Langkah mereka tertatih. Bau besi dan abu masih menempel di hidung, dan darah segar menetes perlahan dari luka-luka terbuka di sekujur tubuh mereka.
Reinhanvert memapah Theo yang setengah sadar. Nafas mereka berat, seperti setiap hembusan udara adalah perjuangan melawan kematian itu sendiri.
“Rein… Ganmurd…” Theo membuka suara di sela napas yang tercekat. “Yang kudengar dari mercenary rank atas… dia punya empat tangan… tubuh kurus… pucat… kaki laba-laba di punggungnya… dan mata yang tertutup…”
Reinhanvert hanya diam. Matanya tetap lurus ke depan, tapi ia mendengarkan.
“Tapi Ganmurd yang ini… dia bisa pakai akar… Akar yang aneh… Seolah… itu bukan kekuatannya sendiri…” Theo melanjutkan, raut wajahnya menahan rasa sakit. “Mungkinkah ini versi boss dari yang mereka ceritakan?”
“…Mungkin,” Reinhanvert menjawab pelan. “Atau dia bukan monster biasa. Dungeon ini… kelasnya Chaos. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini…”
Ia terdiam sejenak. Di dalam kepalanya, muncul satu pemikiran yang menusuk:
“Kalau monster seperti itu bukan boss dari dungeon kelas Calamity… lalu seperti apa monster yang benar-benar ada di Calamity?”
Tangan Reinhanvert mengepal. Darah menetes dari sela jari. Ia terlalu lemah. Dan itu tidak bisa diterima.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara geraman menyambut dari balik kabut. Beberapa monster yang selamat dari kekacauan sebelumnya kini memburu mereka.
“Brengsek…” Reinhanvert bergumam pelan, lalu segera menggendong Theo ke punggungnya. “Pegangan. Kita tak mungkin bisa melawan mereka dalam kondisi begini.”
Mereka berlari. Meski tubuh Reinhanvert sendiri sudah hampir tumbang, ia memaksa setiap ototnya untuk bergerak.
Mereka kembali ke ruangan boss tempat Ganmurd dikalahkan. Keadaan sudah kacau, reruntuhan berserakan, dan debu masih menggantung di udara. Reinhanvert menajamkan indranya dengan sisa eternal energy—setipis benang kesadaran.
"Fokus. Hanya satu hal yang perlu kau cari: jalan keluar."
Matanya menangkap sesuatu—celah kecil di balik singgasana besar yang tadi dihancurkan dalam pertarungan.
Tanpa pikir panjang, ia menembus celah itu. Tapi baru beberapa langkah, dinding buntu menghadang.
“Tidak…” Reinhanvert mendekat, lalu menyentuh dinding itu.
Keras. Tapi…
“…kopong.”
Tanpa ragu, ia menghimpun sisa eternal energy-nya. Tubuhnya gemetar karena sisa vitalitas yang dipaksa menyatu. Ia menghantam dinding itu—meledakkan energi terakhir dalam genggamannya.
BOOM!!
Celah terbuka. Namun pada saat bersamaan, suara geraman semakin dekat. Tak ada waktu. Reinhanvert membalik tubuhnya, menghimpun semua eternal energy yang tersisa, dan—
Ledakan kedua.
Dinding runtuh dan menutup celah masuk. Tapi kekuatannya terlalu besar. Keduanya terpental ke dalam ruang yang baru terbuka.
Mereka jatuh.
Dan gelap menyambut mereka.
---
Senyap. Hening. Dingin.
Reinhanvert tenggelam dalam hitam pekat. Tak ada rasa sakit. Tak ada suara. Hanya… kenangan.
“Ayah… Ibu…”
Senyum hangat. Meja makan. Tawa kecil.
Lalu berubah.
Darah. Api. Jeritan. Mata ibunya yang terbuka, membeku tanpa nyawa. Ayahnya berdiri di hadapan para pengkhianat, tubuhnya penuh luka, tapi masih berdiri… masih memegang pedangnya.
