[Ledakan Narasi]
Ketika pintu bunker terbuka dan udara luar menerpa wajah mereka, Praja menggenggam erat Core Memory di dalam koper pelindung biometrik. Kenzo di belakangnya menggiring sinyal gangguan untuk memotong komunikasi pasukan Regentis, sedangkan Syl menarik pelatuk pelontar asap dari punggungnya.
Namun pasukan sudah mengepung dari tiga arah. Di atap gedung-gedung, di dalam kendaraan taktis, dan dari jalur bawah tanah yang mereka tinggalkan. Semua arah adalah tembok.
Dari atas gedung, suara pembesar menyentak:
> “Serahkan data itu, atau kota ini akan kita tenggelamkan dalam kabut dusta yang lebih tebal!”
Praja hanya tersenyum kecil.
“Sudah terlalu lama kota ini menghirup oksigen palsu.”
Lalu dia melemparkan satu kapsul ke udara. Ledakan tak terdengar, tapi efeknya langsung terasa.
Dalam radius dua kilometer, semua jaringan digital lumpuh. Layar kota, iklan hologram, panggilan video, dan berita otomatis—semuanya mati. Dan kemudian… muncullah satu tampilan tunggal: narasi asli dari Core Memory.
Tayangan berisi pengkhianatan pejabat, kesepakatan tersembunyi antara mafia dan pemerintah, pembantaian yang direkayasa menjadi kerusuhan sipil. