Setelah tiba di Mension keluarga Baron norht, dan mendapatkan penginapan reinhanvert berencana untuk berjalan jalan sebentar, Tapi bukan tanpa tujuan
Beberapa saat kemudian---
Langkah Reinhanvert berhenti di depan bangunan berdinding batu abu-abu, di mana simbol dua pedang bersilang tertancap di atas gerbang besar. Ini adalah markas cabang Mercenary Guild wilayah barat daya Drucall. Tidak seberapa besar, tapi cukup padat dengan lalu-lalang petualang.
Tanpa banyak bicara, Reinhanvert—atau Vert, sebagaimana ia dikenal di dunia mercenary—masuk dan menyerahkan bukti penyelesaian misi. Seorang resepsionis pria berambut cokelat memperhatikan dokumen dan stempel tanda berhasil, lalu mengangguk.
“Selamat, Vert. Karena ini misi kelas C yang cukup beresiko dan kau menanganinya seorang diri, kami mengabulkan promosi ke B-Rank,” ucapnya sambil menyodorkan lencana baru.
Reinhanvert menerimanya dengan ekspresi datar. Ia menatap resepsionis sejenak, lalu bertanya, “Kalau aku ingin informasi… tempat mana yang bisa kudatangi?”
Pria itu tertawa pelan. “Ada, tapi kamu masih terlalu hijau buat akses informasi tingkat tinggi. Butuh Rank A minimal untuk lencana masuk ke ‘Silent Hall’. Tapi... terus naikkan reputasimu. Namamu mulai sering disebut di antara para petualang.”
Reinhanvert mengangguk pelan lalu berbalik pergi. Namun, sebelum benar-benar keluar dari aula utama, langkahnya dihentikan oleh seorang pemuda yang berdiri bersandar di dinding, menatapnya dengan mata merah menyala di bawah poni rambut putih yang acak-acakan.
“Hei,” katanya. Suaranya ringan tapi punya tekanan. “Kau Vert, ‘si pendaki cepat’ itu, kan?”
Reinhanvert memandangnya sejenak, memperhatikan postur ramping namun berotot, lengkap dengan armor ringan dan sarung pedang yang tampak terawat. Pemuda itu mendekat, lalu tanpa basa-basi mengangkat tangannya, “Namaku Theo. Seorang Mercenary B-Rank juga, dan—”
“Kalau mau ngajak duel, tolong jangan repot-repot,” potong Reinhanvert dengan nada malas. “Tak ada manfaatnya.”
Theo terkekeh. “Tenang. Aku bukan bocah yang lapar pengakuan. Aku cuma... penasaran. Jarang ada orang seusia kita yang bisa memanjat rank secepat itu. Kau pasti lebih dari sekadar ‘berbakat’.”
Reinhanvert hanya diam.
“Begini saja,” lanjut Theo. “Aku tahu kau orang kuat dan dingin, tapi kau juga cerdas, bukan? Bagaimana kalau kita buat tim? Penghasilannya dua kali lipat. Aku cuma ambil sepuluh persen dari semua misi, selebihnya milikmu. Sebagai gantinya, aku akan jadi pedang keduamu. Kapan pun kau butuh bantuan, aku akan datang.”
Reinhanvert sempat menatap tajam, seperti menilai niat pemuda itu. Lalu ia berpaling dan bergumam,
“Sepuluh persen... untuk tenaga gratis. Kedengarannya murah.”
Ia tidak menjawab langsung, hanya meninggalkan kalimat itu menggantung di udara saat mulai berjalan. Theo mengangkat alis lalu tersenyum, lalu ikut berjalan di belakangnya sambil bersiul.
Dalam hati, Theo bergumam.
“Dia bukan orang biasa… tatapannya tajam, langkahnya tenang, dan tiap keputusan yang dia buat terasa seolah semuanya sudah dia prediksi sejak awal. Bukan hanya kuat… dia berbahaya.”
“Vert… atau siapapun dia sebenarnya. Dengan reputasi, kecakapan, dan cara dia mengendalikan situasi seperti ini… cepat atau lambat, dia akan jadi salah satu yang terbesar. Dan aku ingin ada di sisinya saat itu terjadi.”
---
Di benak Reinhanvert, satu hal berputar perlahan:
"Kekuatan saja tak cukup untuk menghadapi satu kekaisaran. Tapi budak yang tepat… bisa jadi mata dan telinga."
Keramaian markas mercenary itu tak pernah benar-benar sepi. Deru suara, denting armor, serta aroma keringat dan darah bercampur dalam udara. Di tengah itu, dua pemuda berdiri berdampingan di hadapan meja resepsionis.
“Jadi kalian berdua ingin mendaftarkan party tetap?” tanya sang resepsionis, memeriksa dokumen sambil mengamati Reinhanvert dan Theo secara bergantian. Tatapannya seolah menimbang, apakah dua anak muda ini hanya sok berani atau benar-benar gila.
