Menara

REAKSI MASYARAKAT – KARVASTRA SETELAH GELAP

03.10 – Kota Tanpa Suara

---

Ketika layar-layar padam dan suara propaganda berhenti, untuk beberapa detik, Karvastra terasa seperti kota mati. Jalan-jalan yang biasanya dipenuhi sinyal, iklan bergerak, dan notifikasi dari setiap sudut, mendadak hening. Orang-orang berhenti, menatap langit yang tak lagi dipenuhi cahaya buatan. Beberapa bingung. Beberapa ketakutan. Tapi sebagian kecil… mulai tersenyum.

Seorang pedagang roti di Distrik Delta meletakkan rotinya dan berkata pelan, “Akhirnya… ada yang bisa melakukannya.”

Seorang guru yang setiap harinya diawasi lewat sistem nilai otomatis di Distrik Sigma menatap terminal sekolahnya yang mati, lalu memeluk anak-anak muridnya. “Hari ini kita belajar hal yang berbeda,” katanya.

Namun tidak semua merespons dengan damai.

Di Distrik Alfa, para eksekutif korporat mulai panik. Kantor pusat Sinterra Corp kehilangan kendali atas data konsumen dan algoritma pengawasan. Beberapa segera menyewa tentara bayaran digital untuk memburu sumber kerusakan sistem. Bagi mereka, ini bukan kebebasan—ini sabotase.

Di Distrik Beta, para pemuja sistem—yang bergantung sepenuhnya pada algoritma untuk keputusan hidup mereka—mengalami kekacauan. Tanpa instruksi dari layar, tanpa arah, mereka menjadi seperti anak-anak hilang. Beberapa menangis, beberapa mengamuk.

Di balik reaksi itu, di lorong-lorong kecil, sebuah bisik-bisik mulai tumbuh. Nama “Praja” mulai terdengar di antara para gelandangan dan teknisi bawah tanah. “Dia yang membuka mata kota ini,” kata salah seorang hacker veteran yang sudah lama bersembunyi.

Mira, yang menyusup kembali ke keramaian, melihat sendiri bagaimana sebagian orang ketakutan... dan sebagian mulai berjalan lebih tegak. Ia tidak tersenyum. Ia hanya mencatat.

---

REAKSI PEMERINTAH DAN MAFIA

03.30 – Dewan Bayangan Karvastra

Di ruang bawah tanah Hotel Levara—yang tak pernah tercatat dalam peta resmi—para anggota dewan bayangan bertemu.

Mereka bukan pejabat publik. Mereka adalah pengendali: pemilik modal, bos mafia tua, dan tokoh militer bayangan. Di tengah mereka, duduk Velin Thar, tokoh yang wajahnya tak pernah muncul di media, tapi siapa pun tahu: dia lebih berkuasa dari wali kota.

“Jadi mereka sudah menyentuh Menara,” katanya pelan sambil menyalakan cerutunya.

Seorang ajudan mencoba memberi penjelasan, “Kami sudah kerahkan pasukan lapis dua, sensor lapangan, dan...”

Velin menatapnya. Sekali. Ajudan itu langsung diam.

“Ada yang membangunkan kota dari tidur panjang. Kita tidak membunuh mimpi. Kita racuni mereka... pelan-pelan,” katanya.

“Siapkan rencana konter-narasi. Ubah penyusupan itu jadi propaganda kita. Jadikan mereka teroris. Dan beri sayembara.”

Ia berdiri, memandang peta digital Karvastra.

“Saya ingin kepala mereka sebelum malam besok. Atau kalian yang saya kirim ke ruang tanpa jendela.”