Bab 1 — Hening yang Menggores

Ribuan tahun telah berlalu sejak Jiwa Langit pecah, dan waktu pun tak mampu merapal ulang keseimbangan yang telah dilumat. Dunia ini, dulunya dipenuhi harmoni antara roh, qi, dan kehendak langit, kini ibarat instrumen retak yang dipaksa memainkan nada-nada sumbang.

Dalam salah satu celah terlupakan dunia itu, tersembunyi sebuah desa kecil bernama Wuyi. Letaknya jauh dari jalur dagang dan medan kultivasi. Tidak ada formasi pelindung agung, tidak pula batu roh yang tumbuh dari tanah. Hanya reruntuhan sawah, udara yang pekat, dan malam yang selalu datang lebih cepat dari seharusnya.

Di sinilah Ren Liang hidup.

Ia tidak seperti anak-anak desa lainnya. Ia tidak belajar cara bercocok tanam atau menggembala hewan. Sejak usia empat tahun, tubuhnya menolak segala bentuk qi. Bahkan seorang pengelana tua yang pernah menginap semalam pun berkata dengan nada gentar:

“Tubuhnya seperti kaca yang memantulkan semua cahaya langit… tapi menyerap bayangannya.”

Bukan sanjungan. Lebih mirip kutukan.

Setiap pagi, Liang duduk di tepi Sungai Qingshui yang hampir mengering. Ia akan menatap airnya yang tak lagi mengalir seperti semestinya. Kadang, ia meletakkan telinganya di permukaan batu sungai dan berbisik, seolah berharap mendengar sesuatu yang tak bisa didengar orang lain.

"Apa kau tahu kenapa mereka tak mau menyentuhku?" bisiknya pada sungai. Tidak ada jawaban. Bahkan gaung pun tak kembali padanya.

Sang kepala desa, Liu Bo, pernah mencoba membawa Liang ke kota sekte terdekat, Sekte Awan Miring, berharap ada yang bisa membantunya membuka satu jalur meridian saja. Tapi begitu salah satu tetua sekte mencoba menyentuh pergelangan tangan Liang untuk memeriksa aliran qi-nya, darah keluar dari matanya sendiri. Ia jatuh lunglai dengan pandangan kosong.

“Anak ini bukan jalan yang terhalang,” ujar tetua itu gemetar. “Ia adalah jalan yang menolak dilalui.”

Setelah itu, Liang tidak pernah keluar desa lagi.

Ia hidup di pondok kecil di ujung timur Wuyi, dindingnya rapuh, atapnya bolong, lantainya bersuara bila diinjak. Tidak ada lilin, tidak ada lentera. Ia terbiasa dalam gelap. Cahaya hanya mengganggu pikirannya.

Malam hari, ia sering terbangun karena suara yang tidak bisa dijelaskan. Bukan suara langkah atau binatang, tapi seperti... gumaman yang datang dari dasar tulangnya sendiri. Sebuah suara asing yang mengintip dari dalam dirinya.

Pada malam ke-79 sejak ia genap berumur dua belas tahun, sesuatu berubah.

Langit desa Wuyi tiba-tiba kehilangan warnanya. Bukan hitam. Tapi abu-abu kusam, seolah tinta para dewa habis dan yang tertinggal hanyalah coretan sisa. Kabut turun tanpa wujud. Udara berhenti mengalir. Tidak ada angin, tidak ada serangga. Bahkan nyala lentera padam sendiri seolah takut melihat sesuatu yang akan keluar dari malam itu.

Dan Liang, dalam gelap, membuka matanya. Ia tidak bangun. Ia hanya sadar bahwa ia sedang terbangun di tengah mimpi yang bukan miliknya.

Di atas langit-langit retak rumahnya, sesosok bayangan berdiri. Bukan siluet biasa. Sosok itu tak memiliki bentuk pasti. Wajahnya kabur, tubuhnya seperti terdiri dari kabut hitam pekat. Namun matanya—mata yang tak tampak namun terasa—menusuk ke dalam ingatan Liang.

Liang tak bisa bergerak. Tapi ia tidak takut. Sebaliknya, dadanya terasa ringan, seolah sudah lama menunggu momen ini.

Sosok itu tidak bicara dengan suara. Tapi Liang bisa mendengar pikiran yang bukan berasal dari dirinya.

"Aku bukan datang untuk mengambilmu,” kata suara itu, “tapi untuk mengingatkanmu... bahwa kau bukan berasal dari dunia ini.”

Tiba-tiba, Liang melihat dirinya sendiri. Tapi bukan seperti di cermin. Ia melihat masa lalu yang tidak pernah ia alami.

Sebuah istana langit runtuh. Ribuan kultivator bersujud di bawah hujan darah. Sebuah jiwa menjerit, terlalu besar untuk dunia, terlalu rusak untuk diperbaiki. Dan dari reruntuhan itu, seberkas cahaya kelam terlempar ke bawah, jatuh menembus ribuan alam, hingga tiba di tubuh bayi tak berdosa: dirinya.

Liang terbangun dengan tubuh menggigil. Nafasnya tersengal. Tapi bukan karena mimpi. Karena sesuatu di dalam dirinya kini berdenyut. Ada simbol samar di bawah kulit dadanya, menyala pelan seperti bara api.

Dan pada malam itu, dunia mulai berubah. Arah angin berubah. Aliran qi melenceng. Sekte-sekte jauh di utara merasakan getaran samar di dasar formasi leluhur mereka. Tetua-tetua bangun dari meditasi panjang. Dan satu nama mulai dibisikkan dalam keheningan:

"Anomali telah terlahir lagi."

Beberapa ratus li dari Wuyi, seorang pengelana tua dengan pakaian compang-camping duduk termenung di tepi jurang. Ia menatap langit dan tersenyum getir.

“Beberapa jiwa tidak ditulis dalam kitab takdir, tapi dalam celah-celah kesalahan pena langit.”

Ia kemudian berdiri. Giginya hilang separuh, namun matanya menyala lebih tajam dari pedang roh manapun.

“Dan celah itu... telah membuka matanya.”