Angin yang menerobos di antara celah-celah pepohonan tua membawa aroma tanah lembap dan kabut yang perlahan mengendap. Suasana menjadi sunyi, terlalu sunyi—seakan-akan semua makhluk hidup di sekitar memilih untuk menjauh dari tempat yang akan mereka tuju.
Langkah Reinhanvert dan Theo tak terburu-buru, namun pasti. Theo menyesuaikan tali busur panjangnya dan memasang tempat anak panah di punggung, membuat Reinhanvert menoleh sekilas.
“...Kau seorang pemanah?” tanyanya datar, namun terselip rasa penasaran.
Theo menyunggingkan senyum kecil. “Marksman, lebih tepatnya.”
“Padahal saat di markas, kau membawa pedang,” gumam Reinhanvert.
Theo mengangkat bahu, kemudian menjawab sambil tetap menatap ke depan, waspada terhadap setiap gerakan semak. “Kalau kau membawa busur dan anak panah di tengah kota, orang-orang akan memelototimu seakan kau pembunuh bayaran. Merepotkan. Pedang lebih... netral.”
Reinhanvert diam sebentar, lalu mengangguk kecil. “Masuk akal.”
“Lagipula,” lanjut Theo sambil merentangkan jari-jari tangannya seolah bersiap, “pedang itu hanya pelengkap. Kalau sampai aku harus menggunakannya, artinya situasinya benar-benar buruk.”
Mereka berdua pun melangkah lebih dalam, melewati gerbang alami yang terbentuk dari akar-akar pohon raksasa dan semak liar. Di balik gerbang itu—berdiri sebuah bukaan batu besar di lereng bukit yang tampak seperti rahang raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk.
Sebuah papan kayu tua tertancap miring di dekatnya, dengan tulisan memudar:
> “DUNGEON CLASS: CHAOS – MASUK DENGAN RISIKO SENDIRI”
Theo menelan ludahnya pelan. “Nah, kita sampai…”
Reinhanvert mendongak menatap bukaan itu. Dingin. Hampa. Namun samar, ia merasa hawa familiar menyambut dari dalam. Aura kekacauan, bau kematian, dan sensasi tajam yang menusuk nurani.
Tanpa bicara lagi, Reinhanvert menarik tudung jubahnya. Theo menyusul dengan menarik napas panjang lalu mengencangkan tali pelindung tangan dan kakinya.
“Mulai dari sini, aku akan lebih banyak bertanya padamu soal pergerakan musuh,” kata Reinhanvert datar.
Theo mengangguk penuh percaya diri. “Serahkan padaku. Aku akan memastikan punggungmu aman.”
Mereka pun melangkah masuk—ke kegelapan.
Baik, kita langsung sambung ke bagian dalam dungeon—tempat di mana kegelapan bukan hanya sekadar cahaya yang padam, tapi ruang hidup bagi sesuatu yang tak seharusnya ada.
---
Langkah mereka bergema pelan di dalam lorong batu yang sempit dan berkelok. Aroma besi berkarat dan kelembapan menyengat di udara. Cahaya dari kristal bercahaya yang menempel di dinding seperti bernyawa sendiri—redup dan berdenyut, seolah mengamati mereka.
Theo bergerak cekatan. Sesekali ia berhenti, berlutut, dan menempelkan telapak tangan ke tanah, merasakan getaran kecil di sekitarnya.
“...Ada sesuatu yang besar,” bisiknya. “Tapi bukan di dekat sini. Mungkin masih lima puluh meter ke depan.”
Reinhanvert tak menjawab. Tatapannya menembus kegelapan, tajam dan penuh waspada. Lalu langkahnya terhenti.
Dari bayang-bayang lorong yang lebih dalam, suara napas berat terdengar.
Lalu—gruuuuhhhh...
Seekor monster keluar dari balik tikungan.
Kepala singa dengan taring menjulur panjang. Tubuh besar seperti beruang, dilapisi bulu gelap dan otot menggelembung. Kakinya—lengan gorila dengan jari-jari runcing seperti sabit.
