sampingnya. “Aku rasa... tubuhku sudah mulai menyesuaikan diri dengan irama tempat ini.”

Ki Mahadri tersenyum samar. “Atau mungkin hatimu yang mulai menemukan tempat berpijak. Kau nampak lebih baik dari kemarin, langkahmu terlihat lebih ringan” Ia menutup naskahnya perlahan, lalu memandang lurus ke arah cakrawala. “Bagaimana pertemuanmu dengan Raden Tirta?”

Kala menatap ke arah yang sama. “Menenangkan. Pertemuan dengan beliau mengurangi sedikit beban yang ada di pundakku.”

“Dan putrinya?” tanya Mahadri sambil menyeruput sedikit minuman hangatnya, nada suaranya ringan namun penuh arti.

Kala hanya tertawa kecil, lalu menggeleng. “Masih terlalu banyak hal penting yang harus kupikirkan sebelum menjawab pertanyaan itu.”

Ki Mahadri terkekeh kecil. “Jawaban yang aman. Tapi bijak.”

Mereka diam sejenak. Embun pagi semakin menipis, dan dari kejauhan, suara para murid mulai terdengar perlahan, satu per satu bangkit dari tidur mereka. Hari baru akan segera dimulai.

---

Kala berdiri di depan Ki Mahadri yang tengah duduk santai di bawah pohon trembesi. Embun pagi masih menggantung di dedaunan. Ia menatap pria tua itu sejenak, lalu membuka suara.

“Bagaimana dengan usulanku kemarin, Ki? Apakah engkau sudah mempertimbangkannya?”

Ki Mahadri menoleh perlahan, menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.

“Sudah. Aku memikirkannya cukup dalam.”

Ia menghela napas sebentar sebelum melanjutkan.

“Yang kau minta itu bukan hal kecil, Kala. Mengajarkan anak-anak ini cara berpikir dan bertarung sudah cukup berat. Sebagian besar dari mereka adalah anak buruh tani dan anak-anak yatim piatu yang tidak memiliki tempat di masyarakat. Dan sekarang, kau ingin melatih mereka untuk bergerak diam-diam, mengamati, dan menyusup… itu jauh lebih rumit. Bukan tentang kemampuan, tapi juga soal tanggung jawab. Ini jauh lebih besar dari yang mungkin anak-anak itu pernah bayangkan”

Kala mengangguk pelan. Ia tahu ini akan dibahas.

“Aku tidak menolak usulanmu. Tapi kita tidak bisa langsung melibatkan semua murid. Harus dipilih. Yang betul-betul bisa menjaga tubuh dan pikirannya”

Mahadri menatap ke arah lapangan kosong.

“Mungkin tiga sampai lima orang dulu. Yang kau lihat punya kemampuan.”

Ia kembali memandang Kala.

“Kau sanggup membimbing mereka?”

“Tentu saja, Ki,” jawab Kala mantap. “Aku akan segera memilih mereka yang sanggup untuk tanggung jawab ini.”

Ki Mahadri mengangguk. “Baik. Kalau begitu, kita mulai perlahan. Aku ingin tahu seberapa jauh gagasanmu kali ini bisa diterapkan.”

Ia menyesap air jahe dari cangkir kecil di tangannya. Suara murid-murid mulai terdengar di kejauhan.

“Pilih mereka dengan hati-hati. Dan bimbing mereka sendiri. Aku akan bantu kalau dibutuhkan, tapi Sebagian besar tanggung jawabnya ada padamu.”

Kala menunduk hormat. “Terima kasih, Ki. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Mahadri berdiri perlahan. “Kalau begitu, kita lihat siapa saja yang bisa menjalankan tugas ini.”

Tak lama kemudian, dari ujung jalan batu yang mengarah ke halaman padepokan, muncul sosok Bujang. Ia berjalan santai seperti biasa, diikuti oleh barisan murid-murid yang mulai berdatangan sambil bercanda kecil dan menggulung lengan baju mereka, bersiap untuk latihan pagi.

