Bab 9: Menyatukan Kekuatan

Sudah seminggu sejak malam saat Yueyue berhasil merasakan aliran energi spiritual pertamanya. Sejak itu, mereka mulai mempercepat langkah. Setiap jam yang berlalu terasa seperti pasir dalam jam pasir raksasa — diam, namun pasti menuju kehancuran.

Siang itu, mereka duduk di ruang tamu apartemen, dikelilingi tumpukan tablet, daftar logistik, serta dokumen proyek lama yang kini mereka ubah menjadi blueprint masa depan.

Pix melayang di udara dengan gaya seperti manajer proyek profesional, mengenakan hologram dasi kupu-kupu. “Target minggu ini: perluas tim! Dua kepala terlalu sedikit untuk membangun peradaban baru!”

Pix kini jauh lebih canggih dibanding versi awalnya. Setelah Yueyue mengembangkan chip khusus berbasis gelombang otak, ia berhasil menyematkan Pix ke dalam jam pintar modifikasi miliknya — memungkinkan Pix tetap aktif, bahkan saat perangkat lain lumpuh oleh gangguan elektromagnetik.

Yueyue menyisip teh panasnya pelan. “Aku punya beberapa nama yang bisa dipercaya. Tapi… aku ingin kamu memilih juga, Xiu. Orang-orangmu. Orang yang kamu tahu bisa diandalkan.”

Ming Xiu menatap layar tablet sebentar, lalu mengangguk.

“Aku tahu dua orang. Mereka bisa diandalkan, mereka juga sudah lama bersama keluargaku.”

Hari berikutnya, mereka bertemu Zhou Liang, pria berusia awal tiga puluhan, di salah satu kantor lama perusahaan milik ayah Ming Xiu. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya tenang, dan posturnya menunjukkan bekas pelatihan militer.

“Kalau kamu yang minta, saya ikut,” katanya singkat pada Ming Xiu. Tapi matanya pindah ke Yueyue, menatapnya lama. “Tapi kalau ini juga menyangkut nona Yin… maka saya akan bertaruh nyawa saya dua kali lipat.”

Yueyue mengangguk, sedikit terkejut dengan kalimat itu. Ming Xiu hanya tersenyum kecil, tahu bahwa loyalitas Zhou Liang bukan cuma pada jabatan.

Tak lama, Xia Feng datang — pengawal pribadi keluarga Ming selama bertahun-tahun. Tubuhnya atletis, ekspresinya dingin, tapi setiap gerakannya penuh perhitungan.

Ia berdiri di hadapan Yueyue dan menunduk ringan. “Saya sudah bersumpah pada ayah Anda, Tuan Muda Ming. Sekarang, sumpah itu saya perpanjang untuk melindungi dia juga,” katanya, menatap langsung ke mata Yueyue.

Tidak ada basa-basi. Tidak ada keraguan. Yueyue tahu, dua orang ini akan menjaga mereka bahkan di neraka sekalipun.

Malamnya, setelah dua perekrutan pertama, Ming Xiu memandangi langit dari balkon apartemen.

“Yueyue,” katanya pelan, “Aku ingin kita pergi menemui orangtuaku. Mereka baru saja kembali dari luar negeri.”

Yueyue menoleh cepat. “Mereka sudah kembali? Bersama Lan?”

Ming Xiu mengangguk. “Mereka sampai tadi pagi. Dan mereka ingin bertemu kamu.”

Yueyue menelan ludah. Mendadak gugup.

Keesokan sore, mereka tiba di kediaman keluarga Ming, sebuah rumah besar bergaya oriental-modern, terletak di perbukitan pinggir kota.

Begitu masuk, Lin Yue, ibu Ming Xiu, langsung menyambut Yueyue dengan pelukan hangat.

Yueyue sempat membeku, ingatan akan masa lalu muncul. Di kehidupan sebelumnya, dia tidak sempat melihat mereka lagi.

“Terima kasih sudah menjaga Ming Xiu,” ucap Lin Yue lembut. Suaranya seperti angin musim gugur: tenang dan menenangkan.

Ming Zhen, ayah Ming Xiu, tidak banyak bicara. Tapi tatapan penuh penghargaan dari pria berwajah keras itu sudah cukup. Ia menepuk bahu Yueyue perlahan, sambil berkata, “Kalian baik-baik saja.”

Dan terakhir… Ming Lan.

Gadis lima belas tahun itu berlari dari tangga, matanya berbinar begitu melihat Yueyue.

“KAK YUEYUE!!!” jeritnya. “Kakakku akhirnya bawa kamu juga ke rumah! Aku selalu bilang, kalian tuh jodoh dari dulu!”

Yueyue nyaris tersedak oleh pelukan semangat gadis itu.

Ming Xiu tertawa pelan di samping. “Lanlan nge-fans berat sama kamu.”

Malam itu, mereka makan malam sederhana di ruang keluarga. Untuk sejenak, suasana terasa hangat, seperti dunia belum akan runtuh.

Tapi Yueyue tahu ,momen ini tak akan berlangsung lama.

Usai makan, saat semua orang sibuk ngobrol, Ming Xiu menarik tangan Yueyue pelan ke balkon belakang rumah.

“Aku tahu kita sedang terburu-buru untuk membangun pangkalan…” katanya, menatapnya lekat. “Tapi satu hal yang nggak mau aku tunda lagi.”

Yueyue menahan napas.

Ming Xiu meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Yueyue… menikahlah denganku. Sebelum dunia jatuh.”

Yueyue terpaku. Hatinya berdebar hebat.

Ia tak menjawab, tapi tangannya membalas genggaman itu lebih erat.

Dan saat cahaya lampu taman memantul lembut di wajah mereka, Ming Xiu menunduk dan mencium bibirnya…lembut, pelan, penuh janji.

Pix, yang muncul diam-diam dari arloji, menjerit pelan, “Gawat. Gawat. Sistem emosi overload. Mau nangis tapi bahagia. Ini momen sinetron tapi dalam realitas alternatif!”

Malam itu, saat Yueyue duduk sendirian di kamar tamu rumah keluarga Ming, ia membuka tabletnya dan menatap kembali daftar tim yang sedang mereka bentuk.

Dengan dua tangan yang perlahan tapi pasti, ia mulai merancang sesuatu yang lebih besar dari pangkalan.

Ia merancang harapan.

Dan kali ini… ia tidak sendirian.