Mata merahnya menyala. Nafasnya mendesis. Dan aroma pembusukan yang berasal dari tubuhnya menyapu udara.
“Hybrid... bukan binatang biasa,” gumam Reinhanvert.
“Gila... makhluk kayak gini bukan harusnya muncul di dungeon Calamity?” Theo langsung mundur setengah langkah, mengambil posisi, dan menarik anak panah.
“Tak masalah,” bisik Reinhanvert. “Itu hanya... daging hidup.”
Dengan geraman keras, makhluk itu menerjang.
Tanpa aba-aba, Reinhanvert melesat ke depan, pedangnya menghunus dalam satu gerakan tajam—namun monster itu mengangkat salah satu lengannya dan menahan tebasan itu dengan kekuatan brutal.
Clangg! Suara logam bertemu tulang yang keras.
“Kau ke kiri!” teriak Reinhanvert.
Theo bergerak cepat. Tiga panah terlepas dari busurnya dalam sekejap. Dua menghantam bahu kiri monster itu, dan satu tepat ke arah matanya—namun hanya membuatnya menggeram kesakitan, tak tumbang.
“Cangkangnya keras!” seru Theo.
Reinhanvert menyempurnakan langkah kakinya, bergeser ke samping, lalu menusuk ke arah sela di bawah ketiak—satu titik lemah. Pedangnya tertanam setengah, namun makhluk itu justru mengamuk, mengayunkan kedua lengannya membabi buta.
Salah satu ayunan hampir menyambar Reinhanvert, namun ia melompat mundur dengan presisi.
“Lemah di bagian bawah leher,” ucap Theo sambil menarik panah lain. “Kalau bisa tahan gerakannya dua detik saja...”
Reinhanvert mengangguk pelan. “Dua detik cukup.”
Dengan satu tarikan napas, Reinhanvert menerjang lagi. Tangannya memutar pedang dengan teknik rumit, menggiring serangan monster itu agar terbuka. Tubuhnya menekuk, menghindari sabetan, lalu—
“Theo, sekarang!”
Panah dilepas. Udara berdesing. Ujungnya menghantam titik di bawah leher makhluk itu—dan menembus.
Monster itu meraung panjang, lalu tubuhnya roboh menghantam tanah, menciptakan getaran yang mengguncang dinding lorong.
Sunyi.
Theo berdiri terengah, menarik napas panjang dengan tubuh setengah membungkuk. Tatapannya jatuh pada sosok di sampingnya—Vert.
Pemuda itu berdiri tegak. Nafasnya tenang, tidak terburu, bahkan tak ada tanda bahwa ia merasa kewalahan. Tangan yang menggenggam pedang tetap mantap, tanpa gemetar sedikit pun.
“...Kau tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja bertarung,” gumam Theo.
Vert menoleh sedikit, menatap Theo dari ujung mata.
“Aku tidak mengeluarkan seluruh kekuatanku.”
“…Apa?” Theo mengangkat alis, bingung sekaligus penasaran.
“Pertarungan ini hanya pengujian. Aku ingin tahu... apakah kau layak dijadikan rekan.”
Theo menghela napas, setengah terkejut, setengah merasa diuji. “Ternyata aku memang sedang dinilai, ya...”
“Kalau kau mati terlalu cepat, perjalanan ini tidak akan ada artinya.”
Theo diam. Lalu tersenyum tipis.
“Kalau begitu, aku akan pastikan tidak mati dengan mudah.”
Vert tak menjawab, hanya kembali melangkah pelan melewati tubuh monster yang mulai membusuk. Namun, sorot matanya sejenak melirik Theo—bukan karena khawatir, melainkan menilai.
Sementara itu, dalam diamnya, Theo menatap punggung Vert.
(Orang ini... tidak hanya kuat. Ia memahami situasi, membaca ritme, dan memilih kapan harus menyerang. Ia tidak tergesa, tapi juga tidak pernah terlambat. Dalam waktu dekat, namanya pasti akan mengguncang dunia mercenary...)
