Asap masih mengepul pelan dari tungku tua itu. Kruger terduduk di lantai batu, napasnya berat, keringat membasahi wajah tuanya. Tangannya… menggigil, keriput, seolah menua bertahun-tahun hanya dalam hitungan menit.
Reinhanvert menatapnya tajam, tapi diam. Theo dan Ragnar hanya bisa menahan napas.
"Aku sudah menduga," ucap Kruger, suara parau. "Primordial Stone… mereka memilih tuannya sendiri. Kalau bukan tuan yang mereka kehendaki, mereka akan menyedot hidupmu. Perlahan. Tanpa ampun."
Tangannya yang kanan gemetar, kulitnya memucat seperti tak dialiri darah. Tapi di balik semua itu, Kruger tertawa. Tertawa kecil, getir, tapi penuh kepuasan.
"Setelah puluhan tahun… tungku tua ini akhirnya menyala lagi. Dan bukan untuk senjata biasa. Sekalinya menyala, langsung untuk Primordial Stone—yang paling langka, paling legendaris."
Reinhanvert menatap pedang itu dalam diam. Cahaya hitam samar menyelimutinya. Pedang itu hidup. Bernafas. Bukan logam biasa, tapi entitas yang haus darah dan kehendak.
"Primordial Dial Stone bukan hanya kuat, bukan hanya tajam." Kruger melanjutkan. "Mereka bisa… mempengaruhi tuannya. Mengendalikan, kalau tuannya lemah. Tapi itu sepadan. Karena tiap Primordial Stone membawa atribut ilahi."
Ia mengangkat tangannya sedikit, menunjuk ke arah pedang Reinhanvert.
"Earth Stone… menyerap energi alam, dari tanah, angin, pepohonan. Menyatu dengan dunia."
"Light Stone… membuat senjata selembut kapas tapi menghantam sekeras bintang jatuh. Efektif melawan kegelapan, bahkan bisa menyerap energi dari api dan petir."
"Darknest… yang kau miliki… mampu beradaptasi. Setiap benturan dengan elemen akan dipelajari. Netralisasi. Tak bisa kau rusak dengan elemen manapun—kecuali Light."
Ragnar melotot, tak percaya. Theo sampai melongo. “Pantas harganya bisa ngalahin satu kekaisaran,” gumamnya. “Satu kilo aja… bisa bikin Kaisar jatuh miskin.”
Tapi Reinhanvert menunduk. Perhatiannya bukan pada pedang, bukan pada batu, tapi pada tangan Kruger yang sudah setengah mati.
"Biasakan kau menempa lagi, Kruger?"
Kruger hanya terkekeh lirih. "Masih. Tapi tangan ini butuh tidur. Mungkin… beberapa minggu. Biar luka luarnya sembuh dulu."
Lalu Kruger berdiri pelan. Dengan langkah berat, ia berkata, “Aku tidak enak kalau hanya dia yang dapat senjata. Kalian… ikut aku.”
Mereka mengikuti Kruger melewati lorong belakang bengkel. Mereka sampai di sebuah ruangan tertutup debu. Kruger menarik kain lusuh dari sebuah rak besi—dan di baliknya, dua senjata bersinar bagai warisan dewa.
Crimson Moon. Sebuah busur panjang merah gelap, dengan anak panah dari red adamantium.
"Sekali menembus kulit," kata Kruger, "kulit bisa melepuh dan mengelupas. Busurnya dari campuran red adamantium dan black vibranium. Kokoh. Tahan. Dan hanya bisa ditarik oleh orang yang punya tekad untuk membunuh."
Theo terpana, matanya berbinar seperti anak kecil melihat bintang jatuh.
Lalu Kruger membuka lagi kain yang lain—sepasang pedang kembar.
"Sun and Moon," katanya. "Yang satu red adamantium—api. Yang satu black adamantium—bayangan. Dua kekuatan berseberangan. Cocok untuk kau."
Ragnar mematung. Ia menatap kedua bilah itu seperti bertemu takdirnya sendiri.
“Bagaimana cara membayar semua ini?” tanya Reinhanvert pelan.
Kruger menatapnya. Dalam. Lalu menjawab, "Kembalikan kehormatan Kekaisaran Drucall. Itu cukup."
Tanpa kata, Reinhanvert mengangguk. Ia melempar satu kantong ke arah Kruger—berisi 10.000 gold.
"Ini bukan pembayaran. Ini… rasa terima kasih."
