"Langit tak pernah adil. Ia hanya diam, dan dari diam itu, manusia belajar untuk menggertak takdir."
Ada sebuah pepatah tua yang terkubur dalam kitab usang milik Sekte Bintang Merah:
“Takdir adalah tali yang digantung dari langit. Siapa yang menaikinya, akan melihat dunia. Siapa yang menggigitnya, akan dihancurkan oleh dunia.”
Namun, bahkan pepatah yang diwariskan oleh ribuan generasi itu tak cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi saat tali itu putus.
Sebelum dunia mengenal kultivasi... sebelum esensi qi mengalir di pembuluh darah manusia… bahkan sebelum langit dan bumi terpisah dari satu kehendak purba yang membentuk realitas—terdapat sebuah luka. Sebuah retakan tipis dalam hukum semesta. Ia tak terlihat oleh mata, tak teraba oleh jiwa, namun dirasakan oleh mereka yang telah hidup cukup lama untuk mencium aroma kehancuran.
Retakan itu menyimpan sesuatu: sebuah kehendak yang tak tercatat di papan takdir, dan tak dikenal oleh para dewa. Ia tak memiliki nama, namun semua makhluk yang menyentuhnya… akan kehilangan kendali atas takdir mereka sendiri.
Satu makhluk pernah mencoba menjelajah ke dalam celah itu. Ia kembali sebagai raksasa yang memerintah tujuh galaksi—namun berakhir ditelan oleh kehampaan yang diciptakannya sendiri. Sejak itu, celah tersebut disegel oleh Tiga Leluhur Surgawi, dan dihapus dari sejarah dunia oleh tujuh Sekte Langit Asal.
Namun, yang disegel tak pernah benar-benar mati. Ia menunggu... menunggu bukan seorang pahlawan, bukan seorang dewa, tetapi seseorang yang tak seharusnya ada.
Di sebuah lembah tersembunyi, jauh dari peta kekuasaan sekte-sekte besar, terdapat desa yang bahkan burung pun jarang singgah: Desa Qingshui.
Di tempat itu, kabut turun bahkan saat matahari tegak di langit. Kabut yang bukan uap air, melainkan sisa esensi spiritual yang tidak pernah terserap—seolah bumi itu sendiri menolak untuk tumbuh. Tak ada binatang roh, tak ada tanaman obat, tak ada kultivator yang sudi menetap.
Namun di situlah, seorang anak terlahir—saat tujuh bintang di langit membentuk formasi terbalik. Malam itu, lautan tenang berubah menjadi pusaran; naga langit mengangkat kepala; dan suara asing terdengar dari patahan dimensi: “Kelahiran telah terjadi. Segel akan retak. Jalur ketiga akan terbuka.”
Ia dinamai oleh ayahnya sebagai Ren Liang, yang berarti "Sisa Kebaikan". Nama yang sederhana. Namun, para tetua desa menolak memberi restu. Ibu-ibu membawa anak mereka menjauh. Para peramal menolak meramal nasibnya—karena setiap lembaran takdir yang dibuka... terbakar tanpa alasan.
Ren Liang tumbuh sebagai anak tak berakar spiritual. Ia tidak bisa menyerap qi dari langit dan bumi. Ketika anak-anak sebayanya mulai bermeditasi dan bermain-main dengan formasi dasar, ia hanya bisa menatap dari kejauhan. Tubuhnya menolak teknik kultivasi, bahkan yang paling sederhana pun.
Tapi itulah keanehannya: meski tidak memiliki fondasi kultivasi, ia tidak pernah sakit. Tidak pernah terluka. Tidak pernah bermimpi... hingga usianya menginjak sepuluh tahun.
Pada suatu malam keempat belas di musim gugur kesepuluhnya, Ren Liang terbangun karena suara. Suara itu bukan dari dunia ini. Ia mendengar lantunan yang tak berasal dari bahasa mana pun, namun hatinya memahaminya:
“Jika dunia ini menolakmu, maka rebutlah dunia itu sendiri.”
Saat ia terbangun, matanya bersinar dengan cahaya lembut, nyaris tak terlihat. Ia tidak tahu bahwa pada malam itu, garis nasibnya telah dirobek dan dijahit ulang oleh sesuatu… atau seseorang… yang berada di luar batas pemahaman manusia.
Di tempat lain, jauh di pusat Kekaisaran Qi Tian, seorang petapa tingkat tinggi terbangun dari meditasinya. Jubahnya compang-camping karena lonjakan energi mendadak. Di sekelilingnya, sepuluh pil ajaib meledak serempak. Mata batinnya menatap ke arah selatan—ke sebuah titik yang seharusnya tidak ada.
"Cel—... Retakan itu masih hidup…?"
Di pegunungan utara, seekor macan roh berumur seribu tahun berlutut, gemetar tanpa sebab.
Di istana langit, seorang pendeta suci meludah darah dan berkata, “Bahkan langit pun tak mampu menghentikannya kali ini.”
Di tengah semua kekacauan itu, Ren Liang hanya seorang anak lelaki yang duduk di pinggir sungai desa. Ia memandangi bayangannya sendiri, memegang batu kecil yang ia temukan di bawah akar pohon mati—batu yang berdenyut seperti jantung. Batu itu bersuara dalam pikirannya:
“Aku telah menunggumu sejak sebelum dunia ini diberi nama.”
Dan sejak saat itu… langit mulai bergerak.
Bukan karena Ren Liang kuat.
Bukan karena dia ditakdirkan menjadi pahlawan.
Tapi karena ia adalah kesalahan yang tak bisa diperbaiki oleh semesta.
Celah Takdir bukan kisah tentang bagaimana menjadi Dewa. Ini kisah tentang bagaimana menjadi ancaman bagi Dewa.