(Dan aku ingin melihat ke mana ia melangkah.)
---
Langkah-langkah mereka kini memasuki wilayah yang lebih gelap. Aroma tanah basah dan logam tua mulai mendominasi udara. Dinding-dinding batu yang mengelupas ditumbuhi lumut dan bercak darah yang tak sepenuhnya mengering. Cahaya dari kristal penerang yang dibawa Theo memantul di mata Vert—dingin dan penuh kewaspadaan.
“Dungeon ini terasa... terlalu sunyi untuk kelas Chaos,” gumam Theo pelan.
Vert menunduk sedikit, mengamati jejak sepatu yang tertinggal samar di atas tanah lembap.
“Bukan sunyi... ini hening karena sudah ada yang dimangsa.”
Theo menelan ludah. Ia menyiapkan busur, menarik satu anak panah, tapi tidak menembak. Tangannya sigap, tapi tidak gegabah.
Langkah mereka menyusuri lorong bercabang, dengan bebatuan berserakan seolah ada sesuatu yang meledak sebelumnya. Di salah satu sisi, tampak reruntuhan patung makhluk bermahkota, wajahnya hancur separuh, seperti sedang menjerit dalam penderitaan abadi.
“Apa kau mendengar itu?” tanya Theo pelan.
Langkah Vert terhenti.
Dentuman lembut, lalu gesekan… suara rantai yang bergesek dengan tanah.
Langkah-langkah kecil, tapi berat. Seolah kaki yang menyeret tubuh yang tak lagi seimbang.
Dari balik gelapnya lorong, muncul sosok—makhluk setinggi manusia, bertubuh kurus namun ditumbuhi lapisan kulit keras seperti kerak tanah. Kepalanya menyerupai kadal tanpa mata, dan di punggungnya menjulur tulang panjang seperti tombak.
Theo bersiap menarik busur.
“Biarkan aku.”
Vert melangkah maju tanpa ragu.
Makhluk itu meraung dan melompat—cepat, lincah, dan liar.
Namun Vert tak bergeming. Saat makhluk itu mendekat…
ZRAKK!
Dalam satu ayunan, kepalanya tergelincir ke tanah. Tubuhnya menyusul jatuh sejenak kemudian.
Theo menatap itu semua dengan mata lebar. Vert menoleh sedikit.
“Aku ingin tahu… seberapa jauh mereka menyembunyikan makhluk seperti ini dalam dungeon sekelas Chaos.”
“…Kau terlihat terlalu tenang menghadapi sesuatu yang seharusnya mematikan,” gumam Theo.
Vert hanya menjawab dengan langkah tenang yang kembali maju, seolah tubuh monster itu hanyalah kerikil biasa di jalan.
Di belakangnya, Theo bergumam pelan.
“…Aku harus terus melihat sampai di mana ujung kekuatanmu, Vert.”
Langkah kaki mereka menyusuri lorong sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari batu sihir yang tertancap di dinding. Udara lembab menyatu dengan aroma darah yang mengering—tajam dan menusuk. Dinding-dinding batu dipenuhi goresan, cakar, dan serpihan senjata patah. Di sisi kanan, tubuh seorang mercenary tergeletak miring. Dadanya koyak, helmnya hancur, dan matanya masih terbuka, membeku dalam ekspresi ketakutan.
Theo berhenti. Tangannya terkepal.
“…Aku kenal dia,” ucapnya lirih. “Namanya Riko. Satu tim denganku dua tahun lalu… Selalu ceroboh, tapi anaknya baik.”
Vert tidak menjawab. Dia hanya melirik sekilas, lalu kembali berjalan. Tapi langkahnya tak lagi secepat tadi.
Beberapa jenazah lain ditemukan di sepanjang lorong. Ada yang tercabik, ada yang seolah tertelan separuh. Salah satunya masih menggenggam senjata, namun kepalanya telah lenyap.
