Roh itu melayang dengan perlahan, seolah setiap gerakannya adalah simfoni dari kehancuran yang menunggu untuk dimainkan. Wajahnya tak berbentuk, hanya kabut hitam pekat yang berputar-putar dengan semburat api merah di inti yang berdenyut, seperti jantung yang haus darah.
Ren Liang menarik napas dalam-dalam, tubuhnya yang penuh luka seolah terbakar oleh hawa panas yang keluar dari entitas itu. Ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: campuran antara rasa takut yang membeku dan keinginan membara untuk bertahan, walau hanya dengan setitik harapan.
“Siapa kau sebenarnya?” bisiknya pada roh itu, suara yang nyaris hilang dalam hembusan angin dingin yang tiba-tiba menyapu gua.
Roh itu menjawab dengan sebuah tawa yang menggema, bukan dalam bentuk kata-kata, tapi langsung merasuk ke dalam pikiran Ren Liang. Suara itu seperti bisikan seribu jiwa yang tersiksa, membawa ingatan akan penderitaan yang sudah lama terkubur dalam sejarah dunia.
“Akulah… apa yang kau takutkan… yang kau tidak bisa hindari…” suara itu bergema, membuat tanah bergetar.
Ren Liang mengangkat tangannya, dan dari dalam tubuhnya, energi kultivasi memancar keluar. Gelombang aura itu memenuhi ruang, dan seketika ia merasakan sebuah tekanan yang luar biasa.
Ia sadar, ini bukan sekadar pertarungan biasa. Ini adalah pertempuran antara makna dan kekosongan, antara hidup dan kematian yang menunggu di ujung jalan sunyi.
Ketika ia berdiri di sana, kilasan masa lalunya muncul. Seperti bayangan yang menari di ujung penglihatan, mengingatkannya akan setiap pengorbanan yang telah dibuat—sahabat yang hilang, guru yang dikhianati, cinta yang tak pernah bisa ia gapai.
Ia melihat kembali wajah-wajah itu, dan setiap kali itu juga berarti rasa sakit yang tajam menusuk hati.
Ren Liang selalu percaya bahwa kekuatan datang dari memahami kesedihan, bukan menghindarinya. Tapi kali ini, ia merasakan bahwa kesedihan itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan menjerat.
Di tengah kegelapan itu, muncul sebuah pertanyaan yang membeku di bibirnya: Apakah harga untuk kekuatan yang sejati selalu harus ditukar dengan bagian jiwanya?
Dalam sekejap, ruang di sekelilingnya berubah. Batu-batu gua bergeser dan membentuk lingkaran kuno yang berisi simbol-simbol yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Ren Liang sadar bahwa ini adalah ritual. Ritual yang tidak pernah diceritakan dalam kitab suci manapun, sebuah ilmu yang dilarang karena terlalu berbahaya.
Namun kali ini, bukan ia yang memilih. Entitas itu menggerakkan tangan tanpa wujud, dan lingkaran itu mulai menyala dengan api biru yang dingin.
Ren Liang menatap tajam ke pusat lingkaran.
Di sana, sebuah cermin hitam muncul dari tanah.
Cermin itu memantulkan sosoknya—namun bukan Ren Liang yang biasa. Matanya merah seperti bara api, dan di dalam pantulan itu, bayangan gelap merayap dari dalam dirinya.
Pertarungan Jiwa
“Jika aku kalah, aku tak akan lagi ada,” pikir Ren Liang dengan tegas. “Jika aku menang, aku mungkin kehilangan diriku sendiri.”
Namun ia tak punya pilihan lain.
Dengan tekad membara, ia memasuki lingkaran ritual itu, merangkul kegelapan dalam dirinya, dan bersiap untuk bertarung bukan dengan pedang, tapi dengan esensi jiwanya sendiri.
Pertarungan itu tidak bisa diukur dengan waktu biasa.
Ia menyelam ke dalam bayangan-bayangnya sendiri, melewati labirin kenangan dan emosi yang bergejolak. Setiap langkah adalah ujian bagi ketahanan jiwanya, setiap denyut adalah gambaran dari kekuatan yang terancam lenyap.
