CHAPTER 16 - Perjalanan menuju pusat kota

Langit mulai menghitam, menyisakan rona jingga yang perlahan tenggelam di balik cakrawala. Debu pertempuran masih mengambang di udara, dan suara dedaunan yang digoyang angin mengiringi langkah mereka menuju karavan. Reinhanvert menoleh ke belakang, menatap tubuh lawan yang kini tergeletak diam.

“Ayo. Supir karavan itu mungkin sudah terlalu lama menunggu,” ucapnya pelan, namun cukup tegas untuk memotong keheningan.

Ragnar hanya mengangguk, sementara Theo mengikuti dari belakang dengan kepala sedikit tertunduk.

Karavan itu tampak lusuh, namun hangat. Di dalamnya, lentera minyak tergantung di dinding kayu, memancarkan cahaya temaram yang menenangkan. Reinhanvert duduk paling duluan, bersandar sambil menghela napas. Ragnar duduk di sampingnya, tenang seperti biasanya.

Theo masih berdiri di dekat pintu, canggung. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang pada Reinhanvert, seolah ingin bicara namun menahan diri.

Reinhanvert meliriknya, lalu berkata sambil tersenyum tipis,

“Tenang saja. Wajar bagi rakyat biasa sepertimu untuk mempercayai apa yang kau dengar. Kau tak bersalah, Theo.”

Theo terkesiap. Perlahan ia tersenyum malu, mengusap belakang kepalanya.

“Aku cuma… merasa bodoh. Selama ini aku percaya semua rumor tentang keluarga Charloth... ternyata—”

“Kau tak sendiri,” potong Reinhanvert. “Kebenaran kerap dikubur oleh mulut-mulut yang berkuasa.”

Suasana sedikit menghangat. Melihat hal itu, Reinhanvert memutuskan untuk mengenalkan mereka.

“Oh, ya. Ragnar—”

Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Theo tiba-tiba maju setengah langkah, matanya bersinar kagum.

“Ragnar the Eclipse Splitter Knight...! Tak kusangka bisa melihatmu secara langsung!” serunya, seperti anak kecil yang melihat pahlawan.

Ragnar tersenyum samar, lalu berkata santai,

“Sepertinya aku tak perlu memperkenalkan diri.”

“Kau terkenal! Pengguna pedang ganda, menguasai Eternal Flame dan Shadow... Katanya saat kau bertarung, musuh seperti diterpa gelombang panas matahari—dan gerakanmu, cepat seperti bayangan...! Dan—dan kau bahkan sudah mencapai tahap awal Swordgrandmaster di usia 20-an!” Theo nyaris kehabisan napas.

Ragnar hanya mengangguk ringan, lalu menoleh ke Reinhanvert.

“Temanmu cukup bersemangat,” ucapnya tenang.

Kemudian ia menatap Theo. “Dan siapa kau?”

“Ah, aku—aku cuma mercenary rank B. Tapi... aku baru saja mencapai puncak marksman, 5-star,” jawab Theo dengan bangga tapi masih agak canggung.

Ragnar tampak terkesan. “5-star? Tidak buruk. Berarti kau cukup banyak membantu tuanmu—”

“Sekarang aku memakai nama Vert,” potong Reinhanvert cepat, nada suaranya berubah dingin.

Ragnar mengangguk paham. “Maaf. Vert, kalau begitu.”

Ia lalu mengangkat tangannya pelan, menyebarkan auranya secara halus ke seluruh karavan. Udara seketika menjadi lebih sunyi, seolah dunia di luar terputus dari mereka.

Reinhanvert membelalakkan mata. Aura itu... Tidak hanya kuat, tapi stabil. Mid Swordgrandmaster.

Ragnar mendekatkan diri. “Dia bisa dipercaya?” bisiknya.

Reinhanvert menjawab tanpa ragu. “Bisa.”

Ragnar menghela napas, lalu bicara pelan, tapi tegas.

