CHAPTER 15 - Bayangan di bawah cahaya

Keesokan paginya, Reinhanvert telah bersiap. Ransel kecil berisi bekal seadanya, pedang yang terselip di pinggang, dan tatapan tajam yang menembus cakrawala. Sebelum berangkat, ia menatap ke arah Theo yang tengah melatih bidikan panahnya.

“Theo,” ucapnya tenang, “kau mau ikut?”

Theo menoleh. Nafasnya belum teratur, tapi matanya tak ragu. “Tentu saja. Kita sudah buat kontrak squad. Aku takkan membiarkanmu pergi sendirian.”

Tak perlu banyak kata. Mereka mengangguk satu sama lain. Perjalanan pun dimulai.

Mereka menyewa jasa karavan lokal yang beroperasi di wilayah Baron Norht. Karavan itu sederhana, ditarik oleh dua ekor kudanaga kecil yang tak lagi muda, tapi masih cukup cepat menempuh jalanan berbatu menuju ibu kota kekaisaran.

Namun baru beberapa jam perjalanan, Reinhanvert mengernyit. Matanya menatap ke kejauhan. Ada energi… yang saling berbenturan. Bukan benturan biasa. Ini benturan aura para pendekar tingkat tinggi.

“Hentikan karavan,” perintahnya cepat. Tanpa banyak bertanya, kusir langsung menarik tali kekang. Reinhanvert dan Theo segera melompat turun.

“Kau merasakannya?” tanya Reinhanvert.

Theo mengangguk sambil mengatur nafas, “Tapi... kau terlalu cepat.” Tubuhnya belum terbiasa dengan tekanan energi tingkat tinggi yang kini memenuhi udara.

Tanpa menjawab, Reinhanvert sudah melesat lebih dulu.

Dan di sanalah mereka melihatnya. Seorang lelaki dikeroyok tiga orang knight berseragam putih-emas. Bukan sembarang knight—itu adalah anggota Ordo Sunrise, ordo utama kekaisaran. Tapi yang dikeroyok...

Reinhanvert membelalak.

Tubuh kecil tapi kekar. Rambut kuning menyala. Dua pedang di tangan. Tatapan tajam mata oranye menyala dalam amarah.

“...Ragnar,” bisik Reinhanvert. “Wakil pemimpin Ordo Solar Eclipse…”

Satu-satunya pendekar ganda dari keluarga Charloth. Murid langsung Abraham Charloth. Orang yang pernah mengajari Reinhanvert dasar pedang, saat semua orang memalingkan muka darinya.

Reinhanvert tak menunggu. Tanpa ragu, ia menerjang.

Dengan tebasan Half Moon, salah satu knight roboh dalam darah, terkapar. Ragnar yang awalnya waspada, langsung memutar badan—siap menyerang penyusup—namun ragu saat melihat wajah Reinhanvert.

“Muka itu... tidak asing...”

“Aku di pihakmu,” ucap Reinhanvert, matanya tetap fokus ke dua musuh yang tersisa.

Ragnar ragu, tapi saat mata mereka bertemu, ingatannya bergetar. Mata itu. Ungu terang seperti anggrek bulan mekar. Sama seperti Abraham Charloth.

Mereka pun bertarung bersama. Salah satu knight yang terluka mundur. Tinggal dua yang tersisa.

“Tak peduli siapa kalian, sisa pengikut penyembah iblis harus dimusnahkan!” teriak salah satu knight.

Tangan Reinhanvert mengepal. Tapi ia tetap tenang. Untuk saat ini.

Dengan tebasan Full Moon, ia memaksa lawannya bertahan. Dan sebelum sempat menghela nafas, Reinhanvert menghilang.

Shadow Step.

Tubuhnya muncul di belakang knight itu. Tebasan kecil tapi dalam. Lagi dan lagi. Seolah mempermainkan. Membuat musuh tak bisa menebak.

Knight itu marah. Putus asa.

“BERSERK!”

Tubuhnya membesar, matanya merah, otot-otot menegang. Ia menerjang membabi buta. Namun Reinhanvert menari dalam bayangan. Setiap tebasan musuh hanya menebas udara.

Akhirnya, knight itu mencoba menebak. Ia menyerang ke belakang... dan kena. Tapi tubuh Reinhanvert perlahan menghilang.

Seketika pandangannya miring. Ia sadar. Lehernya—sudah ditebas. Kepalanya jatuh, mati dalam kebingungan.

Di sisi lain, Ragnar bertarung dengan nafas berat. Tapi tetap mendominasi. Saat lawannya lengah, ia melompat tinggi.

“After the Eclipse!”

Dua pedang membelah angin. Dalam satu gerakan, musuhnya terbelah menjadi tiga.

Usai pertarungan, mereka berdiri di antara tubuh-tubuh yang mulai dingin.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Ragnar, penuh curiga. Tapi juga harap.

Reinhanvert membuka mulut. “Aku... Reinhanvert Charloth.”

Ragnar terdiam. Seakan menolak percaya. Tapi matanya tak bisa berdusta. Ia pernah mendengar bahwa sang tuan muda jatuh ke jurang dan tak ditemukan.

“Tapi—aku butuh bukti.”

Reinhanvert membuka bagian dalam jubahnya. Emblem logam hitam-emas, berbentuk gerhana matahari. Lambang yang hanya dimiliki anggota inti keluarga Charloth.

Ia menggenggamnya erat. “Memegang pedang bukan hanya tentang membunuh atau dibunuh... di dalamnya ada kehormatan.”

Kata-kata itu... Ragnar tertegun.

Itu adalah kalimat Abraham Charloth. Kalimat yang hanya diucapkan kepada mereka yang dianggap pantas.