Reinhanvert tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan.
Theo-lah yang menjawab, lebih terbuka. “Benar. Hanya berdua. Dia yang punya reputasi cepat naik rank, aku hanya penasaran apa kami bisa saling melengkapi.”
Resepsionis mencatat sesuatu. “Nama party?”
Reinhanvert tampak tidak tertarik memikirkan nama.
Theo menatapnya sejenak, lalu menjawab, “Black Fang.”
Resepsionis mengangguk, mencap dokumen pendaftaran. “Oke. Party 'Silver Fang' telah resmi terdaftar. Karena keduanya sudah B-rank, kalian bisa mengambil misi hingga tingkat yang sama.”
Theo sempat melirik Reinhanvert sebelum bertanya, “Ada rekomendasi misi?”
Resepsionis menunjuk papan besar di sisi ruangan. “Chaos Dungeon. Clearance Class B. Masih kosong, belum ada yang ambil. Lokasinya di Eastern Vale.”
Theo terdiam sejenak, tapi Reinhanvert melangkah tanpa ragu menuju papan. Tangannya menunjuk langsung misi tersebut.
“Ini,” katanya singkat.
Resepsionis sempat mengerutkan kening. “Kalian baru saja bergabung. Chaos Dungeon bukan main-main. Ada alasan kenapa disebut ‘chaos’. Tingkat kematian tinggi, bahkan party berpengalaman pun bisa gagal.”
“Justru karena itu,” jawab Reinhanvert, matanya tenang. “Kami tidak perlu membuang waktu.”
Theo tertawa kecil. “Sial, aku belum pernah lihat orang seambisius ini dalam hidupku. Tapi, kenapa tidak?”
Resepsionis menyerahkan kontrak. “Tanda tangan di sini. Setelah ini, tidak ada penarikan kembali. Jika kalian gagal, nama kalian akan dihapus dari catatan mercenary.”
Keduanya menandatangani.
Sambil mengamati mereka berjalan menjauh, sang resepsionis bergumam sendiri. “Dua anak muda dengan reputasi berbeda, tapi aura yang sama. Dunia mercenary mungkin akan bergejolak sedikit lebih awal tahun ini.”
**
Di lorong keluar markas, langkah mereka masih hening. Reinhanvert tetap datar, namun Theo beberapa kali menoleh ke arah pemuda itu.
(Dalam hati Theo)
“Dia... bukan orang biasa. Aura tekadnya sekeras baja. Tatapannya seperti orang yang menanggung dunia. Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya, tapi satu hal pasti... pria ini akan jadi salah satu dari mereka yang mengubah sejarah.”
Sementara itu, Reinhanvert sendiri berjalan tenang.
(Dalam hatinya)
“Chaos Dungeon… semoga cukup untuk mengukur batasku sekarang. Jika aku ingin melampaui Luna… jika aku ingin menghancurkan semua yang pernah menghancurkan keluargaku… maka ini baru permulaan.”
Sebelum itu mereka pergi ke toko senjata distrik selatan Drucall untuk melengkapi perlengkapan mereka.
[Toko Senjata – Distrik Selatan Drucall]
Toko itu tak istimewa. Plang kayu tergantung miring, dan deretan senjata terpajang seadanya—sebagian kusam, sebagian seperti barang curian dari medan perang yang telah usang.
Reinhanvert membuka pintu dengan dorongan ringan. Theo mengikut dari belakang, masih menyesuaikan posisi pelindung lengan kirinya.
“Pedangmu rusak?” tanya Theo singkat.
“Cukup untuk tak bisa menebas dengan bersih,” jawab Reinhanvert tanpa menoleh.
Mereka masuk, dan pemilik toko—seorang pria bertubuh sedang dengan brewok acak-acakan—menyambut dengan senyum tipis. “Dua bocah muda. Mau lihat pedang kayu, atau sekadar cuci mata?”
Nada bicaranya halus, tapi ada geliat penghinaan di dalamnya. Theo mendengus pelan, tapi Reinhanvert mengangkat tangan, isyarat agar tak perlu ditanggapi.
“Aku butuh pedang,” ucap Reinhanvert. “Harga minimal satu gold, maksimal tiga. Tunjukkan saja.”
Pria itu tampak tercengang sesaat. Tapi lalu ia berbalik, mengambil tiga pedang dari dinding bagian belakang, lalu meletakkannya di atas meja kayu usang. “Tiga ini, masing-masing dua setengah gold. Kualitas bagus. Cocok buat yang muda-muda seperti kalian.”
Theo melangkah maju, mengambil salah satunya, mengamati.
“…Penipu,” gumamnya.
Reinhanvert menoleh. “Apa maksudmu?”
