•~[Irina Azzalzalah]~•
Selama berbulan-bulan yang panjang ini... Aku menghabiskan masa sma ku dengan dibully terus menerus.
Tanpa henti... Hari-hari terasa bagaikan neraka.
Selama ini, aku terus bertanya. "Kenapa tidak ada yang membantuku?", gitu. Hampir setiap hari aku terus memikirkan hal itu. Namun, pada akhirnya aku tidak lagi memikirkannya... Karena waktu terus berlalu tanpa ada siapapun yang membantuku... Baik murid, guru, apalagi orang tuaku.
"Andai aku bisa melawan"
Itulah yang kupikirkan pada hari itu. Tapi... Apakah membalas perbuatan jahat dengan perbuatan jahat adalah hal yang benar? Balas dendam hanya akan menghasilkan balas dendam lainnya.
Sekalipun aku bisa melawan... Apakah memang itu adalah hal yang benar?
"Aku... Aku tidak tau..."
•••
Aku sudah pasrah dengan hidupku... Entah karena apa, rasa penderitaan yang selama ini kurasakan seakan menghilang begitu saja. Tergantikan oleh kekosongan mendalam, memberikan rasa frustasi yang meresapi hatiku.
"Silahkan nona"
Selama ini... Aku memutuskan untuk diam saja. "Apakah melawan balik itu memang adalah hal yang benar?", aku tidak pernah tau.
Tapi... Saat ini... Aku tidak peduli lagi tentang itu. Bahkan meskipun ini salah... Aku tidak peduli, karena aku "Sama sekali tidak tau"... Tentang manakah yang benar maupun salah.
Kali ini saja... Aku akan mengikuti apa yang sebenarnya ku inginkan.
"Lucu sekali ya..."
Gumamku.
Untuk apa aku merenungi hal itu? Yang terpenting hanyalah aku mau atau tidak tentang ini... Yakan?
"Jasa pukul berkualitas", sungguh judul brosur yang sangat lucu, terutama tulisan tangannya yang... Aku tidak tau apakah itu sederhana atau jelek.
.....
Sebelumnya, aku sudah siap untuk mati... Rasa penderitaanku seakan telah menghilang, dan yang tersisa hanyalah rasa frustasi dan kekosongan.
Tetapi... Entah karena apa, rasa penderitaan itu kembali lagi. Menghapus kekosongan yang selama ini terasa sangat dalam di hatiku.
Untuk kali ini saja... Biarkan aku berharap bahwa aku bisa kembali menikmati hidupku lagi, seperti dulu lagi.
"Oh"
Aku mengatakan itu, karena tertulis dibrosurnya... "Katakan ohh dengan santai jika kau memutuskan menerimanya", yaampun, sungguh pemilihan kata yang aneh
Cowok itu berdiri, dengan ekspresi senang di wajahnya yang tidak dibuat-buat.
"4 orang ya..."
"Apa lo? Mau sok jadi pahlawan h-"
Bugh!!!
Kelvin yang geram mulai membentak Tony (kalau aku tidak salah ingat namanya...), tetapi Tony menendang wajahnya sebelum ia sempat selesai bicara.
Setelah itu... Sulit menjelaskan pemandangan itu dengan kata-kata... Apa yang dialami Kelvin dan teman-temannya... Kurasa sama menyakitkannya dengan apa yang kulalui selama ini
Rasa bersalah yang teramat dalam menusuk hatiku... Aku mulai bertanya-tanya. "Apakah keputusanku ini benar?". Apakah... Apakah yang kulakukan ini tidak masalah?
Bagaimana kalau sekarang semua orang benar-benar membenciku... Bagaimana kalau mereka membalasku dengan lebih buruk lagi... Bagaimana kalau aku justru terkena masalah lagi...
Lebih dari pada itu... Bukankah yang kulakukan sama saja dengan mereka? Bukankah aku sama buruknya dengan mereka...
Aku benar-benar merasa bersalah...
"Hah..."
Tony menepuk-nepuk kedua tangannya seakan membersihkan debu yang menempel, sementara Kelvin dan teman-temannya terbaring dilantai.
