CHAPTER 17 - Palu yang berkarat

Langit ibu kota Kekaisaran diselimuti mendung abu yang seolah menggambarkan suasana politik di bawahnya. Di antara keramaian jalanan, tiga orang berjalan dengan langkah ringan namun penuh kewaspadaan.

Reinhanvert menatap ke depan sambil berucap pelan, “Ada seorang pengrajin yang ingin kucari. Katanya, dia tinggal di bagian kota yang nyaris terbengkalai. Dulu, dia terkenal... sekarang, katanya seperti menolak dunia.”

Ragnar yang berjalan di sampingnya membuka sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, sebuah soft lens khusus yang ia pasang perlahan ke salah satu matanya—berfungsi sebagai kamuflase bagi identitasnya yang pernah terbongkar. Ia juga mengenakan rambut palsu berwarna abu gelap, nyaris tak terlihat sebagai sosok yang sama.

Theo hanya menghela napas dan mengikuti. Saat mereka sampai di gerbang, dua penjaga menghentikan mereka.

“Identitas kalian?”

Ragnar maju satu langkah. Dengan senyum tenang, ia menjawab, “Pedagang keliling dari barat. Perjalanan bisnis biasa. Tak lebih.”

Penjaga itu menatap mereka curiga. Tapi begitu Ragnar menyelipkan satu koin emas ke tangan masing-masing penjaga, kecurigaan itu mendadak mencair.

“Silakan masuk,” gumam salah satu dari mereka, matanya tak lepas dari kilau logam mulia.

Mereka melangkah masuk.

Di dalam, ibu kota tampak ramai, namun ada sesuatu yang aneh di balik keramaian itu. Beberapa pengemis terlihat terlalu bersih. Beberapa pedagang terlalu tertarik menguping pembicaraan. Ragnar menyipitkan mata.

“Intel. Banyak sekali,” gumamnya.

Reinhanvert mengangguk pelan. “Perang dingin. Kedua pangeran mulai mengerahkan bayangan mereka di jalanan.”

Saat itulah Reinhanvert mendadak berhenti. Matanya tertuju pada sebuah bangunan tua—penginapan dengan papan reyot dan jendela kusam. Ia berdiri diam cukup lama hingga Ragnar menoleh.

“Ada apa?”

Reinhanvert menjawab lirih, “Itu tempat pertama yang menampungku setelah keluar dari jurang. Saat semua orang menjauhiku... tempat itu memberiku atap.”

Tak ada kata lanjut. Hanya tatapan yang memanjang, lalu ia melangkah lagi. Tak ingin terseret masa lalu terlalu lama.

Setelah pencarian selama hampir satu jam di lorong-lorong sepi dan bangunan-bangunan yang nyaris runtuh, mereka akhirnya tiba di depan sebuah toko tua. Di papan kayu depannya tertulis:

“BUKA — Tapi Tidak Melayani”

“Menyambut dengan cara yang aneh,” gumam Theo.

Mereka mendorong pintu. Bunyi derit tua menyambut mereka, disusul keheningan yang terasa pekat. Tak ada siapa-siapa di dalam. Hanya rak-rak kayu kosong dan peralatan bengkel yang tertutup debu.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara berat dari balik tirai belakang.

“Aku sudah bilang, TIDAK MELAYANI! KELUAR!”

Sosok pendek bertubuh kekar muncul—seorang dwarf tua dengan brewok abu-abu panjang. Matanya menatap mereka tajam, penuh kemarahan dan lelah.

“Kami tak ingin beli. Kami ingin bicara,” ucap Reinhanvert dengan tenang.

“Tak tertarik! Kalian pikir aku butuh validasi manusia? KELUAR!”

“Kau Kruger, bukan?” tanya Ragnar pelan.

Dwarf itu mendengus. “Dulu iya. Sekarang aku cuma pandai besi tua yang gagal. Pergi sebelum aku benar-benar murka.”

Reinhanvert menghela napas, lalu menarik sesuatu dari tas kecil di pinggangnya—batu hitam legam, kasar, tapi memancarkan aura yang bahkan membuat udara terasa berat.

Ketiganya sempat menatap batu itu dengan dahi mengernyit. Bahkan Reinhanvert sendiri masih belum tahu apa nama batu itu.

Kruger yang tadinya ingin memaki lagi, tiba-tiba membeku. Matanya membelalak.