Dan di tengah kegelapan yang hampir menelan segalanya, satu suara lembut bergema.
“Ketika kau menatap jurang dalam-dalam, jangan lupa bahwa jurang itu juga menatapmu.”
Ren Liang menggenggam kata-kata itu di dalam hatinya. Ini bukan hanya sekadar pertempuran untuk bertahan hidup. Ini adalah pertempuran untuk mendefinisikan ulang siapa dirinya sebenarnya.
Saat pertama kali entitas itu mencoba menembus batas jiwanya, Ren Liang menemukan sebuah kekuatan yang tak pernah ia sadari.
Kekuatan untuk menolak. Bukan dengan otot atau mantra, tapi dengan menerima dan mengubah.
Ia memeluk kegelapan, lalu melepaskannya menjadi cahaya.
Cahaya yang bukan hanya terang, tapi membakar segala kegelapan yang membayang.
Dalam sekejap, roh jahat itu terperangkap dalam cermin hitam yang tiba-tiba pecah menjadi ribuan serpihan. Setiap serpihan menyebar ke angin, membawa potongan-potongan kekuatan yang kini terpatri dalam jiwa Ren Liang.
Ia berdiri, lelah tapi tak terkalahkan.
Dan ia tahu, meski jalan di depannya masih penuh bayangan dan ancaman, ia telah berubah.
Namun, bayang-bayang itu tidak pernah benar-benar hilang.
Di ujung gua, sebuah bayangan lain mengamati.
Sosok yang tersembunyi dalam kerudung hitam, matanya berkilat seperti bintang jatuh yang penuh rahasia.
“Ren Liang… kau telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci.”
Kisah baru dimulai.
Dan dengan itu, dunia mulai bergetar dalam irama yang berbeda.
Bayangan berkerudung itu bergerak dalam diam, seolah menyatu dengan kegelapan yang menelan sudut gua. Namun, matanya yang tajam menatap Ren Liang dengan intensitas penuh makna. Ia bukan sembarang sosok — dia adalah penjaga rahasia, pembawa amarah kuno, dan saksi bisu dari banyak pengkhianatan yang tak terucapkan.
Ren Liang, yang baru saja melalui pertarungan jiwa yang hampir mengoyak dirinya, tak menyadari kehadiran sosok itu. Tubuhnya masih bergetar oleh sisa-sisa energi dari pertarungan melawan roh jahat yang dulu tersembunyi dalam pusaran abadi. Namun, naluri dalam dirinya sudah menyalakan alarm. Bahwa ini belum selesai. Bahkan, mungkin ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Di dalam hatinya, ia merasakan denyut sebuah janji — janji yang ia buat pada dirinya sendiri sejak lama: untuk menjadi lebih dari sekadar manusia, untuk melampaui batas-batas dunia fana yang selama ini membelenggunya. Namun, setiap langkah itu kini terasa seperti meniti di atas tali tipis yang mengikatnya pada nasib yang tidak pasti.
“Ren Liang…” suara lembut namun penuh kewibawaan itu memecah keheningan. Sosok berkerudung itu melangkah maju, mengeluarkan aura dingin yang membuat udara di sekitarnya bergetar.
Ren Liang menoleh, wajahnya penuh waspada. “Siapa kau? Apa kau musuh yang lain?”
Sosok itu tersenyum, tapi senyum itu tidak membawa kehangatan, melainkan sesuatu yang lebih dalam — sesuatu yang menyiratkan ribuan rahasia. “Aku penjaga yang telah menunggu waktumu tiba. Waktu untuk memilih jalur, jalan yang akan menentukan nasib dunia ini.”
Ren Liang mengerutkan kening. “Jalur? Jalan apa yang kau maksud?”
“Jalan di mana kekuatan dan kehancuran berkelindan, di mana kesetiaan dan pengkhianatan saling beradu, dan di mana jiwa-jiwa yang tersesat harus menemukan tempatnya kembali.”