Melihat Kala sudah berdiri di sisi Ki Mahadri, Bujang mengangkat alis dan berseru, “Heh, kau ternyata bisa bangun pagi juga, Kala! Kukira kau hanya muncul kalau matahari sudah menampakkan Sebagian besar sinarnya”

Ia mendekat sambil menyeringai. “Apakah kau menikmati malam yang indah bersama tuan putri dan keluarganya? Itukah yang membuatmu nampak lebih bahagia pagi ini?”

Kala, seperti biasa, tidak menanggapi candaan bodoh Bujang. Ia hanya melirik sekilas sambal menghela nafas, lalu menoleh kembali ke arah lapangan latihan.

Ki Mahadri berdiri perlahan sambil menepuk-nepuk debu dari bajunya.

“Bujang,” katanya dengan suara tenang tapi tegas, “cukup bercandanya.”

Bujang segera berdiri tegak, meski senyumnya belum benar-benar hilang.

“Mulai hari ini, kenalkan Kala lebih dekat dengan para murid. Ia akan ikut memimpin latihan pagi bersamamu.”

Bujang sempat melirik ke arah Kala, sedikit terkejut tapi tidak menampakkan penolakan.

“Baik, Guru.”

Ki Mahadri menatap keduanya sejenak, lalu berkata pelan, “Latihan bukan hanya tentang tubuh. Hari ini, coba ajak merekamenggunakan kepalanya. Aku serahkan latihan hari ini pada kalian berdua. Aku ada janji dengan teman lamaku.”

Setelah itu ia berbalik meninggalkan lapangan, membiarkan dua pemuda itu mengambil alih.

Kala melangkah ke tengah lapangan bersama Bujang. Para murid mulai membentuk barisan melingkar. Ada beberapa yang berbisik-bisik, penasaran apa yang akan dilakukan hari ini. Salah satunya bertanya pelan pada temannya, “Dia yang mengalahkan kangmas Bujang, kan? Yang baru datang itu?”

Bujang menepuk pundak Kala sambil berbisik dengan nada rendah, “Ayo, tunjukkan pada mereka kalau kau bukan cuma bisa bicara saja.”

Kala tersenyum tipis. “Hari ini, kita akan banyak berpikir tentang cara bertahan hidup… tanpa harus selalu mengandalkan kekuatan.”

Bujang melangkah ke tengah lingkaran murid, lalu mengangkat tangan memberi isyarat agar suasana tenang.

“Kalian semua sudah mengenalnya, setidaknya dari nama dan kabar yang tersebar kemarin,” katanya lantang. “Tapi hari ini, dia bukan hanya tamu atau murid baru. Dia akan jadi bagian dari latihan kita. Namanya Kala—dan seperti kalian tahu, dia baru kembali dari perjalanan panjang.”

Beberapa murid berbisik pelan. Sebagian mencuri pandang ke arah Kala, sebagian lagi menunduk dalam rasa penasaran yang belum selesai.

Kala melangkah ke depan, berdiri tenang di samping Bujang. Matanya menatap satu per satu wajah muda yang berdiri di hadapannya.

“Terima kasih sudah menerimaku di antara kalian,” ucapnya pelan namun jelas. “Aku tahu, aku bukan orang yang tumbuh bersama kalian. Tapi aku datang bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk berbagi sesuatu yang kupelajari di tempat-tempat lain.”

Ia berjalan pelan di tengah lingkaran.

“Negeri ini kaya, tapi kekayaannya belum dinikmati semua rakyatnya. Majapahit pernah besar karena lautan dan pedangnya, tapi aku percaya... masa depan Majapahit akan lebih besar jika dibangun lewat pengetahuan dan kerja bersama.”

Ia berhenti dan memandang mereka lebih dalam.

