Kabut pagi yang menutup lembah Langit Bening mulai tersingkap, membiarkan sinar mentari menyusup ke dedaunan tua dan bebatuan berlumut. Di ujung lembah itu, Ren Liang masih duduk terpaku di tepi sungai yang mengalir pelan, matanya kosong memandang ke dalam air, seolah menanti jawaban yang tidak pernah datang.
Kata-kata perempuan tua itu masih menghantuinya, bergema dalam benak layaknya mantra yang tak bisa ia hapus: “Kau adalah anak dari kesalahan itu, tapi juga kunci untuk mengubah segalanya.” Sebuah kutukan sekaligus janji, yang membelit hatinya dengan benang ketidakpastian.
Namun ia tahu, tidak ada jalan kembali ke masa lalu. Diri ini sudah terkoyak, dan kini harus menjahitnya kembali — meskipun benangnya penuh duri. Sesuatu dalam dirinya telah berubah sejak malam itu, sebuah gelombang energi asing yang tak bisa ia kendalikan mulai mengalir di nadinya, seperti air deras yang siap meluap.
Ren Liang mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa dingin yang merayap. Hatinya bergejolak. “Apakah aku benar-benar yang mereka katakan? Sebuah kesalahan?” pertanyaan itu menusuk kesunyian seperti pisau, tapi jawabannya tetap tersembunyi dalam kabut masa lalu yang gelap.
Ia teringat kembali pada pelajaran pertama dari Sekte Langit Bening, tentang qi dan kultivasi: “Qi adalah perpanjangan jiwa. Jika jiwamu tercemar, maka qi-mu akan pecah dan runtuh.” Tapi bagaimana jika jiwanya sudah terpecah bahkan sebelum ia mengerti apa itu qi?
Seiring waktu, perasaan keterasingan itu tumbuh menjadi bayang-bayang yang membuntuti langkahnya. Teman-teman di desa mulai menjaga jarak, para tetua Sekte membisikkan hal-hal yang tak terdengar langsung. Bahkan murid-murid muda yang dahulu ia anggap sebagai saingan kini berubah menjadi pengamat penuh curiga.
Namun, di tengah kesunyian dan ketakutan itu, ada satu hal yang mendorongnya maju — naluri untuk bertahan dan mencari kebenaran yang tersembunyi di balik tirai takdir. Malam itu, saat bulan purnama menggantung di langit, Ren Liang kembali ke hutan di luar desa, ke tempat ia pernah menemukan kotak kuno yang menyimpan rahasia besar.
Ia duduk di bawah pohon tua, tangan mengepal di atas tanah dingin, dan mulai berusaha menyatu dengan qi alam yang berhembus pelan. Tapi qi yang masuk terasa berbeda. Ada lapisan asing, seperti bisikan gelap yang mengusik kesadaran.
Dalam meditasi itu, bayangan-bayangan masa lalu muncul satu per satu — wajah ayahnya yang hilang, suara ibunya yang lemah, tawa teman-temannya yang kini berubah menjadi bisik-bisik penghinaan. Semua rasa sakit itu seperti api yang membakar, namun juga menjadi bahan bakar bagi semangatnya.
Tiba-tiba, sebuah sensasi aneh melingkupi tubuhnya, seolah sesuatu dalam dirinya mencoba untuk bangkit. Sebuah kekuatan yang selama ini tersembunyi mulai mengalir deras, menggetarkan setiap serat otot dan urat nadinya. Qi hitam berputar di sekelilingnya, seperti kabut pekat yang mulai menari liar.
Namun kekuatan itu tidak datang tanpa harga. Ren Liang merasakan ada sesuatu yang mengikat jiwanya, sesuatu yang membuatnya merasa terasing, bahkan dari dirinya sendiri. Ia terperangkap dalam pusaran energi yang terus menariknya ke jurang ketidakpastian.
Hari-hari berikutnya menjadi perjuangan antara harapan dan keputusasaan. Setiap kali ia mencoba mengendalikan qi itu, rasa sakit menjalar di tubuhnya seperti disayat ribuan pisau. Namun ia tahu, menyerah bukanlah pilihan.