Kruger tertawa lirih. “Yah… aku tak bisa menolak.”
Sebelum mereka pergi, Reinhanvert menoleh.
"Aku butuh informan. Yang bisa menyediakan informasi paling rahasia… yang tak bisa dibeli dengan uang."
Kruger terdiam. Lama. Lalu menjawab pelan, "Ada… tapi mereka tak mudah dijangkau. Organisasi bayangan. Sebenarnya aku tak boleh berbicara tentang ini,Namanya… Red Moon."
Theo langsung bereaksi. "Yang itu… urban legend, kan?"
Kruger menatap mereka serius.
“Mereka pernah datang padaku. Minta senjata. Tapi dengan satu syarat—jangan pernah sebut nama mereka. Kalau bukan karena kepercayaan pada kalian, aku tak akan buka mulut.”
“Lalu… bagaimana cara menemui mereka?”
"Jadi orang kuat. Sangat kuat. Sampai Mercenary King sendiri tertarik padamu. Karena hanya lewat dia… Red Moon akan datang."
Reinhanvert menunduk, berpikir.
---
Reinhanvert melangkah maju. Cahaya hitam samar dari pedangnya masih menyala—berdenyut pelan seirama dengan napasnya. Ia menatap Ragnar dan Theo, satu per satu. Serius. Tegas.
“Dalam dua tahun ke depan…” ucapnya pelan tapi tajam, “kita bukan cuma harus bertahan hidup. Kita harus jadi legenda. Karena hanya legenda yang bisa menjatuhkan para pengkhianat itu.”
Theo menyeringai. “Kau bicara seolah kau Raja Neraka, Tuan.”
Reinhanvert tak membalas. Ia hanya mengeluarkan tiga koin logam tua dari sakunya. Lusuh. Tapi di satu sisinya terukir lambang naga berkepala dua—simbol Drucall lama. Simbol kehormatan yang telah dihancurkan.
Ia melemparkan satu koin ke arah Theo. Satu ke Ragnar.
“Bawa itu. Jangan kembali sampai kalian yakin pantas menyebut nama Charloth.”
Theo memutar koinnya di jari. “Serahkan padaku. Dalam waktu dua tahun, aku akan tahu siapa yang menggerakkan perang dingin, siapa yang membayar informan, dan siapa yang menyusun panggung politik.”
Ia menarik tudungnya, lalu menatap kota dari kejauhan. “Besok aku jadi pengemis. Lusa pedagang rempah. Jangan remehkan lidahku, bos.”
Ragnar hanya menatap koin di tangannya. Lama. Lalu perlahan, ia berbicara dalam hati.
“Rasanya baru kemarin kau menjerit saat kuajarkan kuda-kuda dasar… Sekarang kau bicara soal menggulingkan kekaisaran.”
Ia tersenyum miris. “Tuan muda, kau benar-benar tumbuh jadi binatang buas.”
Reinhanvert mendekat. Menepuk bahu Ragnar.
“Gali semua yang bisa kau gali. Nama-nama pengkhianat, motif mereka, bahkan celah terkecil dalam benteng mereka. Kau satu-satunya yang kupercaya untuk itu.”
Ragnar mengangguk. Matanya sedikit memerah. Ia menarik napas dalam, lalu merapatkan kembali wig-nya. “Baik… Tuan muda.”
Satu per satu mereka melangkah.
Theo menyelinap ke kerumunan pasar, sudah mengubah postur tubuh dan ekspresinya seperti seorang pemuda kere nan ramah. Mulutnya sibuk bergumam, menyerap dialek rakyat jelata.
Ragnar berbelok ke arah gang belakang, menghilang seperti bayangan. Diam-diam, tanpa suara.
Sementara Reinhanvert berdiri sejenak di tengah jalan. Memandang markas Mercenary Guild dari kejauhan. Cahaya dari jendela guild berkedip pelan.
Ia menggenggam gagang pedangnya.
"S-rank... Red Moon... dan kehancuran para pengkhianat. Ini jalanku. Dan tak akan ada yang bisa menghentikannya."
Langkahnya mantap. Hening. Tapi setiap pijakannya terasa seperti gemuruh yang tak bisa ditahan.
Dari dalam bengkel, Kruger mengintip kepergian mereka. Nafasnya berat, tapi senyum kecil tersungging di wajah tuanya.
“Mungkin… ini adalah awal dari sebuah akhir.”
---