Ren Liang berdiri di ambang kegelapan, di antara dinding gua yang dipenuhi semburat biru kehijauan dari bebatuan roh yang tertanam secara alami di sana. Nafasnya tertahan, bukan karena kelelahan, tetapi oleh beban kesadaran. Ada sesuatu yang telah bergeser dalam dirinya sejak malam ia menatap langit yang retak dan menampakkan celah antara dunia fana dan alam yang lebih tinggi. Sebuah celah yang seperti membuka kembali luka masa lalu—kenangan yang seharusnya telah lama dikubur bersama nama "Ren Sheng." Namun, luka lama jarang membusuk; mereka hanya tertidur, menunggu pemicu yang tepat.
Di dalam gua itu, di mana sunyi begitu padat hingga terasa seperti suara itu sendiri, Ren Liang mendapati dirinya berhadapan dengan prasasti batu kuno yang membisu namun hidup. Tulisan yang tergores di atasnya bukan hanya karakter kuno dari zaman Kaisar Jiwa Keempat, tetapi mantra kesadaran tingkat tinggi yang memerangkap ruh mereka yang tak siap. Tidak semua bisa membacanya tanpa kehilangan kewarasan.
Namun Ren Liang—atau apa pun yang kini telah terbangun dalam dirinya—melihat huruf-huruf itu seolah membisikkan sesuatu dari ujung zaman. Huruf-huruf itu bergerak perlahan dalam kesadarannya, membentuk siluet aneh, wajah-wajah kabur yang menangis dan tertawa bersamaan, tangan-tangan yang menggapai tanpa tubuh, dan sosok yang berdiri tegak, mengawasi dengan mata berapi yang tidak bisa diartikan sebagai amarah maupun belas kasih.
Waktu kehilangan makna. Apakah ia telah berdiri di sana selama detik, jam, atau tahun? Meridian tubuhnya yang tadinya sunyi mulai terasa mendidih. Sebuah mantra tidak hanya menyerang akalnya, tetapi juga menyeretnya ke dalam memori paling purba: ruang di antara kehidupan dan kematian, antara kemauan dan kepasrahan. Itulah tempat di mana jiwa diuji, bukan untuk lulus atau gagal, tetapi untuk memahami bahwa dalam kekacauan, ada bentuk tatanan yang lebih kejam.
"Api yang mati bukan karena kehilangan kayu, tetapi karena lupa bagaimana cara menyala."
Begitu kalimat itu muncul dalam pikirannya, tubuhnya terhuyung. Ia mencium bau darahnya sendiri—besi dan abu. Aura spiritualnya melonjak, tapi bukannya menenangkan, aura itu seperti menolak tubuhnya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah menguasai kultivasi. Ia hanya mengikuti—mengulangi gerakan, mempelajari teknik, namun tidak pernah memahami maknanya.
Bayangan muncul di sekelilingnya, menari dalam bentuk orang-orang yang telah mati karena pilihan atau kelambanan Ren Liang sendiri: kakaknya, yang tubuhnya hancur karena teknik penyegelan darah; gurunya, yang mengorbankan dirinya saat Ren Liang belum cukup kuat untuk membalasnya; dan bahkan Liang kecil, versi dirinya yang dulu, memeluk lututnya sambil menangis dalam hujan kenangan. Bayangan-bayangan itu tidak menyalahkan, tidak berbicara—mereka hanya melihat. Dan itu lebih menyakitkan daripada ribuan tuduhan.
“Kenapa kau masih hidup?” bisik suara itu dari dinding gua.
Ren Liang menggertakkan giginya. “Karena aku belum selesai.”
Ujian itu bukan pertarungan kekuatan. Itu pertarungan kemauan. Jiwa Ren Liang seolah dikupas satu demi satu seperti lapisan bawang, hingga hanya tersisa satu titik cahaya—ingatan akan seseorang yang bahkan namanya nyaris ia lupakan, namun tatapannya tidak. Ia tidak tahu apakah itu ayahnya, atau seseorang dari kehidupan sebelumnya, atau bayangannya sendiri. Namun tatapan itu mengandung sesuatu yang selama ini ia cari: izin untuk marah, untuk kecewa, dan tetap hidup setelahnya.
Seketika itu, batu prasasti hancur. Tidak meledak, tapi luruh seperti debu yang dilepaskan dari kontrak ilusi. Cahaya ungu pucat mengalir ke dada Ren Liang, lalu mengendap dalam pusaran jiwanya. Rasanya dingin dan panas dalam waktu bersamaan, seperti menerima pelukan yang mengandung kematian dan kelahiran sekaligus.
Dengan tubuh gemetar, ia melangkah keluar dari gua. Dunia di luar tidak sama. Langit tak berbintang, seolah malam itu menolak memberikan harapan. Tanahnya keras dan retak, dan udara dipenuhi bau ozon dan belerang. Tetapi di dalam dirinya, sebuah titik cahaya telah menyala kembali.
Ia tidak tahu apakah itu cukup untuk menghadapi mereka yang telah menandai namanya di daftar musuh surgawi, tetapi ia tahu satu hal:
"Aku bukan lagi murid sekte mana pun, bukan juga budak dendam... Aku adalah pengembara di jalan yang bahkan para dewa pun enggan menempuhnya."