“Pedang adalah kehormatan, bukan alat balas dendam, anakku…”
Jeritannya membelah kegelapan.
“AAAAAAAAARRRGHH!!”
Mata Reinhanvert terbuka. Nafasnya memburu. Peluh membasahi tubuh yang tak lagi bisa dibedakan antara luka dan darah.
“Ah, akhirnya kau bangun juga,” suara Theo terdengar, lemah tapi utuh.
Reinhanvert menatap sekeliling—gelap. Sangat gelap.
“Tenang… ini aku. Di sini memang tak ada cahaya. Kau pingsan cukup lama,dan aku ingin menyampaikan sesuatu,” kata Theo lagi.
Reinhanvert menarik napas dalam-dalam, lalu menutup matanya.
“Tenang… tenanglah…”
Ia mulai mengalirkan eternal energy untuk memulihkan dirinya. Perlahan tapi pasti, rasa sakit di permukaan kulit mulai reda. Luka luar membaik. Tapi luka dalam… terlalu parah untuk dipaksakan.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya lebih stabil. Ia membuka mata lagi.
“Kau bilang tadi… kau mau katakan sesuatu?” tanyanya pelan pada Theo.
Theo hanya tersenyum kecil. “Pertajam matamu. Gunakan eternal energy. Fokus ke sekitarmu.”
Reinhanvert menurut. Ia mengalirkan energy ke retina, menajamkan penglihatannya.
Lalu… ia melihatnya.
Dinding yang dipenuhi urat mineral berkilau. Kristal dengan pola langka. Sebagian dari mereka bahkan mengandung reaksi energi murni.
“Ini…”
Matanya membelalak.
Mineral langka. Dalam jumlah besar. Di satu tempat yang tersembunyi dari segalanya.
Senyap menguasai mereka berdua.
Sampai akhirnya Reinhanvert tersenyum tipis—untuk pertama kalinya sejak pertarungan itu dimulai.
Mantap, berarti konsep batunya bisa lebih dalam: Reinhanvert merasakan resonansi antara eternal energy miliknya dan batu hitam itu. Ini bisa jadi petunjuk bahwa batu tersebut bukan sekadar bahan biasa, tapi bisa jadi bahan inti senjata pribadi yang sempurna untuk dia. Kita bisa bangun aura misterius dan penting dari batu itu secara perlahan.
Aku langsung bikinin narasi gaya novel berdasarkan alurmu, dibagi ke dua bagian biar lebih enak dibaca dan punya pacing yang bagus. Kita mulai dari Bagian 1: Penemuan Mineral & Keluar dari Dungeon, oke?
---
Udara di celah sempit itu tak berubah. Bau tanah, kelembapan, dan darah yang mulai mengering memenuhi rongga paru-paru mereka. Reinhanvert menutup matanya sejenak, mengatur napas dan menyelaraskan tubuhnya. Sementara itu, Theo, yang kehabisan anak panah sejak beberapa saat lalu, hanya bisa bersandar dan memandangi sekeliling.
"Aku mengenali beberapa mineral," ujar Reinhanvert pelan, membungkuk ke tanah dan mulai memilah serpihan batu yang tersebar.
"Serius? Yang mana?" Theo menghampiri.
"Titanite biru... itu langka. Dan yang ini, shard mana-absorber, tapi belum sempurna. Yang ini, bahkan bisa ditukar dengan 300 gold di pasar pusat." Jemari Reinhanvert bergerak cepat, teliti, seolah ia terlahir untuk membaca bebatuan.
Theo terdiam sejenak, kagum bukan main. Tanpa banyak tanya, dia merogoh kantong anak panahnya yang kosong dan mulai membantu Reinhanvert mengumpulkan mineral pilihan itu.
Hingga pandangan Reinhanvert berhenti pada sesuatu—sebuah batu hitam legam, tertanam di sela-sela pecahan dinding. Permukaannya berkilau halus, tapi bukan seperti batu mulia. Ada sesuatu yang lain... sesuatu yang aneh.