Aku berjalan perlahan mendekati Kelvin... Yang dipukuli lebih banyak dari teman-temannya. Aku duduk dihadapannya, menatapnya yang pingsan.
Sorot mata penuh kebencian terasa berat dipunggungku... Aku tau bahwa semua orang membenciku... Tetapi, kali ini... Kurasa aku memang buruk.
Tidak ada yang salah bagi mereka untuk membenciku saat ini... Lagipula, kurasa aku benar-benar buruk. Melihat bagaimana Kelvin dan teman-temannya saat ini.
Sebuah tepukan pelan terasa lembut dipundakku. Aku mengangkat wajahku, mendapati Tony selaku orang yang menepuk pundakku.
"Wajahmu jauh lebih baik saat kau tersenyum"
Aku... Tersenyum?
•••
Jam istirahat kedua.
Tidak ada yang menghampiriku seperti biasanya... Memberikanku perasaan yang aneh antara lega dan canggung.
Aku memperhatikan sekelilingku, mencoba mencari dimana Tony berada.
"Sepertinya dia sudah pergi ya?"
Aku keluar dari kelas, berjalan menelusuri lorong-lorong mencari keberadaan Tony.
Omong-omong, suasana rasanya ini berbeda... Menyenangkan. Maksudku, selama ini aku sudah tidak pernah lagi melewati lorong-lorong ini saat jam istirahat.
Aku melihat-lihat sekeliling... Lalu tiba-tiba saja aku merasa lapar.
"... Ke kantin kali ya?"
Sudah lama sekali ya, aku tidak pernah ke kantin lagi karena uangku selalu dipalak tiap harinya. Tapi, hari ini uangku utuh. Tidak berkurang sepeserpun.
.....
Aku membeli 3 roti kering lalu kembali berjalan menelusuri lorong. Aku tidak membeli minuman, aku membawa botol minum sendiri jadi aku bisa lebih berhemat.
"Tapi Tony kemana, sih?"
Aku kembali berpikir... Dimana kira-kira dia berada? Aku sudah menelusuri lorong ini sejak tadi.
Ah... Di atap kali ya? Benar juga, aku belum memeriksa ke sana.
.....
Aku membuka pintu atap perlahan, lalu melihat sekeliling, mencari dimana keberadaan Tony.
"Apa dia tidak a-"
"Siapa?"
"Eh!"
Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara yang seakan mengancam.
"E... Eum"
Aku mendekat perlahan ke sumber suara itu
"Ah, lu toh"
Disitu, aku melihat Tony yang duduk bersandar, menatap kearahku yang mendekat.
"Napa?"
Tanyanya
"Eh? Eum..."
Aku sedikit gagap, karena aku sudah lama sekali tidak berbicara dengan orang lain.
"Kamu sendiri sedang apa?"
Aku malah bertanya balik.
"Sopankah begitu?"
"Eh..."
Dia menghelah nafas karena ku.
"Duduklah"
Eh? Boleh nih?
Perlahan, aku mendekatinya lalu duduk disampingnya.
"Mm... Oh iya btw-"
"Aman, gua nerima cicilan kok"
"Eh?"
Sebentar, kenapa dia mengira ke situ?
"Ah, tidak bukan itu..."
"Lalu apa?"
Eh? Kenapa rasanya malah jadi canggung begini...? Ya... Masa aku tiba-tiba bilang mau berterima kasih gitu? Kan ga enak, harusnya basa-basi dulu gitu...
"Mm... Kamu ga ke kantin?"
"Ga punya uang"
"Ah... Begitu ya..."
Kenapa rasanya dia cuek sekali?
"Kamu mau roti?"
Tanyaku menawarkan salah satu roti kering yang sebelumnya kubeli di kantin.
"Makasih"
Dia menerima roti itu dengan santai. Sepertinya dia lapar ya?
"Enak?"
"Makanan gratis selalu enak di dunia ini"
Jawabnya santai.
"... Pfft, begitu ya"
Aku tertawa pelan, entah kenapa terasa lucu.
