CHAPTER 14 - Renungan

Langit mulai beranjak gelap saat Reinhanvert dan Theo melangkah keluar dari restoran. Lampu-lampu si jalan menyala satu per satu, membentuk bayangan panjang dari langkah mereka yang beriringan. Aroma rempah dan daging panggang masih melekat di udara, menyisakan kehangatan setelah makan malam yang cukup layak bagi dua pengembara.

Theo, dengan raut wajah puas, menepuk perutnya ringan. “Makanannya enak. Tapi yang lebih mengejutkan... aku tadi melihat lambang ordo Blue Ocean.”

Reinhanvert menoleh sedikit, alisnya terangkat tipis. “Kau mengenali lambang itu?”

Theo mengangguk, matanya mengarah pada gedung restoran yang kini perlahan mulai sepi. “Sulit untuk tidak mengenalinya. Blue Ocean, ordo utama dari keluarga Atarixia. Aku hanya pernah mendengar namanya dari para mercenary... tapi tak pernah membayangkan bisa melihat mereka langsung. Apalagi—”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan.

“Apalagi melihat pemimpinnya. Luna Atarixia... mereka bilang dia sudah berada di puncak Swordgrandmaster. Katanya, satu langkah lagi menuju ranah divine.”

Reinhanvert tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, namun jelas pikirannya tersangkut pada sosok itu—seseorang dari masa lalu.

Theo menarik napas panjang. “Andai aku sekuatmu, Vert… aku pasti akan melakukan segala cara untuk masuk ke ordo sekelas itu. Bukan demi kekuasaan… tapi demi pengakuan.”

Langkah Reinhanvert terhenti. Ia menoleh, matanya menatap Theo dengan tatapan datar namun tidak dingin. Theo menggenggam erat sarung tangannya sendiri, seperti menahan sesuatu.

“Aku tak pernah bercerita soal ini, kan?” ucapnya pelan. “Aku dibesarkan di tempat penampungan negara. Daycare murah. Kau tahu... tempat di mana anak-anak buangan dikumpulkan agar tetap hidup. Tapi hidup di sana bukan berarti dihargai.”

Ia mengangkat kepala, menatap langit.

“Anak-anak di sana… menjadikan aku sasaran. Aku paling lemah. Setiap kali mereka marah, kesal, atau bosan... aku yang mereka cari. Dan para pengasuh hanya berkata, ‘Itu hal biasa di kalangan anak-anak.’”

Matanya menajam, bukan karena marah… tapi karena luka yang lama.

“Tak ada yang memilihku. Setiap bulan, anak-anak lain diadopsi. Tapi aku selalu tertinggal. Pada akhirnya, aku belajar diam-diam. Mengukir busur dari ranting, membuat anak panah dari kawat bekas. Kadang mencuri sendok rusak dari dapur untuk kujadikan pisau kecil. Aku pikir, kalau aku kuat... mereka akan melihatku.”

Theo tertawa kecil. Pahit.

“Ternyata tidak semudah itu. Begitu aku cukup umur, aku kabur dari tempat itu. Kupikir petualangan akan membebaskanku. Tapi aku nyaris mati hanya karena monster kelinci sialan.”

Reinhanvert tetap diam. Matanya tidak berkedip.

“Aku coba masuk ke ordo kesatria kecil. Semua menolakku. Lalu aku datang ke markas mercenary. Tak ada pilihan lain. Aku mulai dari bawah. Dari menangkap tikus, berburu kelinci, hingga akhirnya naik dari F ke B rank.”

Ia menunduk. “Aku bangga... atau setidaknya ingin bangga. Tapi bahkan setelah itu, ordo-ordo tetap memandangku kotor. Katanya, mercenary cuma tahu uang. Tak punya nilai. Tak layak disebut kesatria.”

Theo menghela napas. Matanya kini menatap Reinhanvert dengan sorot dalam.