“Aku ingin memulainya dari sini. Dari tangan-tangan kalian, anak-anak muda yang sedang belajar di tempat ini.”

Ia lalu berbalik, menatap barisan murid yang tampak mulai terdiam.

“Sekarang, aku ingin bertanya…”

Ia menatap seorang pemuda di barisan depan.

“Kenapa kalian sekarang berkumpul di halaman ini?”

Beberapa wajah saling menatap bingung. Seorang murid yang cukup tinggi mengangkat tangan perlahan.

“Karena… ini kebiasaan kami?” jawabnya hati-hati.

Kala tersenyum tipis. “Kenapa itu jadi kebiasaan kalian?”

Pemuda itu berpikir sejenak. “Guru berkata, mengolah tubuh di pagi hari akan membantu kami menjalankan kegiatan sehari-hari.”

“Lalu, kalau Ki Mahadri tidak pernah berkata begitu, apakah kalian akan tetap melakukannya?”

Kebisuan turun perlahan. Pemuda itu tertunduk. Tidak ada yang menjawab. Kala menoleh ke sisi kanan, lalu kiri. Semua terdiam.

Kala melangkah kembali ke tengah.

“Tidak ada yang salah dengan berlatih karena perintah guru. Tidak pula salah jika kalian melakukannya karena ini sudah menjadi kebiasaan. Tapi…”

Ia berhenti sejenak. Suaranya merendah tapi tegas.

“Jika kalian ingin latihan ini berarti lebih dari sekadar gerakan tubuh, kalian harus mencari tujuan yang lebih besar.”

Mata beberapa murid mulai menatap Kala lebih serius.

“Latihan tanpa tujuan yang kalian pilih sendiri, hanya akan membuat tubuh kuat… tapi tidak akan membuat kalian tahan menghadapi dunia.”

Ia memutar tubuhnya menghadap seluruh barisan.

“Karena itu, dalam latihan hari ini… kita tidak hanya menggerakkan tubuh. Tapi juga menggerakkan pikiran dan hati.”

Kala menunduk sedikit, suaranya lebih dalam.

“Temukan alasan kalian sendiri untuk berlatih. Untuk tetap berada di padepokan ini. Karena kelak, alasan itu yang akan melindungi kalian… saat tidak ada satu pun yang bisa memerintahkan apa yang harus kalian lakukan.”

Setelah kata-kata itu terucap, suasana halaman padepokan masih hening. Tapi bukan karena bingung—melainkan karena mulai berpikir.

Kala berjalan perlahan, menatap satu per satu.

“Kau,” ujarnya sambil menunjuk seorang murid muda yang kurus tapi bersorot mata tajam. “Kenapa kau ingin menjadi lebih kuat?”

Anak itu tampak ragu. Tapi akhirnya menjawab, “Karena… ibuku seorang penenun. Ayahku hilang di perbatasan. Aku ingin bisa menjaga rumah kami.”

Kala mengangguk. “Itu alasan yang kuat. Kau ingin menjadi pelindung.”

Ia beralih ke murid lain. “Kau?”

Yang ditunjuk terlihat gugup. “Aku… Aku tidak tahu. Aku hanya… ingin dianggap berguna.”

“Kau ingin diakui.”

Kemudian ke murid lainnya. “Kau?”

“Aku ingin kelak bisa mengajar adik-adikku… seperti Ki Mahadri mengajar kita.”

“Kau ingin mewariskan ilmu.”

Kala lalu berdiri kembali di tengah lingkaran.

“Lihat? Tiga alasan berbeda, tapi semua penting. Dan masing-masing bisa menjadi bahan bakar. Untuk bertahan. Untuk bangkit. Untuk terus belajar.”

Ia menatap mereka semua. Kali ini, mata mereka mulai menatap balik dengan keyakinan.