Theo menatap si pengrajin tajam. “Pedang ini menggunakan baja campuran murah. Bahkan tidak seimbang beratnya. Barang semacam ini cuma pantas dihargai dua ratus lima puluh silver.”
“T-tidak! Aku tidak pernah—!”
“Cukup,” potong Reinhanvert, masih tenang. Matanya mengarah ke Theo. “Kau yakin?”
Theo mengangguk. “Kalau aku salah, aku potong lenganku di sini.”
Sunyi. Hening tajam seperti benang yang nyaris putus.
Reinhanvert menatap si pengrajin. “Kalau begitu... kau dengar sendiri.”
Ia melangkah mendekat, dan dalam sepersekian detik, suara logam terdengar. Samar. Nyaris tak terdeteksi. Tapi goresan halus melintang di pipi si pengrajin, meneteskan darah tipis.
Theo tersentak. Ia bahkan tak sempat melihat kapan pedang Reinhanvert dihunus.
Si pengrajin menggigil. “M-maaf… t-tunggu! Kalian bukan orang biasa! Aku—aku salah! Aku… akan memberimu pedang yang sesuai harga! Demi ibu kandungku, aku minta ampun!”
Beberapa saat kemudian, ia menghilang ke belakang. Lalu kembali membawa satu pedang dengan sarung beludru merah gelap. Ia menyodorkannya dengan dua tangan, lututnya masih menempel lantai.
Reinhanvert menariknya keluar dari sarungnya. Pedang itu sederhana—tanpa ukiran, tanpa ornament. Tapi keseimbangannya sempurna. Ringan, namun tetap membawa tekanan. Ujungnya tajam, dan gagangnya kokoh.
“Bagus,” gumamnya.
Theo mendekat, mengamati. “Akhirnya... itu baru sepadan dengan harga tiga gold.”
Reinhanvert menyarungkan pedang, lalu menyimpan yang lama ke punggungnya.
Tanpa kata-kata tambahan, ia melangkah keluar toko. Si pengrajin masih membungkuk, keringat dingin membanjiri pelipisnya.
Di luar, mata Reinhanvert menatap langit suram kota.
(Dalam hatinya)
“Semakin dekat. Kalau aku ingin mencapai puncak… semua senjataku harus cukup untuk membunuh dewa.”
[Beberapa Jam Sebelum Keberangkatan – Markas Mercenary Cabang Drucall]
Langkah kaki mereka menggema pelan saat kembali melintasi lorong utama markas. Reinhanvert berjalan di depan, jubahnya berayun ringan seiring gerakan. Pedang baru tergantung tenang di pinggangnya, memancarkan aura dingin yang tak berlebihan, namun cukup untuk membuat siapapun yang peka merasa tercekik.
Di belakangnya, Theo sibuk mengencangkan sabuk pelindung dadanya. Beberapa perlengkapannya yang rusak telah diperbaiki cepat oleh bengkel yang biasa ia pakai—ia cukup teliti soal urusan perlengkapan.
“Lumayan,” gumamnya, menguji elastisitas pelindung tangannya. “Setidaknya bisa menahan dua tebasan penuh sebelum pecah.”
Reinhanvert menoleh sedikit. “Kau terlalu percaya pada angka.”
Theo mengangkat bahu. “Dan kau terlalu percaya pada insting.”
Tak ada balasan.
Mereka masuk kembali ke ruang resepsionis. Seorang petugas muda mengenali keduanya seketika—keributan di toko senjata rupanya cepat menyebar.
“Ah, kalian kembali?” katanya sambil tersenyum kaku. “Dua anak muda yang belakangan ini ramai dibicarakan…”
Reinhanvert meletakkan kertas tanda terima perbaikan pedang lamanya di meja. “Kami akan mendaftarkan satu party.”
Resepsionis itu membuka buku pendaftaran, lalu matanya berbinar.
“Oh, jadi ini tim Black Fang yang Theo daftarkan tadi? Sudah terdengar juga di antara beberapa senior mercenary, lho… Katanya dua anak muda, satu misterius satu ambisius, bergabung dalam satu party. Menarik sekali.”
Reinhanvert hanya menangguk kecil.
Ruang pengumuman markas mercenary itu selalu ramai, tapi hari ini terasa agak berbeda. Beberapa kepala sempat menoleh ketika dua anak muda yang belakangan ini cukup sering dibicarakan berdiri di depan papan quest, memperhatikan kertas bertuliskan “Chaos Class Dungeon – North Vein Sector 6”.
Theo bersiul pelan. “Dungeon Chaos di North Vein… levelnya bukan main. Biasanya butuh lima sampai tujuh orang untuk itu.”
Reinhanvert hanya menyipitkan mata menatap detail informasi yang tertulis. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya ketenangan yang terasa terlalu dingin untuk usia mudanya.