“Kalau begitu... sudah saatnya kau tahu segalanya. Alasan kenapa aku masih hidup... adalah karena Tuan Christ—pemimpin Ordo Solar Eclipse.”

Theo menahan napas. Christ, sang Solar Knight? Puncak dari Swordgrandmaster... legenda hidup?

Ragnar melanjutkan,

“Sebelum menyelamatkanku, dia memberiku satu perintah terakhir... ‘Lindungi keturunan terakhir keluarga Charloth, apa pun yang terjadi.’ Dan aku bersumpah akan menepatinya.”

Dia menunduk sejenak, lalu kembali menatap Reinhanvert.

“Aku ingin menjemputmu sejak insiden itu. Tapi akademi tempatmu dikurung terlalu ketat. Aku menyusup, menyamar... namun tak pernah berhasil. Sampai akhirnya kudengar kabar... kau jatuh ke jurang.”

Suara Ragnar bergetar samar, seolah luka lama kembali tergores.

“Aku investigasi jurang itu berkali-kali. Tapi para penjaga di sana hanya pura-pura bekerja. Mereka... menghalangi semua bukti. Aku hampir menyerah. Tapi aku tak bisa membiarkan keluarga yang menyelamatkanku dikubur dengan tuduhan palsu.”

Reinhanvert menatap Ragnar dalam diam.

“Jadi aku menyelidiki segalanya. Kekaisaran, bangsawan, faksi politik... dan ya, aku tertangkap. Hampir mati. Tapi di tengah kehancuranku, aku menemukanmu. Hidup. Dan di sinilah kita.”

Ragnar berhenti, lalu menoleh pada Reinhanvert dan Theo.

“Perang saudara sudah dimulai. Keluarga bangsawan yang netral seperti Duke Atarixia, Marquess Toth, Count Falker, dan Viscount Lycon mulai digoyang... Ada yang dibujuk, ada yang diancam. Kau harus bersiap, Tuan muda. Mereka takkan berhenti sampai namamu hilang dari dunia ini.”

Reinhanvert menatap ke luar jendela. Mata malam sudah turun sepenuhnya. Angin berhembus dingin. Tapi tak sedingin hatinya yang kini mulai menyatu kembali dengan potongan-potongan masa lalu.

“Aku tak akan lari,” ucapnya pelan. “Karena darah Charloth masih mengalir dalam nadiku.”

“Ah—sial, ada satu hal lagi yang hampir kulupakan,” gumamnya pelan.

Reinhanvert menoleh cepat. “Apa?”

Ragnar menarik napas panjang. “Fraksi para pangeran… Aku sudah mengumpulkan informasi tentang para bangsawan yang telah menyatakan kesetiaan mereka.”

Ia menatap Reinhanvert lurus.

“Pangeran pertama memiliki basis kekuatan yang luas dan kuat. Dalam fraksinya ada Duke Novatra... Marquess Syris dan Jormund... Count Dull dan Darth... Viscount Lunddel dan Vertitas... serta Baron Chameo dan Baron Vulcan. Jumlah mereka besar, dan kebanyakan dari mereka adalah keluarga lama yang cukup dihormati di kalangan aristokrat.”

Theo mengangguk pelan, mendengarkan dengan seksama.

“Sedangkan fraksi pangeran kedua lebih kecil secara jumlah, tapi... lebih kejam dan tak segan memakai cara kotor. Mereka terdiri dari Duke Marbas dan Simon, dua kekuatan besar yang punya pengaruh luas. Di bawah mereka ada Marquess Linsday, Count Piera, Viscount Trica, dan Baron North.”

Ragnar menghentikan ucapannya sesaat, membiarkan udara kembali hening. Reinhanvert membalas dengan gumaman lirih.

“Jumlah jelas dimenangkan oleh fraksi pangeran pertama... tapi keberadaan dua Duke di pihak pangeran kedua...”

Ia mengatupkan bibirnya, mata tajamnya menatap kosong ke luar jendela.

