Pengakuan Lysandra

KONFRONTASI DI BALIK BAYANG – 04.45, RUANG KONTROL RAHASIA

Lampu remang-remang dari layar monitor mengisi ruang kecil itu dengan cahaya dingin. Suara dengungan alat elektronik memenuhi udara, seperti detak jantung kota yang berdetak tanpa henti di luar sana.

Praja berdiri di pojok ruangan, bayangannya memanjang di dinding besi. Di hadapannya, Lysandra duduk santai di kursi, wajahnya setengah tertutup bayang, namun matanya menyala penuh tantangan.

“Aku tahu kau curiga, Praja,” suaranya lembut namun menusuk.

“Tapi kau tidak punya bukti.”

Praja menatap lurus, suara seraknya tetap tegas:

“Lysandra, kematian Mira bukan kecelakaan. Aku melihat rekamannya. Ada kau di sana.”

Lysandra tersenyum tipis, senyum yang tak pernah benar-benar menyentuh matanya.

“Mira... dia kuat, tapi terlalu liar. Kadang kekuatan seperti itu harus dikendalikan, atau dihentikan.”

“Kau membunuhnya,” potong Praja.

“Bukan aku yang membunuhnya, Praja. Dia yang memilih jalan itu sendiri.” Lysandra bangkit, langkahnya pelan menghampiri Praja.

“Aku hanya memastikan tidak ada yang menghalangi misi kita.”

Praja menggenggam tangan erat, napasnya berat.

“Misi kita? Atau misi rahasiamu? Kau menggunakan kami semua untuk kepentinganmu.”

Lysandra berhenti, tatapannya membeku.

“Jika itu yang harus kau percaya, biarlah. Tapi ingat, aku yang menjaga kalian dari bayang-bayang lebih gelap.”

Praja menatap tajam, seolah mencari sisi manusiawi yang pernah ada di Lysandra.

“Kalau kau memang melindungi, kenapa kau harus membunuh orang dalam?”

Lysandra mendekat, suara hampir berbisik:

“Kadang untuk membangun kekuatan baru, harus ada yang dikorbankan. Bahkan yang kita cintai.”

Praja mundur selangkah, sadar bahwa persekutuan yang dibangun mulai retak, namun ia tahu satu hal:

Jika ingin bertahan hidup dan menuntaskan pertempuran ini, ia harus waspada, bahkan pada orang yang paling dipercaya.

Di luar sana, kota metropolitan terus berdetak, penuh rahasia dan kematian yang menunggu untuk terungkap.