“Aku tidak ingin kalian menjadi peniru. Aku ingin kalian menjadi pemilik dari setiap gerakan yang kalian pelajari. Maka, temukan ‘kenapa’-mu. Tidak harus hari ini. Tapi ketika kau menemukannya, pukulanmu tidak hanya akan menjatuhkan musuhmu, tapi akan menggetarkan dunia.”

Ia menoleh ke arah Bujang. “Mulai dengan latihan nafas dan kuda-kuda. Tapi hari ini, setiap gerakan harus dilakukan dengan satu kalimat dalam pikiran: ‘Aku berlatih karena…’”

Bujang mengangguk dan mulai memberi aba-aba. Murid-murid pun mengambil posisi. Tapi berbeda dari sebelumnya, kini tiap tarikan napas mereka mengandung sedikit keheningan—dan sedikit lebih dalam.

Kala melangkah ke tepi lingkaran. Ia tahu, perubahan tidak lahir dalam sehari.

Tapi hari ini, ia telah menyalakan api kecil di dalam dada anak-anak itu.

Dan bagi Kala… itulah permulaan yang sesungguhnya.

Latihan pagi terus berlanjut hingga sinar matahari mulai menyengat kulit. Setelah melewati rangkaian teknik dasar dan latihan pernapasan, Bujang akhirnya memberi aba-aba untuk beristirahat.

Sebagian murid duduk bersila di bawah naungan pohon, sebagian lagi mengambil air dari tempayan dan membasuh muka. Nafas mereka berat, namun wajah-wajahnya kini tampak lebih hidup. Seperti ada sesuatu yang baru tumbuh dalam benak mereka.

Kala duduk di atas batu datar di sisi lapangan, mengamati gerak-gerik para murid dengan tenang.

Seorang murid muda, dengan rambut yang digelung seadanya dan tubuh kecil tapi berotot, mendekat ragu-ragu.

“Maaf… Kangmas Kala,” sapanya sambil menunduk hormat. “Bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Kala menoleh dan mengangguk. “Tentu.”

Murid itu duduk di hadapannya, masih tampak canggung. “Kemarin… saat Kangmas melawan Kangmas Bujang. Di akhir pertarungan itu… ada pukulan aneh. Pukulan pendek. Tapi Kangmas Bujang sampai terpental. Itu… ilmu apa?”

Beberapa murid lain yang mendengar langsung ikut mendekat, pura-pura duduk santai tapi jelas mendengarkan penuh perhatian.

Kala menatap si murid sejenak, lalu menjawab perlahan.

“Itu bukan ilmu sakti. Bukan pula pukulan rahasia. Itu hanyalah ilmu tentang arah dan waktu. Tentang memahami tubuh dan kekuatannya.”

Ia menggenggam tangannya di depan dada. “Pukulan itu berasal dari teknik bela diri yang aku pelajari di sebuah negeri jauh di timur. Mereka menyebutnya ippon-ken, atau pukulan satu jari. Tapi yang kulakukan kemarin lebih mirip pengembangan lain yang disebut pukulan lima jari—pukulan jarak dekat yang mengandalkan seluruh tenaga tubuh, dikumpulkan dan dilepas dalam satu hentakan sangat pendek.”

Mata para murid membelalak. “Tapi… itu hanya jarak satu jengkal…”

“Benar. Tapi jika tubuh kalian sudah selaras… dari kaki, pinggang, bahu, hingga ujung jari… maka satu jengkal pun bisa seperti hantaman gada.”

Kala menatap mereka satu per satu. “Tapi teknik itu tidak penting kalau kalian tidak memahami dasarnya: tubuh, pernapasan, dan waktu.”

Salah satu murid lain angkat tangan. “Kangmas, apakah… apakah kami bisa mempelajarinya?”