Dia mendekat, mengulurkan tangan.
Saat jemarinya menyentuh permukaan batu itu, tubuhnya terdiam. Sebuah sensasi samar menyusup ke dalam kulitnya. Bukan rasa dingin atau panas... melainkan resonansi. Seolah sesuatu di dalam batu itu bersenandung dalam irama yang sama dengan eternal energy miliknya.
Batu itu terasa berat, padat, dan sangat keras. Tapi Reinhanvert tahu... dia harus membawanya.
"Yang ini... aku belum tahu apa, tapi simpan." suaranya berat.
Theo hanya mengangguk dan memasukkannya ke dalam kantong sisanya.
Tak lama kemudian, setelah kantong Theo penuh dan bahkan tangan kirinya kesulitan menahan semua mineral, Reinhanvert berdiri.
"Kita keluar. Aku yang buka jalan, kau jagain semua ini."
Tanpa ragu, Reinhanvert menyingkirkan puing-puing yang tadi ia tumpuk untuk menyegel celah. Udara dari luar mulai meresap masuk.
Begitu mereka keluar, beberapa monster langsung menyerbu. Tapi kali ini... Reinhanvert telah memulihkan dirinya. Tubuhnya kembali lentur, dan pandangannya tajam seperti kilatan petir.
Dua, tiga, lima monster tumbang dalam waktu singkat. Tak satu pun menyentuh Theo.
Saat Reinhanvert melewati reruntuhan yang dulu menjadi altar Beast King, ia melihat tubuh raksasa itu masih terkapar di sana. Tak ingin kehilangan bukti, ia melangkah, menebas leher makhluk itu tanpa banyak suara. Darah masih mengalir hangat saat ia mengangkat kepala sang raja binatang.
"Ini cukup," gumamnya.
Mereka pun meninggalkan dungeon itu.
Namun, saat mata mereka menatap langit dan sinar mentari menyambut, pandangan mereka tertumbuk pada sekelompok orang yang berdiri di mulut dungeon. Mercenary—belasan jumlahnya, bersenjata lengkap dan raut wajah waspada.
Salah satunya melangkah maju, menatap mereka lekat-lekat.
"...Tidak mungkin."
Reinhanvert dan Theo saling menoleh. Mereka bingung.
"Apa yang terjadi?" tanya Reinhanvert tajam.
Salah satu mercenary lainnya mendekat. "Ikut kami. Akan ada penjelasan di markas. Dan... kami juga sediakan kantong untuk mineral yang kalian bawa."
---
Oke, bagian tentang Red Moon akan gue skip dulu. Jadi kompensasi Reinhanvert hanya berupa naik ke Rank-A dan 65.000 gold tanpa menyentuh informasi rahasia dari Red Moon. Berikut versi revisinya:
---
Bab 6 – Harga dari Neraka
Langkah Reinhanvert dan Theo menggema di dalam markas mercenary. Luka-luka di tubuh mereka belum sepenuhnya mengering, bau darah dan busuk masih melekat di kulit dan pakaian. Namun tak satu pun dari mereka menunjukkan tanda menyerah.
Begitu mereka melewati pintu utama, percakapan di ruangan itu berhenti. Sunyi seketika.
Beberapa mercenary menoleh. Lalu bisik-bisik terdengar pelan.
> “Itu... mereka yang pergi ke dungeon timur, bukan?”
“Mereka hidup?”
“Kukira tempat itu sudah menjadi... neraka.”
Resepsionis wanita paruh baya dengan rambut diikat rapi berdiri tergesa dari balik meja saat melihat mereka.
“Selamat kembali,” ucapnya, terkejut. “Kalian sungguh berhasil kembali hidup-hidup?”
Theo menyipitkan mata. “Mengapa terdengar seolah kau tak percaya kami bisa keluar dari sana?”
Wanita itu menarik napas dalam-dalam. “Kami baru saja menerima kabar terbaru. Dungeon tempat kalian masuk telah berevolusi... memancarkan aura menyesakkan dan mematikan. Tanaman di sekitarnya menjadi layu, beberapa bahkan berubah menjadi beracun. Klasifikasinya kini naik menjadi semi-calamity.”
