PERTEMUAN DENGAN BAYANGAN LAMA – 23.15, STASIUN BAWAH TANAH TERLARANG
Malam itu, stasiun tua yang telah lama dikubur di bawah proyek beton pemerintah mendesah pelan dalam keheningan. Jam digital rusak di sudut tembok tetap berkedip merah: 23:15 — seakan waktu sendiri menahan napas.
Praja berjalan perlahan, menuruni tangga dengan langkah berat. Debu dan kelembapan menyelimuti setiap jengkal kulitnya, seolah tempat itu ingin melupakan bahwa manusia pernah lewat.
Dan di ujung peron itu, berdiri seseorang yang tak pernah ia pikirkan akan ditemuinya lagi: Lysandra.
Perempuan itu tetap seperti dulu—misterius, indah dalam cara yang menakutkan. Tubuhnya diselimuti mantel hitam panjang, dan di tangannya, tongkat besi tua yang ia gesekkan perlahan pada dinding—menciptakan suara mendesis, ritmis, seperti mantra.
"Aku tahu kau akan datang, Praja," katanya tanpa menoleh.
"Karena hanya orang yang belum selesai dengan masa lalunya… yang mencari ke bawah."
Praja tidak menjawab. Hanya berdiri mematung.
"Mira sudah mati," ucap Lysandra, tenang.
"Dan aku tak kaget. Dia adalah ledakan yang menunggu saatnya."
Lysandra berbalik. Matanya tajam, dalam, seperti jurang yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Tapi ada satu hal yang berbeda darinya: cara dia mengendalikan diri. Jika Mira seperti bara api terbuka, Lysandra adalah bara yang ditanam dalam es.
"Kau masih mencari kebenaran dalam puing, Praja?"
"Aku tidak mencari. Aku membangunnya kembali dari tulang-tulangnya," jawab Praja dingin.
Lysandra mendekat. Tongkatnya diseret, menghasilkan suara gemerisik logam dan batu. Tapi bukan itu yang mengganggu. Melainkan aura yang ia bawa—sesuatu yang sensual, nyaris mistis, seperti sebuah energi liar yang dibungkam dalam kesunyian.
Praja tahu. Dulu dia pernah tenggelam di dalamnya.
"Aku tak butuh pembalasan," lanjut Praja.
"Aku butuh hancurnya sistem ini, dari dalam."
"Lalu kau datang ke tempat yang tepat."
Lysandra membuka bagian dalam mantelnya, memperlihatkan jejak-jejak logam dan kabel yang tertanam di kulitnya—simbol teknologi hitam, jaringan bawah tanah yang hanya berisi para penghianat sistem.
"Aku bukan sekutumu. Aku bukan musuhmu. Aku adalah jembatan terakhir antara rencana dan kekacauan."
Dan saat kata itu keluar, dari balik kegelapan muncullah hologram peta kota. Mereka berdiri di titik tengah saraf sistem kontrol utama mafia—pusat komunikasi gelap yang mengatur pergerakan senjata, uang, dan penghilangan manusia.
"Kau ingin membakar kota ini? Kau butuh aku. Kau butuh semua yang kutahu… dan semua yang kutahan."
Tongkat besi di tangannya kini berdiri tegak, seolah bukan hanya benda logam, tapi lambang kekuasaan yang bersandar pada pengendalian.
Praja diam. Tapi dalam dirinya, percikan itu menyala.
Pertemuan ini bukan nostalgia.
Ini awal dari sabotase besar.