Langkah pertamanya membawa ia ke dunia yang lebih luas—lembah gelap, padang tandus, dan reruntuhan sekte yang dulunya pernah disebut rumah. Tapi kini, babak baru telah dibuka.
Ren Liang berdiri di ambang kegelapan, di antara dinding gua yang dipenuhi semburat biru kehijauan dari bebatuan roh yang tertanam secara alami di sana. Nafasnya tertahan, bukan karena kelelahan, tetapi oleh beban kesadaran. Ada sesuatu yang telah bergeser dalam dirinya sejak malam ia menatap langit yang retak dan menampakkan celah antara dunia fana dan alam yang lebih tinggi. Sebuah celah yang seperti membuka kembali luka masa lalu—kenangan yang seharusnya telah lama dikubur bersama nama "Ren Sheng." Namun, luka lama jarang membusuk; mereka hanya tertidur, menunggu pemicu yang tepat.
Di dalam gua itu, di mana sunyi begitu padat hingga terasa seperti suara itu sendiri, Ren Liang mendapati dirinya berhadapan dengan prasasti batu kuno yang membisu namun hidup. Tulisan yang tergores di atasnya bukan hanya karakter kuno dari zaman Kaisar Jiwa Keempat, tetapi mantra kesadaran tingkat tinggi yang memerangkap ruh mereka yang tak siap. Tidak semua bisa membacanya tanpa kehilangan kewarasan.
Namun Ren Liang—atau apa pun yang kini telah terbangun dalam dirinya—melihat huruf-huruf itu seolah membisikkan sesuatu dari ujung zaman. Huruf-huruf itu bergerak perlahan dalam kesadarannya, membentuk siluet aneh, wajah-wajah kabur yang menangis dan tertawa bersamaan, tangan-tangan yang menggapai tanpa tubuh, dan sosok yang berdiri tegak, mengawasi dengan mata berapi yang tidak bisa diartikan sebagai amarah maupun belas kasih.
Waktu kehilangan makna. Apakah ia telah berdiri di sana selama detik, jam, atau tahun? Meridian tubuhnya yang tadinya sunyi mulai terasa mendidih. Sebuah mantra tidak hanya menyerang akalnya, tetapi juga menyeretnya ke dalam memori paling purba: ruang di antara kehidupan dan kematian, antara kemauan dan kepasrahan. Itulah tempat di mana jiwa diuji, bukan untuk lulus atau gagal, tetapi untuk memahami bahwa dalam kekacauan, ada bentuk tatanan yang lebih kejam.
"Api yang mati bukan karena kehilangan kayu, tetapi karena lupa bagaimana cara menyala."
Begitu kalimat itu muncul dalam pikirannya, tubuhnya terhuyung. Ia mencium bau darahnya sendiri—besi dan abu. Aura spiritualnya melonjak, tapi bukannya menenangkan, aura itu seperti menolak tubuhnya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah menguasai kultivasi. Ia hanya mengikuti—mengulangi gerakan, mempelajari teknik, namun tidak pernah memahami maknanya.
Bayangan muncul di sekelilingnya, menari dalam bentuk orang-orang yang telah mati karena pilihan atau kelambanan Ren Liang sendiri: kakaknya, yang tubuhnya hancur karena teknik penyegelan darah; gurunya, yang mengorbankan dirinya saat Ren Liang belum cukup kuat untuk membalasnya; dan bahkan Liang kecil, versi dirinya yang dulu, memeluk lututnya sambil menangis dalam hujan kenangan. Bayangan-bayangan itu tidak menyalahkan, tidak berbicara—mereka hanya melihat. Dan itu lebih menyakitkan daripada ribuan tuduhan.
“Kenapa kau masih hidup?” bisik suara itu dari dinding gua.
Ren Liang menggertakkan giginya. “Karena aku belum selesai.”
Ujian itu bukan pertarungan kekuatan. Itu pertarungan kemauan. Jiwa Ren Liang seolah dikupas satu demi satu seperti lapisan bawang, hingga hanya tersisa satu titik cahaya—ingatan akan seseorang yang bahkan namanya nyaris ia lupakan, namun tatapannya tidak. Ia tidak tahu apakah itu ayahnya, atau seseorang dari kehidupan sebelumnya, atau bayangannya sendiri. Namun tatapan itu mengandung sesuatu yang selama ini ia cari: izin untuk marah, untuk kecewa, dan tetap hidup setelahnya.
Seketika itu, batu prasasti hancur. Tidak meledak, tapi luruh seperti debu yang dilepaskan dari kontrak ilusi. Cahaya ungu pucat mengalir ke dada Ren Liang, lalu mengendap dalam pusaran jiwanya. Rasanya dingin dan panas dalam waktu bersamaan, seperti menerima pelukan yang mengandung kematian dan kelahiran sekaligus.
Dengan tubuh gemetar, ia melangkah keluar dari gua. Dunia di luar tidak sama. Langit tak berbintang, seolah malam itu menolak memberikan harapan. Tanahnya keras dan retak, dan udara dipenuhi bau ozon dan belerang. Tetapi di dalam dirinya, sebuah titik cahaya telah menyala kembali.