Seluruh ruangan terdiam. Beberapa orang saling pandang, yang lain menelan ludah.
“Beberapa orang memang pernah masuk ke dalam sebelumnya,” lanjutnya. “Namun... tak ada satu pun yang kembali.”
Theo mengepal tangan, suaranya datar namun mengandung bara.
> “Dan mengapa saat kami menerima misi itu, tidak ada satu pun dari kalian yang menyampaikan informasi tersebut?”
Resepsionis itu menunduk, sedikit gugup. “Saat itu kami belum menerima laporan resmi. Misi masih diklasifikasikan sebagai investigasi biasa. Kami... tidak menyangka kondisinya akan seburuk itu.”
Theo menghela napas tajam. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, Reinhanvert menyentuh bahunya, menahannya.
“Sudah,” katanya pelan namun tegas. “Apa kompensasi yang akan kami terima?”
Wanita itu mengangguk, kembali ke balik mejanya, mengambil beberapa dokumen.
“Setelah dilakukan peninjauan ulang atas misi tersebut... Theo, kau akan tetap berada di Rank-B, sesuai peringkat awalmu. Namun sebagai bentuk kompensasi tambahan, markas memberikan 20.000 gold.”
Theo hanya mengangguk ringan. “Baik.”
“Dan untuk Reinhanvert...” sang resepsionis menatapnya lebih lama. “Kau resmi dinaikkan ke Rank-A. Sebagai tambahan, kau menerima kompensasi penuh: 65.000 gold.”
Reinhanvert mengangguk dan menandatangani berkas.
Setelah pemberian kompensasi selesai, Reinhanvert membuka tas kulit kecil di pinggangnya. Ia mengeluarkan sebuah batu hitam pekat, lalu meletakkannya di atas meja.
Namun, sebelum sang resepsionis menyentuhnya, Reinhanvert sudah bicara duluan.
> “Yang ini bukan untuk dijual. Aku hanya ingin tahu... seberapa tinggi nilai mineral ini.”
Resepsionis mengangguk pelan dan menyentuhnya dengan ujung jari. Wajahnya langsung berubah, matanya sedikit melebar.
> “Ini... bukan mineral biasa. Struktur padatnya sempurna. Seolah ia menyatu dengan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar energi. Tapi... rasanya bukan mana.”
Reinhanvert tidak menanggapi. Ia hanya mengambil kembali batu itu dan menyimpannya dengan hati-hati.
> “Aku akan buat senjata darinya.”
Theo kemudian mengeluarkan batu-batu kecil berwarna merah tua dan keunguan dari dalam kantong kulit yang disandang di punggungnya.
> “Yang ini bisa kalian nilai. Aku menemukannya saat di dasar dungeon.”
Resepsionis memeriksa cepat, lalu mengangguk mantap.
> “Ini mineral murni yang sudah mengkristal. Nilainya tinggi. Jika kau setuju, markas bisa membayar 50.000 gold untuk semuanya.”
Theo melirik Reinhanvert, dan yang ditatap hanya mengangguk sekali.
> “Jual saja,” kata Reinhanvert.
Resepsionis segera menyerahkan kantong emas besar ke tangan Theo.
---
Sebelum mereka sempat melangkah keluar dari markas, Reinhanvert menoleh kembali ke meja resepsionis.
> “Aku butuh dua potion pemulihan tingkat tinggi. Yang mampu menyembuhkan luka dalam.”
Sang resepsionis wanita mengangguk tanpa banyak tanya. Ia berbalik, membuka laci khusus dan mengeluarkan dua vial kristal berisi cairan berwarna merah gelap yang memancarkan kehangatan samar.
> “Ini—efeknya cepat dan tidak meninggalkan residu. Tapi harganya, tentu saja, tidak murah.”
Reinhanvert menerima vial pertama, lalu yang kedua ia ulurkan kepada Theo.
