20.47 — Pelabuhan Utara, Kota J
Kota masih panas. Asap dari kendaraan terbakar dan gedung yang dibom menyelimuti sebagian langit kota. Teriakan massa perlahan redup, namun tekanan psikologis masih terasa di setiap tikungan jalan.
Praja melangkah pelan di antara peti kemas yang sudah berkarat. Udara lembap menusuk tenggorokannya. Catatan di saku celana kirinya hanya menyisakan satu kalimat:
> “Kalau kau masih ingin menang, datanglah. Pelabuhan utara. Jam 20.47.”
Ia tidak tahu siapa pengirimnya. Tapi instingnya, yang telah ditempa lebih dari darah dan dendam, memaksanya untuk datang.
---
Kemunculan Ayla
“Datang sendiri. Itu langkah bijak... atau bodoh, tergantung siapa yang bicara.”
Suara perempuan terdengar lebih dulu, seperti bayangan yang bicara. Seorang wanita keluar dari balik tumpukan peti kemas. Rambut pendek, mantel kulit gelap, dan wajah yang tampak familiar bagi siapa saja yang pernah bekerja di dalam tubuh pemerintah—meski tak pernah secara resmi diakui.
Ayla Vashti.
Eks-program rahasia. Mantan pemburu, kini pembakar peta.
Dia menatap Praja tanpa rasa takut. Di tangannya tergenggam sebuah benda kecil, seperti boneka rusak dari bahan logam dan kabel.
> “Kau tahu siapa yang menciptakan senjata biologis pertama di kota ini, Praja? Bukan mafia. Bukan pasukan luar. Tapi pemerintah sendiri. Dan aku… bagian dari mereka yang mencatat semuanya.”
---
Kemunculan Kenzo
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang:
> “Masalahmu, Praja… kau terlalu percaya pada kebetulan. Dan terlalu sedikit percaya pada pengkhianatan.”
Satu denting peluru jatuh ke tanah. Praja langsung berbalik. Sosok tinggi berbalut pakaian gelap muncul seperti siluet dalam lukisan noir: Kenzo. Mantan agen infiltrasi, kini diburu oleh semua pihak, dari pemerintah hingga mafia, karena satu alasan sederhana: ia tahu terlalu banyak dan tidak tahu cara diam.
Ia menyerahkan satu peluru ke tangan Praja.
> “Ini bukan peluru biasa. Ini peluru terakhir yang diciptakan dengan logam dari tambang yang kita rebut lima tahun lalu. Peluru yang membuat seorang menteri kehilangan tiga anaknya, dan dunia... kehilangan memori digital selama tiga hari.”
> “Kau simpan. Dan gunakan dengan bijak.”
---
Dialog Tiga Arah
Ayla duduk di atas peti. Kenzo berdiri membelakangi keduanya, menatap pelabuhan.
Praja masih berdiri. Ia belum yakin, tapi ia juga tahu: pertempuran ke depan tidak akan bisa dia menangkan sendirian.
Ayla menatapnya dalam.
> “Kau punya kekuatan, Praja. Tapi kami punya sejarah. Dan kalau kita satukan… kota ini takkan pernah sama lagi.”
---
Transisi Menuju Aliansi
Dari kejauhan, sirene berbunyi. Lampu-lampu pelabuhan mulai padam satu per satu. Kota bersiap memasuki jam gelap—waktu di mana tidak ada hukum, hanya kepentingan yang bicara.
Praja menatap keduanya. Anggukan pelan. Bukan tanda setuju. Tapi tanda siap untuk menyusup ke inti sistem yang selama ini hanya bisa dia benturkan dari luar.
> “Kalau kita akan mati, kita mati dengan benar. Bukan sebagai korban, tapi sebagai peringatan.”