Kala tersenyum. “Tentu saja, semua orang bisa melakukannya. Tapi hanya jika kalian sabar membangun dasar-dasarnya dulu. Dan juga… teknik itu… digunakan untuk mempertahankan diri, bukan untuk menyerang. Kalian harus belajar untuk mengendalikan diri terlebih dahulu”

Para murid terdiam. Beberapa mengangguk pelan. Bagi mereka, kekuatan biasanya berarti keras, besar, dan penuh tenaga. Tapi kali ini, mereka melihat bahwa kendali bisa lebih mematikan dari kemarahan.

Kala pun berdiri perlahan. “Ayo, istirahatnya cukup. Kita lanjutkan latihan. Tapi kali ini, coba rasakan aliran tenaga kalian. Mulailah dari tumit… lalu arahkan sampai ke ujung jari.”

Bujang yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. “Dasar tukang pikir,” gumamnya, lalu ikut bergabung ke tengah lapangan.

Kala dan Bujang tak banyak memberi koreksi teknis. Mereka membiarkan para murid menemukan ritmenya sendiri. Sesekali Kala memberi isyarat pelan—mengatur postur, memperbaiki arah gerak, atau sekadar menepuk bahu dengan anggukan kecil yang berarti: bagus, lanjutkan.

Hingga akhirnya, matahari naik tinggi dan napas mulai terengah, Kala mengangkat tangan ke udara.

“Cukup untuk hari ini,” ucapnya lantang. “Kita tutup dengan satu hal sederhana: pikirkan satu alasan kenapa kalian ingin lebih kuat dari hari ini. Simpan alasan itu baik-baik. Bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirimu sendiri.”

Para murid mengangguk. Mereka mulai berpencar, sebagian kembali ke tempat tinggal masing-masing, sebagian duduk sejenak di bawah rindangnya pohon untuk menenangkan badan.

Kala sendiri mengambil kendi kecil dan membasuh wajahnya. Ia tengah membasuh wajahnya saat suara langkah pelan mendekat dari arah jalur samping padepokan. Ia menoleh.

Di bawah bayangan atap bambu, berdiri Dyah Larasmaya. Rambutnya disanggul rapi, dan kainnya berwarna hijau pucuk yang lembut. Tatapannya hangat, tapi tetap membawa kesan anggun yang membuat banyak orang ragu untuk menyapanya lebih dulu.

“Kau cukup serius memimpin latihan pagi,” ucap Dyah dengan nada datar, namun tersirat kekaguman di baliknya.

“Dan kau cukup rajin untuk datang pagi-pagi ke padepokan,” jawab Kala sambil menegakkan punggung.

Dyah berjalan mendekat beberapa langkah. “Aku memang berniat mencarimu. Ingat? kemarin kita belum sempat menemui para pedagang yang ingin kuperkenalkan padamu. Mereka biasanya hanya buka pagi sampai menjelang siang. Kalau kita berangkat sekarang, kita masih sempat.”

Kala mengangguk. “Ah kau benar, hampir saja aku lupa. Tunggu sebentar, aku ambil kantong dan catatan sketsaku.”

Suara langkah cepat menghampiri mereka sebelum Kala sempat berbalik. Bujang muncul dari balik semak rendah dengan rambut yang masih sedikit basah karena keringat latihan.

“Aku sudah tahu kalian akan pergi ke pasar,” serunya santai. “Tenang saja, aku tidak ikut. Aku hanya ingin berjalan-jalan ke arah pasar sambil menikmati udara pagi.”

Dyah menyipitkan mata. “Jalan-jalan ke pasar dengan kantong yang diikat di pinggang, dan belati kecil di balik sabukmu?”

“Aku kan tetap harus berjaga, siapa tahu ada copet,” kilah Bujang sambil tersenyum lebar.

Kala menatap mereka berdua dengan pandangan datar. “Sepertinya aku harus membiasakan diri dengan ini.”

“Kalau tidak,” bisik Bujang pelan, “kau bisa jadi orang ketiga yang paling tidak bahagia di perjalanan ini.”

Dyah mengabaikan komentar itu dan mulai melangkah. “Ayo, sebelum pasar terlalu ramai.”