> “Minumlah. Luka dalammu belum benar-benar pulih,” ucapnya datar.
Theo menatap vial itu sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan meminumnya bersamaan dengan Reinhanvert. Sensasi hangat menyebar dari tenggorokan ke dada—nyeri otot dan luka tersembunyi terasa menghilang perlahan.
Sang resepsionis menyeringai kecil.
> “Harga per vial: 55 gold.”
Reinhanvert tak menawar. Ia langsung meletakkan 110 gold di atas meja tanpa sepatah kata pun.
> “Satu hal lagi,” katanya sebelum berbalik. “Aku mencari pengrajin senjata terbaik di kekaisaran Drucall.”
Resepsionis mengangkat alis, tampak berpikir sejenak.
> “Jika Tuan hanya mencari kualitas tinggi, banyak bengkel terkenal tersebar di ibu kota dan kota-kota besar. Tapi jika Tuan menginginkan hasil yang benar-benar sempurna…” Ia menunduk sedikit dan melanjutkan, “…dulu ada satu tempat yang sangat terkenal. Kualitasnya tak tertandingi. Tapi kini tempat itu sepi karena sifat pemiliknya yang… kurang ramah.”
> “Lokasinya?” tanya Reinhanvert singkat.
> “Pusat kota. Tak jauh dari distrik logam. Tapi bersiaplah—pemiliknya tak melayani siapa pun dengan murah hati. Namun, jika Tuan bisa membuatnya tertarik… ia mungkin akan mengerahkan seluruh kemampuan.”
Reinhanvert hanya mengangguk.
> “Kalau begitu, nanti aku akan pergi ke sana.”
Setelah itu barulah mereka meninggalkan markas mercenary—menuju toko pakaian untuk membersihkan diri dari darah dan debu pertempuran sebelum melangkah ke tempat makan daging yang dituju.
---
Mereka berjalan menyusuri jalanan kota, diapit gedung-gedung rendah dan kios dagang yang mulai sepi menjelang senja. Bau besi, keringat, dan kotoran monster masih melekat kuat di pakaian mereka—mereka tampak seperti dua sosok yang baru pulang dari neraka.
Reinhanvert menghentikan langkahnya di depan sebuah toko pakaian sederhana, bertuliskan “Gart’s Tailor”. Ia mendorong pintu kayu tua itu, dan lonceng kecil di ambang pintu berbunyi pelan.
Seorang pria paruh baya dengan rambut kelabu muncul dari balik tirai kain.
> “Tuan-tuan… ingin mengganti pakaian tempur barangkali?”
> “Ya. Kami butuh sesuatu yang bersih. Tak perlu mahal—yang penting nyaman dan tidak mengganggu gerakan,” ujar Reinhanvert tenang.
Theo menyela dengan senyum kecil.
> “Kalau bisa yang agak longgar… dan tidak terlalu mencolok. Aku sudah cukup menarik perhatian hari ini.”
Penjahit itu mengangguk, lalu membawa mereka ke ruang belakang. Mereka masing-masing diberikan pakaian kasual—kemeja berwarna gelap, celana berbahan kuat, dan mantel tipis yang ringan namun tahan angin. Saat mereka berganti dan keluar dari ruang ganti, bau besi darah akhirnya menghilang.
Reinhanvert membayar tanpa menawar.
> “Terima kasih. Kami tak akan lama,” katanya singkat sebelum keluar.
Langit sudah menguning keemasan saat mereka akhirnya tiba di depan sebuah warung daging panggang. Asap tipis mengepul dari tungku batu di bagian luar, mengundang aroma gurih yang menusuk hidung. Perut Theo berbunyi lirih—ia tertawa kecil dengan wajah malu.
> “Kita masuk… sebelum aku pingsan di sini.”
Reinhanvert hanya mengangguk pelan.