“...I-itu…”

Dia melangkah cepat, merebut batu itu dari tangan Reinhanvert dan menatapnya nyaris tanpa berkedip. Tangannya gemetar.

“Darknest Adamantium…? Ini... ini nyata?”

“Darknest…?” tanya Theo, bingung. “Apaan itu?”

“Mineral terkutuk yang bahkan kaisar harus menjual istananya untuk mendapat seperempat kilo-nya!” bentak Kruger dengan mata masih menatap batu itu.

Suasana mendadak hening. Kruger akhirnya mendesah panjang dan duduk di bangku tua yang nyaris patah.

Ia mulai bercerita. Tentang masa lalu. Tentang pengkhianatan. Tentang saudara sekaumnya yang menusuk dari belakang. Tentang bagaimana pedang buatannya—yang ia tempa siang malam—diganti secara diam-diam sebelum ujian penting. Dan bagaimana seluruh kehormatannya dihancurkan di depan mata banyak orang.

Reinhanvert mendengarkan, matanya perlahan meredup namun bersinar bersamaan. “Kau tidak sendiri. Aku juga pernah dikhianati… oleh orang yang seharusnya menjaga punggungku. Tapi aku memilih untuk tidak tinggal diam.”

Kruger memandangi pemuda itu, agak tersentak saat Reinhanvert melanjutkan,

“Namaku Charloth Reinhanvert.”

Kruger membeku. “K-keluarga yang katanya menyembah iblis itu…?”

“Itu semua kebohongan,” ucap Reinhanvert tegas. “Keluarga kami… tak akan pernah melakukan sesuatu sebusuk itu.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Lalu perlahan, Kruger tersenyum getir.

“Jadi, bahkan ada orang yang ditusuk lebih dalam dariku… dan mereka masih berdiri, ya?”

Ia berdiri. Dadanya membusung. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, matanya terlihat hidup.

“Namaku Kruger. Pandai besi terbuang… yang siap kembali membakar besi dengan amarah dan kehormatan.”

---

Kruger menatap batu hitam itu sekali lagi, lalu melangkah menuju dapur belakang bengkelnya. Tak lama, terdengar bunyi gemerincing logam, diikuti suara embusan angin panas dari tungku tua yang lama tak menyala.

Reinhanvert, Ragnar, dan Theo saling pandang. Mereka mengikuti pelan, dan mendapati Kruger sudah menggulung lengan bajunya, mengikat rambutnya, lalu menyalakan tungku.

"Aku tak pernah menyentuh palu ini selama sepuluh tahun," gumamnya. "Kupikir, aku akan mati dalam kehinaan, bersama dendam yang tak pernah terbalas."

Ia mengambil batu itu, menatapnya seakan sedang berbicara dengan sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri.

"Luar biasa... bahkan hanya menyentuhnya membuat tanganku berat, seolah aku membawa kemarahan dunia."

Reinhanvert mendekat.

"Bisakah kau menempanya?"

Kruger memandangi pemuda itu dalam diam. Lalu, ia mendekat.

"Kau tahu, bocah... batu ini tak bisa ditempa dengan logika biasa. Ini bukan baja, bukan besi, bukan mithril, bukan orichalcum. Ini—"

"—adalah batu yang bahkan tak punya nama di lidahku," potong Reinhanvert pelan. "Tapi batu itu yang menemaniku... sejak aku berdiri dari luka pertama di dasar neraka itu."

Kruger menatapnya lekat-lekat.

"Kalau begitu," katanya lirih, "aku akan tempa kehormatanmu… bersama kehormatanku."

Ia mengangguk pada Ragnar dan Theo. "Kalian, bantu aku. Siapkan air pendingin, tarik napas. Sekarang bukan waktunya jadi penonton."

Api mulai menyala. Palu tua mulai bergerak. Denting logam menghantam keras, memekakkan telinga namun penuh irama. Setiap pukulan seperti mengusir debu waktu yang menempel di sudut-sudut bengkel itu.

Keringat menetes. Otot-otot menegang. Tapi tak ada yang berhenti.

Kruger membentuk sesuatu dari potongan kegelapan itu—sebilah bilah pedang tanpa hiasan, bentuknya panjang dan ramping, dengan punggung tebal serta ujung runcing, mengingatkan pada gaya pedang utara dari zaman perang lama. Seolah batu itu tak ingin dijinakkan, melainkan dipahami.