Theo menunduk, rahangnya mengeras. “Mereka ini… mereka bukan orang sembarangan. Bahkan ada yang dari rank A…”
“Begitu banyak yang gugur… tapi kamu masih ingin mengira tempat ini sepadan dengan pertarungan biasa?” ujar Vert datar tanpa menoleh. “Jangan harap aku bisa selalu melindungimu.”
Theo mengangkat kepala. “Aku tidak minta dilindungi.”
“Kau tak perlu memintanya. Tapi tubuhmu akan memaksaku melakukannya jika kau lambat.”
Ucapan itu menampar keras, tapi benar. Theo menggertakkan gigi. “Tch… aku akan tunjukkan bahwa aku bisa berdiri di medan yang sama.”
Vert menoleh sedikit, menatap sekilas ke arah Theo. “Tunjukkan, jangan katakan.”
Mereka melangkah lebih dalam.
Langkah mereka terhenti. Aroma besi dan daging busuk memenuhi udara. Di sepanjang lorong dungeon yang mulai melebar, mayat-mayat mercenary tergeletak tak bernyawa—beberapa tercabik, sebagian lagi bahkan tak memiliki kepala.
Theo mendekat pada salah satu tubuh, matanya melebar.
"…Ini Gallard… dan itu Vino…"
Tangan si pemuda bergetar saat menutup mata rekannya. "Mereka pernah mengajak ku buat gabung tim waktu di cabang Arvold…"
Vert menatap dingin mayat-mayat itu, lalu tanpa banyak kata melangkah lebih dalam. Aura mencekam mulai terasa dari ujung lorong yang semakin gelap. Derap langkah mereka berirama pelan… sampai suara gemuruh terdengar.
GRUAAAAAARRRR!!
Puluhan monster menerobos dari lorong gelap—mereka tak punya bentuk yang sama, sebagian humanoid berbulu, lainnya seperti reptil berotot dengan taring runcing dan mata merah menyala. Gerombolan Chaos Beast.
“—Theo,” ucap Vert datar. “Jangan harap aku bisa melindungimu sepanjang waktu. Ini bukan tempat penitipan bayi.”
Nada suara itu dingin. Fakta yang menghantam telinga Theo keras seperti cambukan.
Theo mengatupkan rahangnya. “Sialan… dia lagi lagi meremehkan ku.”
Mereka bertarung. Theo menembakkan panah secara presisi, namun tiap monster yang tumbang, dua lainnya menggantikan. Tubuhnya mulai dilumuri luka, stamina terkuras. Busurnya retak, anak panahnya tinggal sedikit. Napasnya tersengal, matanya membelalak saat lima monster menyerbu bersamaan.
“...! Sial—!”
Cakar pertama bahkan nyaris menembus dadanya…
Namun saat itu—syuuut!
Lima kepala monster terlepas dalam sekejap. Darah menyemprot liar. Di udara, sebilah pedang berputar, menari lincah lalu kembali ke arah Vert, perlahan, lalu terhenti melayang tepat di sampingnya.
Theo menoleh, terengah, matanya menatap kosong.
“Itu… telekinesis?”
Vert menatapnya tanpa emosi, pedangnya sedikit retak.
“Aku tak sedang mengasuh bocah. Jadi bertarunglah… dengan keras.”
Kata-kata itu membakar emosi Theo. Rasa malu, tekanan, dan amarah karena tak berguna. Sementara rekannya begitu tenang, begitu dingin, dan kuat.
CRASH!! Seekor monster melompat, menyayat punggung Theo. Darah muncrat dari luka menganga. Namun ia tak tumbang. Dengan gigi terkatup, ia mencabut anak panah terakhir… dan melemparnya langsung ke mata si monster. Tumbang.
Nafasnya berat, eternal energy-nya mulai menggila. Seluruh tubuhnya bergetar. Luka di paha akibat gigitan tak bisa lagi berdiri kokoh. Namun ia bertahan.
Vert melihatnya. …Sudah saatnya.