Ia tidak tahu apakah itu cukup untuk menghadapi mereka yang telah menandai namanya di daftar musuh surgawi, tetapi ia tahu satu hal:
"Aku bukan lagi murid sekte mana pun, bukan juga budak dendam... Aku adalah pengembara di jalan yang bahkan para dewa pun enggan menempuhnya."
Langkah pertamanya membawa ia ke dunia yang lebih luas—lembah gelap, padang tandus, dan reruntuhan sekte yang dulunya pernah disebut rumah. Tapi kini, babak baru telah dibuka.
Kaki Ren Liang menyentuh tanah yang dulunya penuh kehidupan spiritual. Kini, setiap langkah hanya meninggalkan jejak di atas abu. Padang Aliran Seribu Bayangan telah berubah—tak ada lagi bunga roh, tak ada kabut qi yang menggantung di udara. Alam tampak ditinggalkan oleh semesta itu sendiri.
Namun, di tengah kehampaan itu, sebuah suara membelah sunyi.
“Tak kusangka, kau masih hidup, Liang kecil.”
Suara itu dalam dan berlapis, seperti gema yang dilahirkan dari ratusan mulut dalam satu kerongkongan. Dari balik pohon yang terbakar abunya sendiri, muncullah seorang pria berjubah ungu hitam, mengenakan topeng setengah wajah, sisanya menampakkan kulit kelabu pucat dan mata berkilau merah darah.
Ren Liang menoleh perlahan. “Aku juga tak menyangka kau masih berani memakai wajah itu di hadapanku, Bai Ji.”
Bai Ji. Mantan sahabat, saudara seperguruan, dan akhirnya—pengkhianat yang menjual satu sekte demi mendapatkan teknik terlarang dari Alam Nadir. Ia tertawa tanpa suara, lalu melempar sebuah benda ke arah Ren Liang. Sebuah liontin—berbentuk burung api yang hancur separuhnya.
Itu milik gurunya.
“Jika kau mencarinya,” kata Bai Ji, “tinggal gali di bawah reruntuhan Paviliun Timur. Aku kuburkan ia dengan tanganku sendiri.”
Emosi adalah jebakan. Ren Liang tahu itu. Tapi liontin itu membawa ingatan: tangan gurunya yang mengelus rambutnya saat ia gagal untuk pertama kali, dan suara lembut yang berkata, “Menjadi kuat tidaklah cukup, Liang. Kau harus tahu untuk apa kekuatan itu.”
Aura meledak dari tubuhnya, bukan karena amarah, tetapi karena kesadaran: ini bukan lagi tentang balas dendam. Ini tentang menghentikan Bai Ji sebelum kehancuran menyebar lebih jauh.
Pertarungan pun dimulai.
Namun Bai Ji telah berubah. Tubuhnya tak hanya diperkuat oleh qi, tapi oleh teknik penggabungan roh jahat yang memakan kesadaran penggunanya sedikit demi sedikit. Dalam setiap gerakannya, terdengar bisikan. Dalam setiap pukulannya, terasa keputusasaan.
Pertempuran itu berlangsung seperti pertarungan dua gunung: lambat, berat, namun dengan kekuatan yang bisa mengubah lanskap. Jurang terbentuk, langit berguncang. Teknik Ren Liang, yang selama ini setengah hati, kini menyatu: tangan kanan memegang qi angin, tangan kiri membentuk api murni yang tak bisa padam.
Namun Bai Ji tertawa, bahkan saat tubuhnya mulai retak.
“Lihat kau, Ren Liang! Kau kira dunia ini bisa diselamatkan dengan niat baik dan kekuatan? Tidak. Dunia ini menertawakan harapanmu.”
Ren Liang menutup matanya sejenak. Suara gurunya kembali dalam ingatannya.
“Jika cahaya padam, jadilah api kecil dalam tubuhmu sendiri.”
Dan saat matanya terbuka, matanya menyala dengan ungu terang—warna dari pusaran qi yang lahir di gua itu. Ia tidak lagi bergerak seperti manusia, tetapi seperti kehendak itu sendiri. Dengan satu gerakan, ia menembus teknik pertahanan Bai Ji, dan menusukkan aura murninya langsung ke dada musuhnya.
Tubuh Bai Ji tak langsung hancur. Ia justru tersenyum. “Kau... baru mulai sekarang... akan memahami... harga dari kebenaranmu...”
Lalu ia meledak menjadi abu dan pusaran gelap.
Namun kemenangan tidaklah mutlak. Dari pusaran itu, lahir sebuah entitas baru—bukan Bai Ji, bukan manusia. Sebuah roh jahat kuno yang selama ini hanya butuh tubuh pembawa.
Langit kembali memekik.
Ren Liang berdiri dalam keheningan yang mendadak. Di hadapannya, bukan musuh lama, tapi warisan kebencian zaman dahulu kala. Ia tahu, inilah awal dari jalan yang akan menguji seluruh eksistensinya.
Dan langkah pertama baru saja dimulai.