“Ada keterangan tentang monster yang mendominasi?” tanya Reinhanvert datar.
Theo mengangguk setelah membaca cepat. “Kebanyakan type corrupted beast. Katanya mereka mirip reptil tapi punya struktur tulang dan kulit seperti batu. Daya tahannya tinggi, serangannya brutal, dan yang paling penting… mereka suka muncul bergerombol.”
“Formasi perang?” tanya Reinhanvert lagi.
Theo menggaruk belakang kepalanya. “Kita cuma dua orang. Nggak banyak formasi yang bisa dipakai... Tapi aku bisa jaga bagian belakang dan pengintaian. Serang frontal kayaknya lebih cocok buatmu.”
Reinhanvert mengangguk kecil, lalu menoleh. “Kalau kau mulai kesulitan, mundur. Jangan mati sia-sia.”
Theo tersenyum lebar meski nada Reinhanvert datar. “Tenang saja. Aku belum berniat mati sebelum tahu seberapa jauh kau bisa melangkah.”
Dari balik meja, resepsionis memperhatikan mereka lalu berdehem kecil.
“Kalian serius mengambil quest ini?” tanyanya, setengah tak percaya.
Reinhanvert menatapnya sejenak. “Kami sudah daftar party.”
Resepsionis mengangguk pelan, lalu mencatat sesuatu. “Baik, ‘Party Vert-Theo’... Chaos Class Dungeon, North Vein Sector 6. Semoga kalian kembali dengan utuh.”
Theo menyengir. “Kami bukan tipe yang mati konyol, nona.”
Resepsionis hanya tersenyum samar. “Bukan kalian yang saya khawatirkan… tapi dungeonnya.”
Dengan itu, dua anak muda itu pun meninggalkan markas. Langkah mereka pasti, mata mereka tak menunjukkan keraguan—hanya tekad dan ketenangan seorang pemburu. Di belakang, bisik-bisik para mercenary mulai terdengar, menyebut nama mereka dengan nada heran dan penasaran.
---
Langit sedikit mendung ketika Reinhanvert dan Theo meninggalkan gerbang kota. Jalanan tanah yang membentang ke arah utara masih lembap sisa hujan malam sebelumnya. Di sisi kiri-kanan, hutan lebat menyambut dengan desir angin dingin dan suara burung liar yang kadang terdengar samar.
Theo menatap langit sejenak sebelum bicara, “Aku dengar tempat itu sering diliputi kabut. Kadang bahkan tak bisa melihat sejengkal ke depan.”
Reinhanvert berjalan dengan tenang di depan, jubahnya berkibar lembut seiring langkah. “Itu hanya berarti kita harus mengandalkan insting lebih dari mata.”
Tak ada percakapan selama beberapa saat. Hanya suara sepatu yang menginjak tanah dan daun-daun kering, serta hembusan angin yang menggoyangkan ranting-ranting tua. Sesekali Theo melirik ke arah Reinhanvert, merasa heran pada betapa sunyinya aura anak itu. Tidak ada gelisah, tidak juga gugup—hanya ketenangan yang terasa seolah dia sudah melewati puluhan misi seperti ini.
“Aku masih tak percaya,” gumam Theo. “Baru kemarin kau ada di rank D… sekarang sudah B, dan langsung chaos dungeon pula.”
Reinhanvert tak menjawab. Tapi matanya tetap lurus ke depan.
“Setidaknya, kalau ini berjalan lancar,” lanjut Theo, “mungkin kita bisa langsung naik ke A-rank.”
“Hm.”
Theo terkekeh kecil. “Satu huruf, tapi auranya sudah seperti surat kematian.”
Mereka melintasi jembatan kecil dari kayu yang mengarah ke celah bebatuan. Suara aliran sungai di bawah mengiringi langkah mereka. Di kejauhan, kabut tipis mulai menggantung di antara pepohonan—tanda bahwa mereka sudah semakin dekat.
Setelah beberapa menit lagi berjalan, Reinhanvert berhenti di sebuah batu besar yang menghadap langsung ke area jurang kecil. Di sisi bawah sana, tampak celah hitam yang menganga, dengan energi gelap yang samar bergetar di udara.
“North Vein Sector 6,” gumam Theo. “Dungeonnya nggak terlalu besar… tapi yang Chaos Class biasanya punya ‘pintu dalam’.”
Reinhanvert menurunkan jubahnya, mengecek sarung pedang di pinggang. “Kita masuk. Jangan berpencar.”
Theo mengangguk, dan matanya menyipit serius. “Mulai dari sini, kita nggak cuma ngelawan monster. Tapi juga medan yang bisa nelen kita hidup-hidup.”
Keduanya pun mulai turun, menjejak tanah yang basah dan mulai meresap hawa yang menusuk ke dalam tulang. Di balik kabut itu, bahaya telah menanti.
---