"Apaan?"
"Tidak tidak, maafkan aku... Hanya saja rasanya aku ingin ketawa"
Jawabku sembari mencoba berhenti tertawa.
"Yah, bagus deh"
"Ehh?"
Perkataannya itu membuatku bingung.
"Dari awal gua lihat lu, lu... Selalu kelihatan sedih. Begini lebih baik, begitulah"
Entah kenapa... Tapi aku merasa senang mendengar itu. Ah... Kapan terakhir kali aku merasa senang seperti ini ya?
"Makasih"
-...
"Makasih, berkatmu aku merasa lebih baik"
Tepat setelah itu, bel masuk berbunyi.
"Ah, udah bel tuh. Masuk yuk"
Aku berdiri terlebih dahulu, bersiap pergi.
"Irina"
Terdengar suara Tony memanggilku.
"Eh, ya-"
Tiba-tiba saja dia menggenggam tanganku, lalu menarikku hingga duduk kembali di sampingnya. Sontak membuatku sangat kaget karenanya.
"Tetaplah disini"
Ucapnya.
"Tapi... Bukankah itu berarti bolos?"
"Gapapa"
"Apanya yang gapapa? Ini-"
"Ssst..."
Dia menutup mulutku dengan jari telunjuknya, seakan berkata "Sudahlah diam saja", gitu.
"Istirahat saja untuk saat ini"
Ucapnya.
Jujur saja, aku merasa sulit untuk menerima hal itu. Karena selama ini aku tidak pernah seharipun meninggalkan pelajaran entah karena alasan apapun, apalagi bolos begini.
"Gua tau apa yang lu pikirin. Tapi untuk kali ini, gua mau lu istirahat aja disini, ngerti?"
Kata-katanya yang terkesan memaksa itu... Entah kenapa terasa penuh kepedulian bagiku.
Aku tidak tau kenapa, tapi rasanya... Justru aku memang tidak berniat menolaknya. Jadi...
"Kurasa untuk kali ini saja, aku bisa beristirahat"
Ucapku bersandar di dinding.
"Bagus... Lah... Kalo... Gitu"
"Pfft... Kalo mau ngomong jangan sambil makan, haha"
Ledekku sembari tertawa kecil
"Berisik"
...
Jujur saja, rasanya ini aneh. Maksudku, selama ini aku tidak pernah bolos sekalipun seumur hidupku. Lagipula aku ini murid yang taat, jadi benar-benar terasa aneh.
Tapi... Entah kenapa aku tidak masalah. Justru, aku menikmati saat-saat ini...
Aku mulai mengantuk... Mataku mulai terpejam perlahan, rasanya aku sangat ingin tidur. Tapi... Bukankah aku justru akan merepotkan Tony kalau begitu?
"Tidur saja"
Ucap Tony seakan-akan membaca pikiranku.
"... Makasih"
Begitulah yang kuingat sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur.
•••
Aku membuka mataku perlahan... Menyadari bahwa posisiku telah berubah, dari yang sebelumnya bersandar menjadi berbaring.
Tapi... Kenapa kepalaku tidak terasa sakit? Justru terasa nyaman...
Tepat saat itulah, aku menyadari bahwa aku tertidur dipangkuan Tony. Membuatku secara refleks menjauhinya.
Astaga... Kenapa malah jadi begitu? Malu-maluin aja...
"Ah... Dia tidur?"
Begitulah yang kugumamkan saat menyadari bahwa Tony masih tertidur. Yah, sudah pasti dia tertidur karena bosan.
...
Tubuh Tony mulai bergerak, sepertinya dia akan bangun.
"Irina... Kau sudah bangun?"
Gumamnya sembari mengusap matanya, menyadari bahwa aku menghilang dari sisinya.
"Ah, iya. Aku sudah bangun"
Jawabku
"Omong-omong sekarang pukul berapa?"
"Jam 15:35"
Jawab Tony, memeriksa jam di hpnya.
"Sebentar kau bawa hp?"
"Ya"
"Bukankah itu dilarang?"
