CHAPTER 2 - Jurang neraka yang melahirkan pedang

Tubuhnya terhempas, tulang-tulangnya remuk, darah mengalir deras, dan matanya hampir padam.

Namun Charloth Reinhanvert tidak mati.

Bukan karena mukjizat. Bukan karena takdir.

Tapi karena satu hal:

Kebencian.

Senyum pengkhianat brengsek itu masih membekas dalam ingatannya. Tawa palsu, janji palsu, dan pengkhianatan yang membakar jiwanya.

Saat dia bangkit dengan dua kaki yang hampir patah, seekor undead langsung menerkam. Ia tak bisa bertarung. Bahkan berdiri pun nyaris mustahil. Tapi dia tak perlu kekuatan untuk menang.

Yang dia butuhkan hanyalah otak, dan tekad.

Dengan memanfaatkan medan, menjatuhkan batu, mengelabui pergerakan musuh, dan akhirnya menusukkan pecahan tulang ke mata si undead, dia selamat.

Luka tambah parah, tubuhnya nyaris tak berbentuk. Tapi saat teringat wajah-wajah yang menghancurkan hidupnya, emosi menyembur seperti magma.

“Akan kubuat kalian merasakan neraka yang bahkan iblis pun tak sudi tinggali,” geramnya.

Ia mulai melakukan kultivasi fisik berdasarkan teknik dasar dari akademi. Eternal energy mulai mengalir. Perlahan-lahan, tubuhnya pulih, tidak sempurna, tapi cukup untuk berdiri, berlari, dan bertarung.

Hari-harinya diisi dengan pertarungan melawan undead, tidur di tumpukan mayat, dan memakan daging yang belum sepenuhnya membusuk. Untuk minum, ia menampung air hujan atau bahkan meneguk darah undead.

Muntah? Ya. Kenyang? Tidak. Bertahan hidup? Sudah pasti.

Tahun berganti. Dari satu, menjadi tiga, lalu lima. Reinhanvert telah mencapai 4-Star, dan berusaha menembus 5-Star.

Saat undead mulai terasa terlalu mudah, dia menyusuri jurang lebih dalam. Gelap. Bau darah kering memenuhi udara. Celah-celah kecil di batu memberi sedikit cahaya.

Undead di bawah lebih kuat. Lebih buas. Saat malam, mereka jadi tak terkendali.

Untuk bertahan, ia menciptakan api dari mayat dan eternal energy yang dibakar lewat pedangnya. Beberapa hari berjalan lancar—hingga dia menemukannya.

Undead Pendekar.

Satu-satunya mayat hidup yang bisa menggunakan teknik pedang. Gerakannya sederhana namun mematikan. Setiap serangan memiliki prinsip. Dasar yang sempurna. Reinhanvert seperti menghadapi pendekar sejati.

Pertarungan berlangsung kejam. Dia dipukul mundur, darah mengalir, tubuhnya compang-camping. Dia mencoba memanipulasi medan, menabrakkan bebatuan, membakar undead lain sebagai penghalang—semuanya gagal.

Gerakannya terlalu kasar. Terlalu banyak celah.

Dengan mengorbankan paha yang tertusuk, dia berhasil membalikkan keadaan. Tusukan membabi buta mengakhiri pertarungan itu. Di sisa napasnya, dia menemukan sebuah jurnal.

Awalnya terlihat seperti catatan biasa. Tapi begitu dia buka dan baca dengan saksama, matanya membelalak.

Teknik pedang. Teknik kultivasi.

Semuanya tertulis di sana. Fokus pada efektivitas. Pada pembunuhan. Setiap gerakan diarahkan ke titik vital.

Dia membandingkan itu dengan teknik akademi—lalu tertawa.

“Yang diajarkan di luar sana... sampah,” gumamnya.

Ia mengulang dasar pedang. Dari ayunan. Dari pergerakan kaki. Dari pernapasan. Ratusan kali. Ribuan kali. Hingga menyatu dalam daging dan tulangnya.

Bulan berlalu. Dia mencapai 5-Star. Untuk menembus 6-Star, dia harus menjalani Body Martial Cultivation.

Itu bukan proses biasa. Dia harus membuka titik meridiana tubuh. Menyalurkan eternal energy dengan presisi mutlak. Kegagalan berarti tubuh meledak dari dalam.

Prosesnya menyakitkan. Tubuhnya menghitam, membusuk, mengeluarkan cairan pekat. Kulitnya retak. Tulang-tulangnya mencuat.

Tapi dari kehancuran itu, lahir tubuh baru.

Lebih kuat. Lebih cepat. Lebih buas.

—Sword Grandmaster, 6-Star.

Dunia fisik memiliki sistem kekuatannya sendiri:

Intermediate (1–3 Star): para pemula yang baru mengenal eternal energy. Swordmaster/Marksman/Guardian (4–6 Star): mereka yang telah menemukan gaya bertarungnya. Grandmaster (7–8 Star): sosok yang dapat mengubah medan perang sendirian. Divine (9-Star): satu orang yang lebih berbahaya dari pasukan. Beyonder (10+ Star): eksistensi yang tak bisa dijelaskan logika. Demi-God (11-Star): langkah terakhir menuju keabadian.

