Bab 24: Penjaga Langit dan Peringatan Tersembunyi

Tiga minggu menjelang jatuhnya meteor.

Langit malam tampak lebih bersih akhir-akhir ini, dengan bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya. Namun, Yueyue tahu, itulah tanda bahwa sesuatu mendekat. Atmosfer mulai bereaksi, lapisan perlindungan Bumi perlahan menipis, dan benda-benda asing di luar sana… semakin terang di layar radar mereka. Ini adalah ketenangan yang menipu, sebuah prelud bagi badai kosmik.

Pagi itu, ruang komando pangkalan dipenuhi peta udara, proyeksi digital orbit, dan layar besar yang menampilkan data real-time dari StarNet M.

“Konstelasi satelit aktif. Sinyal dari lima node utama sudah kita kuasai sepenuhnya,” ujar Wen Ruo sambil mengetuk layar taktis dengan jari-jemarinya yang lincah. Wajahnya menunjukkan fokus yang intens.

Yueyue berdiri di tengah ruangan, menatap peta global yang perlahan berubah—seolah dunia sedang bersiap, namun belum sadar apa yang menantinya. “Sekarang kita bisa melihat semuanya. Bahkan satelit cuaca milik negara besar tak bisa mendeteksi sebesar ini… karena mereka terlalu sibuk saling mengawasi, terjebak dalam politik bumi,” tambah Wen Ruo dengan nada sinis yang khas.

Ming Xiu melipat tangan, berdiri di sisi pintu, mengamati dengan seksama. “Kita harus buat satu sistem peringatan yang tak terbantahkan. Kalau meteor mulai masuk atmosfer, kita punya waktu beberapa jam untuk reaksi terakhir.”

Yueyue mengangguk. “Aku akan aktifkan protokol kode merah. Kita beri nama sistemnya… Penjaga Langit.”

Pix muncul sebagai hologram phoenix berwarna biru, mengepakkan sayapnya. “Nama yang keren. Aku suka. Simbol kebangkitan dari abu kehancuran.”

Sebelum mereka meninggalkan ruang kendali, Yueyue memanggil Wen Ruo yang sudah bersiap keluar.

“Wen Ruo,” ucapnya pelan. Pria itu menoleh, alisnya sedikit terangkat.

“Aku butuh satu hal lagi darimu.”

Ia mengangguk, mendekat. “Untuk apa? Sebuah virus komputer yang bisa melumpuhkan sistem pertahanan lawan?”

“Kamu masih punya jalur komunikasi ke internal pemerintah, kan? Yang tidak resmi, yang dulu sering kau gunakan untuk investigasi rahasia,” tanya Yueyue, suaranya tenang namun ada urgensi di dalamnya.

Wen Ruo menghela napas tipis. “Beberapa. Tapi sebagian sudah dingin, hampir tak terpakai.”

“Gunakan yang masih hangat. Kirimkan peringatan tidak langsung. Jangan frontal. Gunakan data dari Penjaga Langit, tapi bungkus seolah itu temuan pihak ketiga yang tidak sengaja bocor. Buat mereka waspada, tapi jangan panik berlebihan,” instruksi Yueyue. “Tekankan pada anomali elektromagnetik yang bisa melumpuhkan infrastruktur, dan berikan petunjuk samar tentang potensi patogen luar angkasa yang terbawa.” Ini adalah langkah strategis untuk memperingatkan tanpa memicu kekacauan.

Wen Ruo menatapnya sesaat, mengukur kata-katanya. “Aku tahu caranya. Sebuah pesan yang cukup ambigu untuk menarik perhatian, tapi cukup spesifik untuk menimbulkan kekhawatiran yang beralasan.”

“Jangan sebut nama kita. Jangan sebut pangkalan. Hanya sinyal bahaya… cukup untuk membuat sebagian dari mereka mulai bertanya-tanya dan mungkin mulai mengamankan diri,” Yueyue menambahkan.

“Kalau berhasil, paling tidak satu atau dua orang dalam akan mulai bergerak, mungkin bahkan menggerakkan beberapa aset penting mereka,” ujar Wen Ruo. “Dan kalau tidak?”

“Setidaknya kita sudah mencoba, Wen Ruo. Kita telah menabur benih kesadaran,” jawab Yueyue, ada ketabahan dalam suaranya.

Di dalam Ruang Teratai, Yueyue dan Lin Yue berdiri di depan gudang baru yang hampir selesai dibangun. Bentuknya bundar, dengan lapisan anti-panas dan perlindungan dari spiritual barrier yang kini bisa Yueyue aktifkan.

“Ini akan jadi tempat penyimpanan semua cadangan logistik ‘kritis’,” jelas Yueyue, tangannya menyentuh permukaan dinding yang halus. “Kita harus siapkan opsi jika ruang luar atau pangkalan kena serangan langsung, atau jika kita harus mengungsi.”

Ibu Ming mengangguk, wajahnya tampak takjub. “Kamu sudah jauh lebih dewasa dari usiamu, Yueyue. Sungguh luar biasa semua yang telah kau ciptakan.”

“Tapi tetap butuh dukungan, Bu,” jawab Yueyue sambil tersenyum. “Terutama saat menghadapi masa depan yang bahkan pimpinan negara kita saja belum bisa ramalkan, apalagi mempersiapkannya.”

Malam itu, Yueyue duduk di rooftop gedung komando. Udara dingin menyentuh kulitnya, namun pikirannya terasa membara. Di kejauhan, lampu-lampu kota masih menyala, sebuah ilusi kedamaian yang akan segera runtuh.

Ming Xiu datang, membawa dua mug cokelat panas. Ia duduk di sampingnya tanpa bicara, merasakan beban di bahu istrinya. Lama mereka diam, hanya suara angin yang berbisik.

“Kadang aku iri sama mereka,” ujar Yueyue akhirnya, matanya menatap kerlip lampu kota. “Mereka masih bisa hidup tanpa tahu neraka yang akan datang.”

Ming Xiu menatap langit, lalu merangkul bahu Yueyue. “Kalau kita tak tahu, kita tak akan siap. Pengetahuan adalah kekuatan, Yueyue, meskipun itu beban yang berat.”

“Benar.” Yueyue meneguk cokelatnya, merasakan kehangatan mengisi tenggorokannya, lalu menatap liontin giok di dadanya. “Tapi siap bukan berarti tidak takut. Aku tetap takut, Xiu.”

“Tak apa takut, Yueyue. Yang penting, kita tidak berhenti. Kita terus bergerak maju, melindungi apa yang bisa kita lindungi.” Ming Xiu mengecup puncak kepalanya.

Dan dari kejauhan, langit mulai berubah. Sebuah cahaya redup, hampir tak terlihat oleh mata telanjang, melintasi angkasa… sebuah sinyal samar dari kehancuran yang mendekat.