Mereka bertiga pun berjalan keluar dari padepokan, menyusuri jalanan berdebu yang perlahan mulai hidup dengan lalu-lalang pedagang, suara roda gerobak, dan sapaan para ibu yang menjinjing bakul di kepala. Udara pagi membawa aroma kue basah, rempah, dan asap kayu. Dari kejauhan, suara pasar mulai terdengar seperti nyanyian riuh sebuah kota yang baru terjaga.

Pasar mulai hidup saat matahari naik setengah tombak dari cakrawala. Kala dan Dyah berjalan beriringan di antara lorong-lorong yang sempit, melewati kios rempah, tumpukan keramik, dan lapak kain tenun yang dijajakan dengan warna mencolok. Di belakang mereka, seperti biasa, Bujang berjalan sambil sesekali menyapa penjaja yang dikenalnya.

Tujuan mereka adalah sebuah warung teh yang letaknya agak tersembunyi di balik deretan toko perhiasan. Tempat itu kecil dan teduh, dengan tikar rotan yang digelar di atas lantai tanah liat. Di sana, beberapa pedagang yang kemarin tak sempat ditemui sudah menunggu. Wajah-wajah mereka menunjukkan rasa ingin tahu—beberapa karena penasaran, sebagian lain karena kabar tentang pemuda aneh yang mengalahkan Bujang dan mengguncang pertemuan Ki Mahadri.

Kala menyapa mereka dengan sopan, lalu duduk bersila. Dyah duduk di sampingnya, sementara Bujang memilih bersandar santai di tiang bambu.

Setelah basa-basi awal, Kala mulai bicara.

“Saya tidak akan berpanjang-panjang. Saya tahu waktu kalian berharga. Tapi saya ingin menawarkan sebuah kemungkinan—bukan sekadar dagang, tapi kerja sama yang bisa membawa keuntungan lebih luas.”

Para pedagang menatapnya lekat-lekat.

“Kita hidup di masa ketika banyak jalur niaga mulai berubah. Saingan dari luar negeri makin banyak, dan wilayah Majapahit yang luas justru sering membuat kita saling berjauhan tanpa koneksi nyata. Karena itu, saya ingin membantu membangun jaringan dagang antarkawasan—bukan hanya di dalam negeri, tapi juga keluar, ke daerah-daerah yang biasa kalian datangi: Palembang, Malaka, bahkan ke arah barat sampai Gujarat.”

Seorang pedagang paruh baya menyela pelan. “Kami sudah biasa berdagang antarpelabuhan. Tapi yang kau bicarakan terdengar seperti kerjaan orang istana.”

“Tepat,” jawab Kala dengan tenang. “Tapi justru itu yang membuatnya selama ini sulit berkembang. Karena semua bergantung pada kuasa. Yang saya ajukan adalah jaringan yang tumbuh dari kalian sendiri—dari kepercayaan dan kerja sama. Saya akan bantu dengan peta jalur, catatan tentang harga komoditas, dan perkiraan musim perdagangan. Kalian hanya perlu menyediakan data, lalu menyebarkannya kembali ke rekan-rekan kalian.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Jika kalian bersedia, kita bisa membangun pusat-pusat pertukaran informasi sederhana di beberapa pelabuhan. Satu orang per pelabuhan saja sudah cukup untuk memulai. Kita tidak menyebar ide, kita menyebar berita. Kita bukan pendakwah, kita pedagang.”

Suasana hening sejenak. Beberapa pedagang saling pandang. Satu-dua mulai mengangguk pelan. Dyah memperhatikan mereka satu per satu, dan tahu—kata-kata Kala tidak jatuh sia-sia.

“Kau ingin menyusun peta niaga,” gumam salah satu dari mereka, “bukan hanya peta barang, tapi peta manusia.”

Kala tersenyum. “Tepat sekali. Kita mulai dari orang-orang yang ada. Yang re