KOTA KARVASTRA, TENGAH MALAM
Hujan masih menghantam jendela dengan irama yang monoton, seakan langit sedang mengutuk dunia yang terlalu lama berpura-pura baik-baik saja. Di lantai tiga gedung tua yang kini menjadi tempat persembunyian mereka, Mira berdiri diam menatap gelapnya kota. Tak ada gemerlap, tak ada suara—hanya ketenangan yang menyesakkan.
Tubuhnya dibalut mantel panjang berwarna abu kehitaman. Bukan miliknya, tapi ia mengenakannya seakan mencoba menyerap sedikit kekuatan dari seseorang yang selalu tampak tak gentar menghadapi neraka sekalipun.
Di tangannya, ia menggenggam sebuah botol kecil bening. Di dalamnya, terdapat cairan yang bukan sekadar hasil dari eksperimen, tetapi hasil dari dirinya sendiri—ekstrak dari puncak kondisi tubuh yang tak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan biasa.
Ini bukan minuman biasa. Ini adalah manifestasi dari kekacauan, gairah, dan kesadarannya yang selama ini ia pendam dalam diam.
Mira membuka tutupnya perlahan. Aroma asing menyeruak, tidak menggoda… tapi akrab. Seperti mengingatkan bahwa sebagian dari dirinya memang diciptakan dari penderitaan yang dibungkam terlalu lama.
Ia meneguknya perlahan.
Seketika tubuhnya merespons. Otot-ototnya menegang, sarafnya berdenyut. Seperti ribuan kilatan ingatan menyapu pikirannya: ruang putih di laboratorium, suara mesin, tangan-tangan yang menyentuh tanpa izin, dan kalimat yang terus terulang di benaknya—
> “Kau bukan manusia. Kau senjata. Tapi jika kau bisa menerima dirimu sendiri, maka kekuatan itu bisa menjadi milikmu… bukan milik mereka.”
Lututnya melemah. Ia bersandar di lantai dingin, gemetar. Tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena sebuah kesadaran baru sedang terbentuk. Mira bukan lagi tawanan dari tubuhnya, bukan lagi pecahan dari proyek gila. Ia sedang dilahirkan ulang.
Dari pintu belakang, seseorang masuk tanpa suara. Praja, dengan wajah dingin dan rokok yang belum dinyalakan. Ia duduk di lantai, beberapa langkah dari Mira.
Ia memperhatikannya sejenak, lalu bertanya dengan nada datar namun tidak menghakimi, “Sudah selesai?”
Mira mengangguk pelan, masih terengah.
“Apa yang kau minum barusan?” tanyanya.
Mira menoleh, matanya tampak berbeda. Bukan karena perubahan fisik… tapi ada sesuatu yang lebih dalam. Sebuah keteguhan yang lahir dari kepasrahan yang utuh.
“Itu... adalah bagian dari diriku sendiri. Bagian yang selama ini kutolak. Tapi malam ini, aku menelannya. Aku tidak akan takut lagi.”
Praja menghembuskan asap rokok yang baru dinyalakan. Udara di ruangan menjadi berat, penuh ketegangan, namun sekaligus tenang seperti akhir badai.
“Aku tidak pernah paham apa yang kau alami. Tapi satu hal yang kupahami… kau tetap bertahan. Dan itu jauh lebih kuat dari semua peluru atau kekuatan yang ada di luar sana.”
Untuk pertama kalinya, Mira tersenyum. Bukan senyuman untuk menyembunyikan luka. Tapi senyuman yang datang dari penerimaan—atas dirinya, atas luka-lukanya, atas kekacauan yang telah menjadi bagian dari identitasnya.
---
KEESOKAN PAGI
Matahari tidak bersinar, tapi langit tampak sedikit lebih jujur. Kabut mulai turun perlahan di atap kota. Mira membuka pintu ke ruang taktis, tempat Dion sudah bersiap dengan peta dan rencana.
Kini mereka tak lagi bertiga sebagai pelarian.
Mereka adalah ancaman terakhir terhadap kota yang dikendalikan ilusi. Dan Mira… adalah nyala api yang akhirnya sadar bahwa ia bisa membakar… atau menerangi.
KEBANGKITAN PRAJA – 06.00, KOTA TANPA LANGIT
Hujan logam turun dari langit Karvastra pagi itu. Bukan air, tapi debu dari drone yang jatuh terbakar akibat sabotase semalam. Kota mulai sadar: ada yang berani mengganggu tatanan.
Praja duduk di atas atap gedung tua, mengenakan kembali jaket kulitnya yang robek. Luka di bahunya telah diperban seadanya oleh Dion. Tapi bukan luka itu yang ia pikirkan.
Melainkan Mira.
Wanita itu memang aneh. Penuh rahasia. Selalu menyembunyikan sesuatu di balik gerakan tubuhnya yang liar, di balik senyumnya yang tak pernah bisa ditebak. Tapi Mira juga rekan. Satu dari sedikit yang pernah mempercayainya. Dan kini, ia mati karena pilihan yang tak pernah dia mengerti.
“Dia tak sepenuhnya salah,” kata Dion pelan. “Kita semua punya sisi gelap.”
Praja tidak menjawab. Matanya tajam menatap horizon kota.
“Dunia ini bukan rusak. Dunia ini dibentuk untuk menyakiti,” katanya akhirnya.
Dion mengangguk pelan. “Dan orang-orang yang tahu itu… biasanya memilih diam atau mati.”
Praja berdiri. Wajahnya berubah. Bukan hanya dendam, tapi kejelasan.
“Kalau sistem ini terlalu besar untuk dihancurkan dari luar, maka aku akan menyusup ke dalam dan menghancurkannya dari jantungnya. Bukan sebagai pembunuh. Tapi sebagai virus. Diam. Tanpa suara. Tapi mematikan.”
Ia membuka tas hitam, dan mengeluarkan topeng berbahan baja tipis—hitam legam tanpa ekspresi. Lambang baru. Identitas baru.
Ia akan jadi musuh yang tak tertebak. Bayangan di tengah malam. Ketika kota ini mulai merasa nyaman kembali, dia akan datang dan menyentak.
Praja tak lagi bersembunyi.
Dia bangkit bukan sebagai manusia biasa. Tapi sebagai simbol perlawanan yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dipadamkan. Dan satu pesan mulai ia sebar di jaringan bawah tanah:
“Jika kalian pikir kota ini aman, itu karena aku belum datang.”