Sementara itu, kabar tentang fenomena aneh ini menyebar hingga ke telinga para tetua dan kultivator kuat dari Sekte Langit Bening. Dalam rapat tertutup yang penuh ketegangan, mereka membahas potensi bahaya yang bisa menghancurkan keseimbangan dunia kultivasi.
“Anomali ini bukan hanya ancaman bagi desa kecil itu,” kata Kepala Tetua Bai dengan nada berat, “tapi juga ancaman bagi seluruh dunia. Jika tidak segera ditangani, gelombang qi yang tidak stabil ini bisa meruntuhkan segala tatanan yang telah dibangun selama ribuan tahun.”
Di luar rapat, seorang pria berjubah hitam, Yu Zan, berdiri mengamati desa dari kejauhan. Matanya merah menyala seperti bara, menandakan tekad dan kemarahan yang mendalam. Ia telah mengikuti jejak qi anomali itu sejak berminggu-minggu lalu, dan yakin bahwa Ren Liang adalah kunci dari segala kerusakan — atau penyelamatan.
Yu Zan menghembuskan napas panjang, lalu berkata lirih, “Jalanmu masih panjang, anak muda. Tapi jangan sampai bayanganmu justru menjeratmu dalam kegelapan tanpa akhir.”
Di tengah ketegangan itu, Ren Liang berjuang keras menemukan jati dirinya. Ia sadar, kekuatan aneh yang ia miliki bukan hanya berkah, tapi juga beban yang harus ia tanggung dengan hati-hati. Dalam momen kesendirian, ia menulis satu kalimat di sebuah daun yang basah:
"Dalam pecahan cermin, terkadang kita menemukan wajah yang paling jujur — bukan yang ingin kita lihat, tapi yang harus kita terima."
Kalimat itu seperti mantra yang ia ulang-ulang, mencoba menguatkan hatinya yang rapuh. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang menaklukkan musuh atau meraih kekuatan. Lebih dari itu, ia harus menaklukkan dirinya sendiri — bayangan-bayang yang bersembunyi dalam jiwa dan membawa luka yang dalam.
Malam semakin larut, dan di kejauhan terdengar suara gong perlahan menggema, menandakan awal dari sebuah pertarungan tak terlihat yang akan mengubah nasib Ren Liang dan dunia kultivasi selamanya.
Saat fajar menyingsing, renyah angin membawa kabar perubahan. Ren Liang berdiri di pintu gerbang desa, menatap langit yang mulai cerah, merasakan getaran qi yang tak lagi kacau. Tapi di balik itu, sebuah gelombang perasaan berliku — antara harapan dan rasa takut, antara kekuatan dan kehancuran.
Langkahnya membawa ia menuju pusat desa, ke aula besar Sekte Langit Bening, di mana para tetua menantinya dengan mata yang tajam dan penuh penilaian.
"Ren Liang," suara Kepala Tetua Bai menggema berat, "kami telah memutuskan bahwa kau harus mengikuti uji coba tingkat tinggi, 'Jalur Qi Hitam' — satu-satunya jalan untuk mengendalikan kekuatanmu dan membuktikan bahwa kau bukan ancaman."
Ren Liang mengangguk pelan, tahu bahwa jalan ini tak mudah. Ujian yang selama ini hanya terdengar dalam cerita legenda itu kini menjadi kenyataan, jembatan antara hidup dan mati.
Ia melangkah masuk, merasakan tatapan penuh harap dan waspada yang mengikutinya. Dalam dirinya, sebuah bisikan muncul, samar namun pasti:
"Kekuatan sejati bukan datang dari luar, tapi dari apa yang kau lawan dalam dirimu sendiri."
Dan dengan langkah mantap, Ren Liang memengangguk pelan, tahu bahwa jalan ini tak mudah. Ujian yang selama ini hanya terdengar dalam cerita legenda itu kini menjadi kenyataan, jembatan antara hidup dan mati.