Ia mulai mengurung auranya, menahan tekanan pedangnya. Memberi ruang. Dan Theo… mulai bersinar.
Aura samar membungkus tubuhnya. Eternal energy-nya tak lagi liar, tapi terpusat, menyatu dengan darah dan luka. Dia melolong dalam hati—bukan karena sakit, tapi karena… transendensi.
Ledakan kecil aura menyebar dari tubuhnya. Beberapa monster tersentak. Theo kembali berdiri—gemetar, berdarah, tapi… matanya menyala.
Vert menyentuh pundaknya.
“Duduk. Meditasi. Biar aku yang menghabisinya.”
Tanpa membantah, Theo menutup mata, duduk bersila meski darah masih menetes deras dari punggungnya. Meditasinya begitu dalam, energi mengalir liar di sekelilingnya.
Beberapa menit berlalu… dan akhirnya, Theo membuka mata. Luka-lukanya perlahan mulai sembuh, auranya lebih stabil—matanya menyala merah tajam. Nafasnya berat tapi penuh keyakinan.
“Puncak… marksman. 5 star…” bisiknya pelan.
Vert menoleh dengan senyum tipis.
“Selamat. Kau sekarang berguna.”
---
Langkah-langkah Vert menggema pelan di lorong dungeon yang mulai terasa lebih sempit. Dinding-dindingnya kini dipenuhi goresan tajam, seolah monster yang lewat sebelumnya tak hanya ingin melintas—tapi juga mencakar dunia.
Theo berdiri perlahan, tubuhnya masih dibasahi darah, napas teratur tapi dalam. Bekas luka di punggungnya masih terlihat samar, meski sebagian besar sudah pulih berkat aliran energy yang stabil dari proses terobosannya.
Vert tak menoleh, namun ia berbicara.
“Kau bangkit lebih cepat dari dugaanku.”
Theo mengangguk pelan. “Kalau aku masih lamban… mungkin aku sudah menjadi mayat di antara mereka.”
Diam sejenak. Hanya suara tetesan air dari langit-langit yang mengiringi langkah mereka.
“Apa kau mengenali lebih banyak dari mereka?” tanya Vert tanpa menoleh, matanya awas menatap ke depan.
Theo menunduk. “Beberapa wajah tak asing… satu di antaranya pernah menyelamatkanku dari sergapan goblin waktu itu. Tapi sekarang—mereka bahkan tak sempat mengangkat senjata.”
“Pantas atau tidak, itulah yang terjadi pada mereka yang gagal beradaptasi,” ucap Vert datar. “Tak ada yang adil di dalam tempat seperti ini.”
Theo menahan napas, menatap punggung Vert.
“…Apa kau tidak merasa bersalah? Setidaknya… sedikit saja?”
Vert menoleh setengah, sorot matanya tajam dan tajam.
“Jika rasa bersalah bisa membangkitkan orang mati, maka mungkin aku akan mempertimbangkannya.”
Hening kembali menyelimuti.
Namun suasana semakin menegang. Udara di sekitar mereka menebal, tekanan tak kasatmata seolah menguar dari dalam kegelapan. Beberapa tikungan ke depan, terdengar suara gemerisik aneh—seperti ranting patah, atau… tulang yang diinjak.
Theo mempererat genggaman pada busurnya. Vert berhenti dan mengangkat tangannya.
“Bersiaplah.”
Beberapa detik kemudian, dari arah kiri dan kanan lorong, puluhan mata menyala merah. Monster-monster dengan bentuk menjijikkan mulai bermunculan lagi—lebih banyak dari sebelumnya. Dan mereka… lapar.
Theo bergumam pelan. “Mereka… seperti tak ada habisnya.”
Vert menjawab dengan tenang, “Karena memang tidak. Kau harus mulai membiasakan diri.”
Gerombolan itu menyerbu.
Dan kali ini, tak ada kata mundur.
---
Tubuh-tubuh menjijikkan itu menerjang tanpa henti, mengoyak udara dengan raungan haus darah. Gigi bertaring, cakar panjang, tubuh yang membusuk—semuanya mendesak, seolah dunia sedang melemparkan seluruh kebencian neraka ke arah dua manusia di lorong sempit itu.