Ren Liang mengingat prolog kehidupannya yang penuh luka dan pengorbanan, setiap pengalaman yang telah membentuknya menjadi seperti sekarang ini. Namun ia tahu, dirinya tidak pernah benar-benar tahu segalanya. Bahwa ada lebih banyak dunia yang tersembunyi di balik kabut waktu, dan rahasia yang terlalu gelap untuk diungkap tanpa konsekuensi.
Ia merasa sebuah getaran dalam dirinya — perpaduan antara takut dan penasaran. “Apa yang harus aku lakukan?”
Penjaga itu menatapnya dalam-dalam, seolah membaca seluruh jiwa Ren Liang. “Kau harus memilih, apakah akan menerima warisan ini, atau membiarkannya memusnahkan segalanya.”
Ren Liang menarik napas panjang. “Jika ini adalah jalan yang harus aku jalani, maka aku tidak akan mundur. Namun ingat, aku bukan lagi manusia biasa. Aku adalah penjaga jiwaku sendiri.”
Sosok itu mengangguk perlahan. “Kau adalah yang terpilih. Tetapi ingat, kekuatan besar datang dengan harga yang tak bisa diukur oleh pikiran manusia.”
Di dalam lubuk hatinya, Ren Liang merasakan gelombang ingatan yang muncul tanpa diundang. Bayangan sahabat-sahabatnya yang telah gugur, guru-gurunya yang menghilang tanpa jejak, dan semua luka yang belum pernah ia sembuhkan.
Ia teringat akan kata-kata gurunya yang dulu berkata, “Jangan pernah menyerah pada kegelapan, karena terkadang kegelapan adalah satu-satunya jalan untuk menemukan cahaya.”
Namun sekarang, ia merasa kata-kata itu seperti sebuah teka-teki yang belum terjawab.
“Aku harus menjadi apa?” pikirnya.
Ren Liang tahu bahwa untuk melangkah lebih jauh, ia harus menguasai kegelapan yang baru saja ia sentuh. Bukan dengan menghindarinya, tapi dengan memeluk dan memahami esensi di baliknya. Kegelapan yang bukan hanya sebuah ancaman, tapi juga sumber kekuatan yang tersembunyi.
Ia duduk bersila di tengah gua, menenangkan pikirannya dan membiarkan energi kultivasi mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya yang penuh luka mulai menyembuh dengan cepat, namun hatinya masih berperang dengan badai emosi yang membelit.
“Jika aku gagal menguasai ini, aku akan menjadi hamba dari bayangan itu, dan dunia akan hancur bersamaku,” bisiknya dalam hati.
Ren Liang membuka matanya, dan di kejauhan, bayangan masa lalu tampak seperti lukisan kabur yang berusaha memberinya petunjuk. Ia tahu bahwa untuk menyelamatkan diri dan dunia, ia harus mencari warisan kuno yang tersembunyi di balik legenda dan mitos.
Sebuah peta kuno muncul di benaknya—tempat yang pernah didengarnya dari cerita para tetua, tempat di mana kekuatan sejati bersembunyi dalam kedalaman.
“Gunung Shenwu,” gumamnya. “Di sanalah jawabannya.”
Namun perjalanan ke Gunung Shenwu bukanlah hal yang mudah. Banyak musuh yang tersembunyi di balik bayangan, dan setiap langkah bisa berarti kematian.
Saat Ren Liang berdiri untuk melangkah keluar dari gua, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sebuah kekuatan baru yang tidak hanya berasal dari kekuatan fisik, tapi dari pemahaman yang mendalam akan dirinya sendiri.
Ia teringat sebuah kalimat samar yang baru saja didengarnya dari penjaga kerudung itu:
“Ketika kesunyian menyelimuti dunia, hanya mereka yang mengerti bahasa hati yang akan menemukan jalan.”
Kalimat itu berputar-putar dalam pikirannya, seperti mantra yang membuka pintu ke dimensi baru.
Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Ren Liang melangkah keluar dari gua yang gelap menuju dunia yang penuh dengan misteri dan bahaya. Di hadapannya terbentang jalan yang panjang, dengan rintangan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun ia tahu satu hal pasti: ia tidak akan berjalan sendiri. Kekuatan yang baru ia temukan adalah awal dari perjalanan yang akan menulis ulang takdirnya dan seluruh dunia.