"Memangnya siapa orang gila yang berani ngelaporin gua?"
Balasnya santai.
"Mm... Tapi bagaimanapun itu tidak boleh loh!"
Tegurku { illustration: >https://photos.app.goo.gl/BqBg5g4g5oxDAQ8T6 }
"Ya ya"
"Kau tidak serius!"
Entah kenapa aku lumayan kesal
"Keknya lu dah baikan ya?"
"Mm..."
Jujur saja kurasa dia benar, tapi entah kenapa aku tidak ingin berkata "Kau benar" atau semacamnya.
"Mau pulang?"
Dia berdiri
"Ya... Kurasa yang lainnya sudah pulang semua, ayo ambil tas kita di kelas"
Kami menuruni tangga bersama, menelusuri lorong-lorong sebelum akhirnya sampai ke kelas kami.
"Ayo"
"Ya"
Kami mengemas buku-buku dan alat tulis kami, sebelum akhirnya keluar dari kelas ini.
"Rumahmu lewat jalan ini juga?"
Tanyaku, karena sedari tadi dia berjalan disampingku.
"Enggak, gua cuma mastiin keamanan klien"
Jawabnya.
"Mm... Apa maksudmu?"
"Di brosur itu ada tulisan "Klien dipastikan aman dari resiko apapun setelah menerima jesa", yakan?"
Jelasnya.
"Ya... Sepertinya"
Aku tidak terlalu ingat, karena tulisannya terlalu jelek.
"Abis gua menghajar target, ada peluang bahwa mereka justru membalas dengan menyerang klien. Maka dari itu, gua bakal mastiin keamanan klien setelah memberikan jasa"
"Eh... Profesional banget"
"Ngejek?"
"Ukh..."
Padahal aku sudah meninggalkan kata "Sok" dalam kalimat itu, kenapa dia bisa sadar?
"Tidak kok"
"Yah, sudahlah"
Fyuh... Bagus deh, dia tidak menghiraukannya.
Tapi... Membicarakan soal hal itu, aku kembali teringat pada apa yang dialami Kelvin dan teman-temannya sebelumnya.
Rasa bersalah yang sebelumnya kurasakan entah kenapa kembali lagi... Membuatku benar-benar merasa tidak enak sekarang.
"Hei"
"Eh, ya?"
Panggilan itu seketika mengakhiri lamunanku.
"Ga usah mikirin mereka apalagi ngerasa bersalah, ini demi kebaikan lu sendiri"
-...
"Terdengar aneh ya? Intinya gua mau lu santai aja, ga usah mikirin mereka"
Begitu ya...
Entah kenapa, perkataannya itu membuatku merasa lebih baik. Menghilangkan rasa tidak enakkan yang sebelumnya kurasakan.
"Makasih"
Tanpa kusadari, aku tersenyum.
"Liat, muka lu jauh lebih baik pas senyum"
Ucapnya
"Ya ya, makasih"
Balasku santai.
Kami melanjutkan perjalanan, hingga tak terasa sudah sampai di depan apartemenku.
"Makasih udah nemenin, ini apartemenku"
Ucapku padanya, sebelum berbalik untuk menaiki tangga ke lantai atas.
"Irina"
Terdengar suaranya memanggilku
"Ya?"
"... Nikmati hidup lu"
Begitulah yang dia ucapkan sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan apartemenku.
Aku hanya diam memandanginya yang berjalan pergi, sebelum punggungnya mulai lenyap dari pandanganku.
.....
Selesai mandi dan berganti pakaian, aku duduk di ranjangku... Bersandar di dinding kamarku.
Segala beban yang selama ini terasa berat di fisik dan mentalku, sekarang sudah benar-benar menghilang. Membuatku merasakan ketenangan yang aneh...
Aku... Aku menyukai ini. Aku bisa menikmati hidupku kembali sekarang, yakan?
Aku berbaring dan meregangkan tubuhku diranjang, menatap langit-langit kamarku dengan hati yang dipenuhi ketenangan.
"Begini Tidak Masalah Bukan?"
•••