Vert melangkah ke depan, tangan kirinya mencengkeram pedang barunya yang mulai ternoda darah. Ia tidak berseru. Tidak berteriak. Ia hanya mengayunkan pedangnya—tajam, akurat, dan cukup untuk memutus kepala dalam satu tebasan.
Sementara itu, Theo berdiri beberapa langkah di belakang. Panah demi panah melesat dari busurnya, menembus mata, dada, dan tenggorokan makhluk-makhluk itu. Tapi meski anak panahnya menghujani udara, jumlah musuh tak kunjung surut.
Satu, dua, tiga makhluk berhasil lolos dari sapuan panah Theo. Mereka melompat ke arahnya.
"Awas!"
Theo memutar tubuh, menebas satu dengan pedangnya. Tapi cengkeraman lainnya mencakar bahunya, menyobek kulit dan mengucurkan darah.
"Akh…!" Theo mundur, napas memburu. "Kenapa… jadi terasa lebih berat?"
“Karena kau berada di ranah baru.” Suara Vert terdengar dari sisi kiri, diiringi suara tengkorak yang dihancurkan. “Tubuhmu belum terbiasa. Energy-mu masih mengamuk.”
Theo menggertakkan gigi. Eternal energy di tubuhnya memang seperti badai liar. Kekuatan barunya menolak untuk dikendalikan—ia seperti tengah menunggangi kuda liar di medan perang.
Panah… masih tersisa delapan… sial.
Satu monster mencoba menyerangnya dari belakang, tapi sebelum Theo sempat berbalik, pedang Vert sudah terbang melintas—menebas makhluk itu tepat di leher.
“Jaga ritmemu. Aku tidak mengasuh bayi di sini.” Ucapan itu dingin dan tajam.
Theo merasa darahnya mendidih, tapi bukan karena marah—melainkan karena malu. Kepercayaan dirinya runtuh. Ternyata… ranah baru bukan tentang kekuatan belaka. Ini tentang mengendalikan kekuatan itu. Dan sekarang, ia sedang diombang-ambingkan.
“Bertahanlah,” ucap Vert. “Kau harus membiasakan tubuhmu pada badai itu, atau mati bersamanya.”
Theo mengangguk pelan. Tidak membalas. Tidak mengeluh. Ia kembali menarik busurnya—meski tangannya mulai bergetar.
Pertarungan berlangsung hingga waktu terasa melar. Darah dan daging berserakan di sepanjang lorong. Tubuh Theo penuh luka, nafasnya memburu, namun matanya masih menyala. Di sisi lain, Vert berdiri tegak—pedangnya yang rusak meneteskan darah monster terakhir yang baru saja dia tebas.
Hening.
Udara kembali tenang… untuk sementara.
Theo terduduk. “...Sudah habis?”
“Untuk saat ini.”
Vert mengangkat pandangannya. Di ujung lorong yang kini sepi, berdiri sebuah gerbang batu raksasa. Ukirannya tua, dengan retakan-retakan yang seolah mengandung sejarah kelam. Di tengahnya… terpatri simbol tengkorak bersayap hitam.
“…Itu?” tanya Theo.
Vert mengangguk. “Boss area. Dan kita belum tahu siapa yang menunggu di dalam.”
Theo menelan ludah. “Aku belum pulih penuh, tapi…”
“Kita tidak akan masuk sekarang.” Vert memutar pedangnya, mengaitkannya ke punggung. “Kau butuh waktu menstabilkan energy-mu. Dan aku ingin masuk ke sana tanpa beban.”
Theo terdiam. Lalu perlahan berdiri. Luka-lukanya mulai mengering, tapi rasa frustrasi di dadanya belum surut.
Namun… ini baru awal.
Lorong sunyi itu menjadi saksi dua sosok yang bersiap menyongsong kegelapan yang lebih pekat.
---