[KEMBALI KE MASA KINI – GEDUNG MARKAS RAVEN SQUAD, TINGKAT BAWAH]
Debu dari ledakan layar masih menggantung di udara. Praja berdiri tegap, matanya tidak lagi menyimpan kebingungan—hanya kemarahan yang tenang. Mira menahan napas, masih merasakan denyut energinya yang belum reda. Dion? Wajahnya pucat. Tidak karena takut… tapi karena kepastian: mereka sedang melawan gurunya sendiri.
“Dia tahu kita akan datang. Semua ini jebakan,” kata Dion pelan.
“Tapi kita sudah di sini,” jawab Praja. “Dan ini bukan lagi tentang misi. Ini tentang kita. Tentang semua anak yang dipakai lalu dibuang.”
Mereka mulai menyusuri lorong-lorong bawah tanah markas, menuju pusat data. Tempat Aditya menyimpan seluruh rekaman eksperimen masa lalu, transaksi dengan pemerintah, dan file eksekusi para pemberontak. Bukti dari kekuasaan kotor yang dibangun dari darah.
Namun saat mereka hampir sampai…
DOR! DOR! DOR!
Ledakan senjata otomatis menghantam tembok di samping mereka. Dari balik kegelapan, muncul sosok bersenjata lengkap, bertopeng… bukan tentara. Teman.
“Fajar?” gumam Mira, matanya menyipit.
Fajar adalah salah satu rekan lama mereka, pernah satu tim dalam pelatihan awal bersama Aditya. Ia menghilang setelah misi ke-6, dikabarkan tewas. Tapi sekarang dia berdiri di hadapan mereka—hidup, berbaju hitam Raven, dan membawa senjata ke arah Praja.
“Dia memilih kekuasaan,” Dion menggeram. “Dia… dijual.”
Fajar membuka helmnya perlahan. Wajahnya masih sama, tapi dingin, beku, nyaris tanpa manusia.
“Aku tidak dijual,” katanya. “Aku memilih bertahan. Kalian? Kalian pengecut yang percaya dunia bisa diubah dengan idealisme.”
“Bukan idealisme,” balas Praja. “Tapi pilihan. Kami memilih tidak menjadi iblis seperti kalian.”
Fajar tersenyum. “Lalu kalian akan mati. Seperti semua yang menolak sistem.”
Tembakan meledak. Mereka terlibat dalam baku tembak brutal. Lorong berubah jadi neraka. Mira meluncur ke sisi lain ruangan, mencari celah. Di sela-sela tembak-menembak, tubuhnya bergetar—dia mulai mengaktifkan kekuatannya. Tangannya masuk ke balik celana taktisnya. Nafasnya memburu, bibirnya menggigit pelan. Tapi bukan karena kenikmatan—karena kekuatan.
Darah mengalir di bibirnya saat dia meraih klimaks cepat dalam gelap.
Dan saat matanya terbuka—api muncul dari telapak tangannya.
“Praja, merunduk!” teriaknya.
BOOM!! Bola energi menghantam Fajar, melemparkannya menembus tembok logam.
Hening.
Fajar tergeletak. Terbakar sebagian, masih hidup, tapi tak lagi melawan. Dion menghampirinya. Wajahnya penuh luka, tapi matanya tetap menatap tajam.
“Masih percaya sistem, Faj?”
Fajar terdiam… lalu tertawa kecil. “Kalian belum tahu akhir ceritanya…”
Tiba-tiba, pergelangan tangannya berbunyi beep-beep-beep.
Praja dan Mira tersentak. Dion berteriak, “BOM AKTIF!”
Tanpa ragu, Praja melompat, menarik Mira dan Dion, dan lari sekuat tenaga.
Gedung bawah tanah meledak.
Langit kota Karvastra berguncang malam itu. Tapi itu bukan akhir. Itu permulaan.