Dua minggu sebelum meteor jatuh.
Langit semakin tak wajar. Suhu harian mulai naik-turun ekstrem, fluktuasi yang tidak lazim untuk musim apa pun. Satelit mencatat pergeseran partikel atmosfer di lintasan tinggi, tanda-tanda yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki data mentah. Tapi dunia… masih tenggelam dalam rutinitas, sibuk dengan hiruk pikuk keseharian yang akan segera berakhir.
Di dalam pangkalan, tak ada waktu untuk bersantai. Setiap detik adalah berharga, setiap persiapan adalah krusial.
Yueyue menatap daftar final yang terpampang di layar hologram ruang komando. Di sana, puluhan item dicentang satu per satu, sebuah checklist yang menentukan nasib ratusan orang:
* Sistem filtrasi udara: Aktif
* Penjernih air mandiri: Aktif
* Gudang beku: Terisi penuh dengan persediaan makanan dan obat-obatan tak terbatas waktu.
* Jalur bawah tanah utama: 70% selesai, dengan rute darurat yang telah diidentifikasi dan dipetakan oleh Xia Feng.
* Stok makanan dan logistik 3 tahun: Siap, disimpan di gudang utama dan sebagian di ruang dimensi.
* Penjaga Langit: Aktif, memantau setiap pergerakan di orbit Bumi.
* Pusat Medis Darurat: Siap operasi, dengan tim medis yang telah menjalani simulasi darurat di bawah arahan Lin Mei.
“Masih ada beberapa celah kecil, tapi kita jauh di depan siapa pun di dunia ini,” kata Wen Ruo yang duduk di sebelahnya sambil mengetik kode tambahan, menyempurnakan firewall.
“Berita dari pemerintah, Wen Ruo?” tanya Yueyue.
“Mereka mulai meningkatkan pengawasan orbit. Tapi belum bertindak secara publik dengan informasi yang sebenarnya. Mungkin takut menciptakan kepanikan massal yang tak terkendali. Atau mungkin juga… mereka belum benar-benar percaya skala penuh bencana ini, atau mereka mencoba menyembunyikan sesuatu yang lebih besar,” jawab Wen Ruo datar, matanya fokus pada layar.
Pix muncul dengan notifikasi baru, hologramnya berkedip-kedip, menandakan urgensi. “Peringatan dini tahap satu: beberapa fragmen kecil meteor mulai memasuki atmosfer. Tidak akan mencapai darat, tapi ini adalah awal dari pertunjukan besar.”
Hari itu, Yueyue mengumpulkan tim inti di ruang konferensi. Di meja oval, duduklah orang-orang yang paling dia percaya, para pilar Pangkalan Lotus:
Ming Xiu, Ayah dan Ibu Ming, Ming Lan, Han Zhi, Wen Ruo, Lin Mei, Zhou Liang, Xia Feng, dan dua penasihat teknik senior dari proyek jalur bawah tanah. Udara terasa tegang, namun ada tekad yang terpancar dari setiap wajah.
“Ini bukan lagi simulasi,” ujar Yueyue, suaranya mantap, menggema di ruangan. “Dalam hitungan hari, dunia akan berubah. Dan saat itu datang, pangkalan ini harus tertutup rapat. Tidak ada keluar-masuk selama tahap kejatuhan, untuk alasan keamanan dan karantina.”
“Berapa lama fase paling berbahaya akan berlangsung?” tanya Han Zhi, mempersiapkan diri.
“Diperkirakan meteor-meteor itu akan jatuh selama dua hari berturut-turut. Untuk serangan gelombang elektromagnetik, diperkirakan akan berlangsung empat hingga lima hari. Selama periode itu, dunia luar akan benar-benar lumpuh, komunikasi terputus, dan listrik padam,” jelas Yueyue, memberikan gambaran yang suram namun realistis.
Ming Xiu menambahkan, “Kita siapkan zona karantina khusus untuk siapa pun yang mungkin datang terlambat atau dalam kondisi mencurigakan. Prosedur sanitasi dan isolasi akan sangat ketat.” Zhou Liang dan Xia Feng mengangguk, sudah membayangkan prosedur pengamanan.
“Dan kita butuh protokol isolasi energi yang sempurna,” sahut Wen Ruo. “Kalau gelombang elektromagnetik dari meteor menghantam, sistem kita harus bisa bertahan tanpa blackout.”
Lin Mei mengangkat tangan. “Pusat medis siap sepenuhnya. Dua kamar bedah canggih, lima belas ranjang observasi, laboratorium mini untuk analisis patogen, dan satu ruang isolasi darurat. Aku juga sudah menyusun SOP triase untuk kondisi massal, termasuk panduan penanganan infeksi biologis yang mungkin muncul.”
“Luar biasa, Dokter Lin,” kata Ayah Ming, terkesan. “Ini bukan sekadar pangkalan… ini kota kecil yang mandiri.”
Pix langsung menimpali, muncul di tengah meja sebagai hologram bola energi. “Aku bisa buat firewall ganda, satu untuk jaringan komunikasi internal, satu lagi untuk sistem komando utama. Tapi perlu waktu dan suplai energi tambahan untuk overload semacam itu.”
“Gunakan semua sumber cadangan dari panel surya dan bank energi independen di ruang bawah,” perintah Yueyue tegas. “Pastikan semua server dan sistem tidak terhubung ke internet publik mulai malam ini. Kita harus benar-benar mandiri, terisolasi dari kekacauan di luar.”
Di malam hari, Yueyue berjalan sendirian ke Ruang Teratai. Udara di sana selalu sejuk, aroma tanah basah menenangkan jiwanya.
Ia berdiri di tepi danau, menatap pantulan langit buatan yang mulai berubah warna mengikuti suasana luar, seolah ikut merasakan tekanan yang meningkat.
“Liontin… bisakah aku menyelamatkan mereka semua?” bisiknya, menyentuh giok teratai di lehernya, sebuah jimat sekaligus kunci harapan.
Getaran lembut menjalar dari liontin giok. Tidak ada jawaban verbal, tetapi kehangatan yang mengalir menenangkan hatinya. Seolah berkata: Kau tidak sendirian. Kita akan melalui ini bersama.
Di kejauhan, robot-robot pertanian masih bekerja tanpa lelah, kandang ternak tampak mulai berbentuk sempurna, dan gudang beku tertutup rapat, semuanya dalam keheningan abadi waktu yang ditahan, sebuah oasis di tengah badai yang akan datang.
Yueyue menatap semuanya. Dunia ini, ciptaannya, dan dunia luar yang akan segera tenggelam dalam kegelapan.
“Kalau besok adalah hari terakhir dunia… maka hari ini adalah hari terakhir kita bersiap, yang terakhir untuk napas normal,” gumamnya, tekad mengeras di wajahnya.
Ia memejamkan mata, menyimpan napas, lalu membisikkan satu kata yang mengunci takdir mereka:
“Mulai.”
Dan di luar angkasa, jauh di antara bayang-bayang gelap dan debu kosmik, meteor utama yang tersembunyi di balik fragmen kecil… mulai mempercepat lajunya menuju Bumi, seperti raksasa yang terbangun dari tidurnya, siap mengukir kehancuran.