“...bisa jadi penyeimbang... atau bahkan ancaman. Apalagi kalau mereka main kotor.”

Ragnar menatapnya serius. “Fraksi pangeran pertama tidak seutuh kelihatannya. Beberapa di antaranya hanya ikut arus. Satu gertakan dari pihak lawan... dan mereka bisa berubah haluan kapan saja.”

Theo menggertakkan giginya. “Jadi kita diapit dua kelompok ular... Satu memakai senyum, satu lagi memakai racun.”

Reinhanvert mengangguk pelan. “Dan keduanya... ingin melihatku mati.”

Angin malam kembali bertiup, namun kali ini terasa lebih dingin. Sebuah badai politik akan segera pecah, dan mereka hanya punya satu pilihan—bertahan atau dihancurkan.

Theo yang sejak tadi hanya diam, akhirnya buka suara.

“Kalau begitu... kalau kita berniat mengembalikan keluarga Charloth ke tatanan kekaisaran... bukankah itu semakin sulit? Atau bahkan... mustahil?”

Matanya menatap Reinhanvert, bukan dengan ragu, tapi dengan getir.

“Kedua pangeran itu sama-sama membenci nama Charloth. Dan yang paling penting... kita cuma bertiga.”

Nada suaranya turun. “Gimana cara kita melawan satu kekaisaran penuh tanpa kekuatan, tanpa pengaruh... tanpa siapa-siapa?”

Suasana mendadak berat.

Namun Reinhanvert hanya diam sebentar, lalu mengangkat wajahnya—mata tajamnya seperti menyala dalam kegelapan.

“Aku tidak butuh semua orang berdiri di sisiku.”

Suaranya rendah, tapi menghantam dada seperti palu.

“Aku hanya butuh orang-orang yang tidak akan berbalik saat badai datang.”

Ia menatap Ragnar dan Theo, satu per satu.

“Kita memang hanya bertiga. Tapi kita bukan tiga orang biasa.”

Senyum miring muncul di sudut bibirnya.

“Aku tidak akan menyerang kekaisaran. Aku akan membuat mereka memohon agar nama Charloth kembali berdiri.”

Hening.

Ragnar terkekeh pelan. “Tuan muda masih tetap gila seperti dulu.”

Theo menghela napas, lalu tertawa kecil. “Sial... kenapa aku malah makin yakin setelah dengar itu.”

Karavan terus bergerak menembus malam. Di dalamnya, tiga bayangan duduk dalam senyap—tapi diam mereka bukan karena takut.

Mereka hanya sedang menunggu saatnya.

Saat tatanan mulai runtuh, dan nama Charloth kembali bergema.

---

Ragnar memandang keluar jendela karavan, matanya menelusuri gelapnya malam yang hanya ditemani cahaya remang dari obor di kejauhan. Setelah keheningan yang panjang, ia bersuara tanpa menoleh.

“Dengan kekuatan yang masih sangat kecil... ke mana tujuanmu, Tuan Muda?”

Reinhanvert tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata, merasakan denyut halus dari Eternal Energy-nya yang beriak perlahan.

“Aku akan pergi ke pusat kota kekaisaran,” ucapnya akhirnya, pelan tapi mantap. “Ada tempat yang ingin ku kunjungi... dan jawaban yang harus kutemukan.”

Ia lalu membuka mata, menatap Ragnar dan Theo bergantian.

“Dan ingat,” lanjutnya dengan nada tenang, “begitu kita sampai di sana, jangan bersikap formal. Jangan panggil aku Tuan Muda. Dan jangan sebut nama Reinhanvert di kerumunan.”

Senyumnya tipis, tapi dingin.

“Cukup panggil aku... Vert.”

Karavan terus melaju, menembus keheningan malam yang penuh rahasia. Di dalamnya, rencana diam-diam mulai disusun. Sebuah nama yang sempat terkubur, kini kembali melangkah menuju jantung kekaisaran.

---