Tiba-tiba, terdengar suara tercekik. Salah satu knight yang terluka mencoba bangkit, namun sebelum sempat menyerang—

SYUT!

Sebuah panah menghantam dadanya. Mati seketika.

Mereka menoleh. Seorang pemuda dengan busur di tangan, napas terengah, berdiri dengan tegap.

“Theo...” gumam Reinhanvert.

Ragnar langsung berdiri di depan Reinhanvert, waspada. Tapi Reinhanvert menepuk bahunya.

“Tenang. Dia temanku. Dia yang menemaniku selama ini.”

Theo, dengan keringat menetes di pelipis dan napas belum sepenuhnya teratur, berdiri mematung beberapa langkah dari medan pertarungan yang telah usai. Pandangannya jatuh pada sosok berambut perak yang berdiri di depan tubuh hangus Ragnar.

> “Kau…” katanya pelan, suaranya nyaris tertelan suara api yang meredup.

“Kau itu... Vert, atau…”

Ia menelan ludah, matanya sempat ragu.

> “...apa kau benar-benar Reinhanvert Charloth?”

“Anak bangsawan yang katanya jatuh ke jurang itu?”

Langkahnya maju setengah, masih ragu. Matanya menatap langsung pada wajah itu—wajah yang selama ini tak pernah menunjuk siapa dirinya sebenarnya.

> “Dan soal keluargamu… yang katanya menyembah iblis... itu semua cuma tuduhan, kan?”

Hening. Hanya angin malam yang menyapu abu dan bau darah. Reinhanvert menoleh perlahan.

> “Ya.”

“Aku adalah Reinhanvert Charloth. Anak dari Abraham Charloth, Swordgrandmaster nine star .”

“Kami bukan pemuja iblis. Kami dibantai karena kami tak tunduk pada dua pangeran yang memupuk kekuasaan dengan racun dan kebohongan.”

Suara Reinhanvert tenang, namun tiap katanya seperti bilah pedang yang menebas kabut.

> “Aku tidak mati. Aku dibuang.”

“Dan sekarang, aku kembali. Bukan untuk menuntut belas kasihan, tapi untuk mengungkap kebenaran yang mereka kubur dengan darah.”

Theo diam. Sorot matanya perlahan berubah. Kekagetan dan keraguan perlahan tergantikan rasa hormat yang tak bisa ia sembunyikan.

Theo menunduk perlahan. Napasnya mulai tenang, tapi dadanya tetap sesak—bukan karena kelelahan, melainkan karena beban yang tiba-tiba menghantam kesadarannya.

Reinhanvert Charloth.

Bukan hanya nama, tapi simbol dari tragedi yang tak pernah ia gali lebih dalam.

Selama ini, ia hanya mendengar... dan percaya. Bahwa keluarga Charloth tumbang karena menyimpang. Bahwa mereka pantas dikucilkan, dikubur oleh sejarah sebagai pengkhianat.

Namun kini, pria yang berdiri di depannya—dengan tatapan tajam seperti baja yang ditempa neraka, dengan aura yang membuat darah bergetar—adalah bukti nyata bahwa sejarah itu penuh luka dan kebohongan.

“Aku bodoh...” batinnya. “Selama ini aku hanya mengikuti arus, menelan kata-kata para bangsawan licik seolah itu kebenaran mutlak.”

Matanya menatap Reinhanvert sekali lagi. Bukan sebagai ‘Vert si mercenary aneh’, tapi sebagai seseorang yang seharusnya sudah mati—namun memilih hidup. Bertahan. Berubah.

“Apa yang dia lalui di dasar jurang itu… seberapa dalam kegelapan yang harus ia telan untuk bisa berdiri setegak sekarang?”

Theo menggenggam jemarinya sendiri. Perasaan malu menghantam, karena ia tahu... jika posisinya dibalik, ia belum tentu bisa bertahan sehari pun.

Dan kini, ia harus memilih.

Tetap menjadi pion dalam permainan kotor para bangsawan—atau berdiri bersama mereka yang memilih kebenaran meski dunia memanggil mereka ‘jatuh’.

---

Reinhanvert memandang Theo yang masih membisu di antara desir angin pegunungan. Wajah pemuda itu tak lagi menunjukkan ketakutan... tapi ada sesuatu yang jauh lebih dalam—kegelisahan.

Diam-diam, Reinhanvert menarik napas pendek. Ia mengenal tatapan seperti itu. Tatapan orang yang baru saja menyadari bahwa dunia yang ia percayai selama ini adalah topeng yang dibentuk darah dan kebohongan.

> “Kau meragukanku, Theo?” ucap Reinhanvert, tenang, tanpa penekanan.

Theo sedikit terkejut, seolah pikirannya ditelanjangi.

> “Kau tidak salah. Dunia yang membesarkanmu, membuatmu percaya pada satu sisi kebenaran… adalah dunia yang sama yang membuangku ke dasar jurang.”

Mata Reinhanvert mengarah ke langit yang perlahan meredup, warnanya meniru bara yang nyaris padam.

> “Aku tidak ingin kau memercayai aku karena nama… atau karena rasa kasihan. Tapi kau berhak tahu satu hal.”

Ia menatap langsung ke mata Theo.

> “Keluarga Charloth tak pernah menyembah iblis. Kami hanya terlalu setia pada seorang kaisar yang diracun oleh darah dagingnya sendiri.”

Hening. Tak ada suara lain kecuali angin yang menampar dedaunan dan desir napas berat yang tertahan.

Reinhanvert melangkah perlahan ke arah theo, Suaranya terakhir terdengar, nyaris seperti bisikan yang terlempar dari kedalaman jiwa.

> “Aku masih hidup, Theo. Dan aku akan membuat dunia mengingat siapa yang mereka lempar ke jurang.”

---