Sedangkan bagi para penyihir, kekuatan mereka bertumpu pada rekonstruksi mana core:

Intermediate Circle: (1–3). Advanced: (4–6). Arch Mage: (7–8). Divine Mage: (9). Beyonder: (10+). Demi-God: (11)

Untuk menembus Circle ke-6, mage harus menyatu dengan elemen alam dan menyerap mana murni demi memperkuat indra mereka. Bagi pengguna fisik, pengalaman hidup dan mati adalah syarat mutlak.

Reinhanvert terus melangkah. Ia mendalami teknik dari jurnal. Salah satu teknik disebut Rain of Blood—sebuah gerakan cepat yang membunuh lusinan musuh dalam sekali lewat, meninggalkan hujan darah dari tubuh-tubuh yang terbelah.

Butuh waktu singkat baginya untuk menguasainya.

Karena dasar-dasarnya sudah sempurna.

Tahun kembali berlalu. Ia terus bertarung. Terus bermeditasi. Tak lagi tidur. Tubuhnya dibentuk dalam medan perang.

Dan akhirnya…

Ia tiba di dasar jurang.

Tempat itu suram. Sunyi. Hanya ada empat obor dengan api berwarna ungu. Dan di tengahnya, berdiri satu sosok.

High Lich.

Pertarungan pun terjadi. Tak ada kata. Hanya denting pedang dan sihir yang saling menyayat.

Reinhanvert tidak kewalahan. Tapi ia tahu—ini bukan musuh biasa.

Lich itu jatuh setelah pertarungan brutal. Tapi sesuatu membuat Reinhanvert terdiam.

Obor ungu itu... berubah merah darah.

Dan dari balik bayangan, muncul sosok tinggi dengan senyum congkak.

“Sudah lama tidak ada manusia yang cukup gila untuk mencapai tempat ini.”

“Apa kau...?”

ucap reinhanvert.

“Salah satu dari sekian Great Demon.”

Reinhanvert menyipitkan mata.

Great Demon? Dia tak tahu apa-apa soal hierarki iblis. Tapi tubuhnya bereaksi.

Sosok itu bukan makhluk biasa.

“Terakhir kali ada pendekar pedang yang menyusup ke tempat ini. Orang itu kuat... terlalu kuat. Tapi sayang, dia sekarat. Aku mengubahnya menjadi undead, lalu mengawasinya membusuk perlahan.”

Reinhanvert terdiam.

Jadi itu asalnya jurnal itu...

“Jika pendekar itu saja dalam keadaan sekarat bisa memberiku luka seperti ini...” Great Demon menyeringai sambil menyentuh bekas luka di dadanya.

“...aku tak bisa membayangkan betapa berbahayanya dia saat masih berada di puncak.”

“Jadi itu takdirnya?” gumam Reinhanvert. “Dikhianati oleh tubuhnya sendiri... lalu dijadikan boneka.”

Aura Reinhanvert mulai berubah.

Tenang. Dalam. Tapi menekan. Seperti lautan hitam yang menelan segalanya.

Tampa peringatan reinhanvert menyerang sang Great Demon dengan serangan yang sangat berat.

Great Demon terkesiap, Kakinya terseret ke belakang.

Satu tekanan dari Eternal Energy Reinhanvert... cukup untuk membuat iblis kelas menengah itu kehilangan keseimbangan.

Aura tak cukup untuk membunuh.

Tapi pedang?

Pedang adalah eksekusi.

Reinhanvert membuka mata.

Dalam sekejap, dia menghilang.

Pertarungan terjadi, tapi kali ini bukan reinhanvert yang memojokan sang Great Demon, JUSTRU SEBALIKNYA.

Setiap serangan reinhanvert yang awalnya dapat memberikan goresan, kini serangan itu secara terus menerus bisa di tangkis oleh Great Demon, tak hanya bertahan sang Great Demon juga dapat menyerang balik hingga reinhanvert tersunggkur

"Bagaimana bisa semua serangan ku bisa di tangkis..." ucap reinhanvert sambil ter engah - engah

...rasa penasaran mengendap.

“Kalau pendekar itu bisa membuat makhluk macam ini ketakutan hanya dalam keadaan sekarat... lalu seberapa kuat dia di masa jayanya?” ucap reinhanvert dalam benaknya

Reinhanvert kembali menyerang...perlahan tapi pasti setiap pertahanan sang Great Demon mulai tergoyahkan

Great Demon tak tinggal diam, saat ada kesempatan dia menyerang dengan lebih membabi-buta.

Reinhanvert tersungkur,terpental,kulitnya robek,tulangnya retak,bahkan sel sel otot nya seperti berteriak kesakitan. Tapi ia belum menyerah, dendamnya lebih besar dari rasa sakit nya

"Jika semua ini adalah proses untuk balas dendam....ini semua sepadan!!!"ucap reinhanvert dengan mulut yang bersimbah darah