Mereka membuka pintu, dan hangatnya udara di dalam menyambut tubuh lelah mereka. Aroma daging dibakar dengan bumbu pedas dan minyak hewan memenuhi ruangan. Tak ada yang berkata-kata. Hanya ada langkah pelan menuju meja kayu, dan pandangan yang sama-sama tertuju pada tungku panggangan.
---
Suara hiruk pikuk memenuhi ruangan, aroma daging panggang memenuhi udara, menggoda selera siapa pun yang melangkah masuk. Tempat makan ini terkenal di kalangan mercenary, bukan hanya karena cita rasa dagingnya, tapi juga karena harganya yang tak murah—tempat ini adalah surga bagi para pejuang yang baru kembali dari ujung maut.
Reinhanvert dan Theo memilih duduk di sudut ruangan yang agak sepi. Tak lama, seorang pelayan datang menghampiri dengan senyum profesional.
"Selamat datang, para pahlawan muda. Apa yang bisa kami sajikan hari ini?"
Theo menjawab dengan semangat, nyaris berdiri dari kursinya. "Dua porsi besar daging panggang spesial, satu sup tulang penuh rempah, dan... ah, satu piring roti bawang. Oh! Dan dua gelas besar bir dingin!"
Reinhanvert hanya mengangguk pelan. "Serahkan saja padanya."
Pelayan itu tertawa ringan. "Baiklah, pilihan yang sangat tepat."
Begitu pelayan itu pergi, Reinhanvert menyenderkan punggungnya ke kursi. Tapi belum sempat menutup mata, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah tekanan halus namun sangat jelas menyentuh permukaan kesadarannya. Aura.
Bukan aura biasa. Ini adalah aura dari seseorang yang telah mendekati puncak dunia pertarungan fisik.
Matanya perlahan menyapu ruangan. Di sisi timur, ada satu kelompok duduk dengan formasi rapi, mengenakan armor dan mantel biru laut yang elegan. Perlengkapan mereka tidak dibuat sembarangan—setiap detailnya menunjukkan status dan kekuatan.
Blue Ocean.
Ordo utama dari keluarga Duke Atarixia. Pasukan elit yang hanya digerakkan dalam misi-misi kaliber tinggi.
Dan di antara mereka duduk seorang perempuan muda, rambut peraknya tergerai anggun, matanya tajam namun tak kehilangan kelembutan. Luna Atarixia. Pemimpin ordo. Dan sosok yang dulu, hanya bisa ia lihat dari jauh.
Aura ini... tidak mungkin salah. Puncak Swordgrandmaster, dan mungkin tinggal satu langkah lagi menuju Divine.
Sejenak, mata Luna beralih. Hanya sedetik, hanya sebatas lirikan cepat. Tapi cukup untuk membuat salah satu anggota ordonya bersuara.
"Ketua, kau dilirik orang!"
Yang lainnya ikut terkekeh. "Mana yang berani-berani lirik Ketua kita? Pasti salah lihat."
Luna tersenyum tipis, menunduk sebentar. "Jangan ganggu orang lain, jaga sopan santun."
Tapi benaknya sedikit terusik. Ada sesuatu dari pria itu—tatapannya tidak asing. Auranya kuat, namun asing. Tapi... ada jejak yang pernah ia kenal.
Reinhanvert menunduk lagi. Di balik tatapan tenangnya, pikirannya bergolak.
"Dulu, kau berdiri dua bintang di atasku. Sekarang, jaraknya mungkin lebih jauh. Tapi akan tiba saatnya aku melampaui itu."
"Dan jika kau telah membusuk bersama kekaisaran… maka aku akan menjatuhkanmu dengan tanganku sendiri."
Sementara itu, makanan mereka datang. Theo langsung menyambut dengan ekspresi berbinar, mencicipi dengan semangat dan sesekali berseru kegirangan. Reinhanvert mengunyah dengan tenang, meski pikirannya masih belum lepas dari tatapan itu.
Dan Luna, sebelum kembali menatap piringnya, sempat membatin pelan.
"Siapa kau? Mengapa aku merasa... pernah melihatmu sebelum dunia ini jatuh ke jurang tipu daya?"
---