Namun setiap kali ia mencoba menyesuaikan suhu atau palu untuk membentuk mata pedang… batu itu menolak. Denting logam menghasilkan retakan kecil yang lenyap seketika, seolah batu itu memperingatkan: “bukan begitu caranya.”

Kruger menyumpah lirih. “Batu sialan ini… seolah hidup.”

Reinhanvert, yang sejak tadi hanya menatap, tiba-tiba melangkah maju. Ia menaruh telapak tangannya di atas logam panas itu. Seketika, bukan api, bukan cahaya—melainkan aliran eternal energy Reinhanvert mengalir keluar, samar, gelap, dan dalam seperti laut tak berbintang.

Seketika, logam itu… berhenti memberontak.

Batu hitam itu bergetar pelan, beresonansi dengan energi tubuh Reinhanvert. Bukan karena dikalahkan, tapi karena mengenal. Mengenal luka. Mengenal amarah. Mengenal tekad yang terlahir dari kejatuhan.

Ragnar terdiam. Theo melangkah mundur perlahan.

“Dia… beresonansi dengan mineral itu?” bisik Ragnar.

Kruger hanya terpaku. Tapi tangannya tak berhenti. Ia mengayun palu kembali, dan untuk pertama kalinya sejak api menyala… mineral itu pasrah dibentuk.

“Batu ini… sekarang baru bisa ditempa.”

Beberapa jam kemudian, ketika logam itu akhirnya didinginkan dan perlahan diangkat… sebuah pedang lahir. Tidak indah. Tidak berkilau. Tak ada ukiran. Tapi bentuknya—kokoh, garang, bagaikan bayangan dari medan perang kuno.

Reinhanvert menyentuh gagangnya.

Dan pedang itu… tak bersuara, namun seolah berkata:

"Akhirnya, kau datang."

---

Kruger menatap pedang itu lama. Tangan kasarnya masih menggenggam gagang palu yang kini menggantung lemas di samping tubuhnya.

“Tak pernah kulihat… logam seperti ini menyerah dengan cara seanggun itu,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.

Ia lalu memandang Reinhanvert.

“Anak muda… kau tahu batu ini apa?”

Reinhanvert hanya menggeleng. “Aku hanya tahu… aku menemukannya di dungeon.”

Kruger mengangguk pelan. “Tak salah. Tapi kau juga tak benar. Itu bukan sekadar batu… Itu Primordial Stone—Darknest Adamantium. Salah satu dari sedikit logam yang dikatakan memiliki jiwa.”

Theo mengerutkan kening. Ragnar menajamkan mata.

“Logam itu,” lanjut Kruger, “tak bisa ditempa oleh sembarang orang. Tak bisa dibentuk oleh sembarang palu. Mereka—batu-batu itu—memilih… kepada siapa mereka akan terbuka. Dan hari ini… satu dari mereka telah memilihmu.”

Ia menunjuk ke pedang itu.

“Nama batu itu saja sudah cukup menjelaskan… ‘Darknest’. Itu berarti satu hal: kau adalah pengguna Eternal Energy – Darkness.”

Hening.

Reinhanvert tidak berkata apa pun. Hanya mengangguk pelan.

Tapi di sisi Ragnar, badai kecil meledak dalam hati yang tak terlihat.

‘Darkness?’ pikirnya.

Shadow Eternal Energy miliknya… adalah refleksi dari kegelapan. Inti dari bayangan—adalah gelap. Tapi berbeda dengan yang dimiliki Reinhanvert.

Dia… bukan bayangan. Dia adalah sumber kegelapan itu sendiri.

Ragnar menunduk. Tak karena iri—tapi karena empati. Ia ingat cerita-cerita masa lalu. Tentang teknik pedang keluarga Charloth yang diwariskan turun-temurun. Tapi ironisnya, bukan keluarga utama yang mewarisinya sekarang.

Melainkan seorang buangan. Seorang anak yang ditinggal mati oleh kehormatan.

“Tuan...muda…” bisik Ragnar pelan, hanya didengar dirinya sendiri, “kau lebih Charloth daripada mereka semua.”

Reinhanvert hanya menatap pedang di tangannya. Dan saat itu… senyap menyelimuti bengkel, seolah api pun turut diam, menyaksikan kelahiran kembali—bukan hanya seorang pedang…

Tapi seorang pewaris. Yang terbuang. Tapi tak pernah padam.

---