“Sampai aku mendengar nama 'Vert'. Seorang pemula misterius di markas mercenary yang bisa mengalahkan monster kelas dangerous seorang diri. Awalnya aku pikir cuma rumor. Tapi saat aku melihatmu—dan bagaimana kau bergerak—aku tahu… kau bukan sembarang orang.”

Ia tersenyum kecil.

“Jadi kupikir, kalau dunia tak mau mengakuiku… maka aku akan berjalan bersama orang yang bisa mengubah dunia.”

Sesaat, hanya suara angin malam yang menjawab. Reinhanvert menatap langit, lalu menunduk perlahan. Angin meniup rambutnya yang kusut.

“Kau sudah berjalan lebih jauh daripada yang mereka semua bayangkan, Theo,” ucap Reinhanvert. Suaranya rendah namun mantap. “Jika mereka menutup pintu, maka hancurkan dindingnya. Dan kalau tak ada yang mengakuimu—maka buat mereka menyesal tak pernah melihatmu.”

Theo terdiam. Perlahan, dia mengangguk. Ada api kecil yang menyala di balik matanya.

Malam semakin larut. Tapi di antara dua orang itu... langkah mereka baru saja dimulai.

---

Mereka pun sampai di penginapan....

Malam menyelimuti kota dengan diam yang menggantung. Reinhanvert duduk di sisi ranjang kayu, memandangi jendela kecil yang menghadap langit gelap tak berbintang. Di luar sana, dunia terus berjalan, tapi pikirannya tertahan pada satu sosok.

Luna Atarixia.

Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu—terlalu lama. Reinhanvert masih mengingat tatapan lembut itu, senyum sederhana yang dulu menjadi secercah cahaya di tengah akademi yang kejam. Tapi kini... ia tak bisa memastikan.

“Apakah kau masih sama, Luna? Masih memandang orang lemah sebagai manusia... atau kau sudah berubah seperti mereka?”

Ia mengepalkan tangan.

Lambang Blue Ocean di jubah Luna, aura tenang namun menekan dari langkahnya, dan penghormatan yang diberikan para kesatria di sekitarnya—semua itu menegaskan satu hal: jarak mereka kini terlampau jauh.

Bukan hanya secara status.

Namun kekuatan.

“Duke Simon… ranah divine. Demikian juga Duke Atarixia. Dua Swordgrandmaster di level 9-star.”

Pikirannya melayang ke Duke Novatra—divine mage, pengguna 9-circle, dan…

Duke Marbas.

Pengkhianat.

“Bahkan dia pun… telah mencapai ranah divine.”

Kenyataan itu seperti batu dingin yang menekan dadanya. Ia mungkin telah keluar dari jurang, menantang iblis dan undead demi bertahan hidup. Tapi dunia di atas tanah ini—tempat para bangsawan dan monster dalam wujud manusia berjalan bebas—masih terlalu jauh dari jangkauannya.

“Dengan kekuatanku sekarang… menghadapi Luna saja mungkin belum tentu bisa menang. Apalagi melawan dua Swordgrandmaster dan dua Archmage level divine…”

Ia menunduk. Bahunya kaku. Tapi bukan karena takut.

Namun karena tekad.

“Aku harus lebih kuat. Apapun yang terjadi… aku harus melampaui mereka.”

Matanya menatap bayangan samar pada kaca jendela. Sorotnya penuh bara.

Lalu sebuah ide muncul.

“Pengrajin itu… satu-satunya yang bisa membuatkanku senjata yang layak. Aku harus menemuinya. Besok pagi, aku akan berangkat ke ibu kota kekaisaran.”

Perlahan, Reinhanvert bangkit. Ia melepas mantel, menaruh pedangnya di sisi tempat tidur. Tapi bahkan ketika tubuhnya rebah, pikirannya masih jauh dari kata tenang.

Karena inilah kenyataan dunia.

Yang lemah akan diinjak. Yang kuat akan dihormati.

Dan jika ia ingin mengubah alur dunia, maka ia harus menjadi yang terkuat—bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mengakhiri rantai yang telah membunuh keluarganya.

---