Praja dan Lysandra

PERSEKUTUAN DUA API YANG TAK LAGI TERPADAMKAN – 00.32, MARKAS TERDALAM

Di bawah tanah yang tak pernah disentuh cahaya, ruangan itu berdiri seperti rahim kegelapan. Lampu-lampu redup berwarna biru menyala samar, memantulkan bayangan tubuh Praja dan Lysandra di dinding logam yang dipenuhi kabel dan layar hitam.

Mereka berdiri di depan meja besi tua yang kini menjadi altar konspirasi.

“Kita bukan sekadar melawan mafia, Praja,” suara Lysandra berat, tapi tak kehilangan sensualitas yang menakutkan. “Kita melawan sesuatu yang jauh lebih besar—rasa tunduk manusia pada ilusi kekuasaan.”

Praja menatapnya, tak berkedip. Ia tahu kata-kata itu bukan metafora.

“Kita tidak butuh panggung. Kita butuh kehancuran yang sunyi. Letupan yang memutus rantai kendali.”

Lysandra menunjuk layar: daftar nama, rekening gelap, jadwal pengiriman organ manusia, jaringan perdagangan anak—semua ada di sana. Fakta-fakta yang tak bisa dibantah, tapi tak juga bisa dibawa ke permukaan tanpa darah sebagai kompensasi.

“Dan kau akan jadi wajahnya, Praja,” lanjutnya.

“Wajah yang tak bisa mereka bungkam karena terlalu banyak bayangan yang melindungi.”

Praja mengangguk pelan. Ia bukan aktor. Ia bukan pahlawan. Ia hanya manusia yang tak tahan melihat manusia lain diinjak oleh sistem.

“Apa rencanamu?” tanya Praja.

Lysandra menekan tombol di meja, lalu sebuah peta 3D muncul—markas pusat penyimpanan data mafia, yang terhubung ke jantung kota. Di situlah semua informasi disimpan. Jika itu bisa dibakar, seluruh jaringan mafia akan buta. Dan mereka akan panik.

“Kita akan memutus mata mereka lebih dulu. Lalu telinga. Baru setelah itu… jantung.”

Lysandra mendekat, berdiri hanya sejengkal dari Praja. Napasnya terasa dingin, namun menghantarkan panas yang aneh—bukan karena nafsu, tapi karena kerinduan akan kehancuran yang tertata rapi.

“Kau siap dibenci semua pihak?” tanya Lysandra.

“Karena saat kita mulai… tidak ada lagi jalan pulang.”

Praja menatapnya. Tatapan orang yang telah kehilangan banyak, dan tidak ingin kehilangan lebih, tapi tahu: satu-satunya jalan keluar adalah menabrak semua batas.

“Aku siap. Tapi aku ingin satu hal.”

“Apa itu?”

“Kalau aku jatuh, pastikan bukan Dion yang meneruskan. Dia terlalu bersih untuk kubiarkan hancur.”

Lysandra tersenyum kecil. “Kau masih manusia rupanya.”

“Sampai nanti. Sampai kota ini meledak karena kita.”

Lalu mereka bersalaman. Simbol sederhana dari dua kehendak yang tak lagi bisa dibelokkan.

Persekutuan dimulai.

Dan malam itu, tak ada lagi ruang bagi keraguan.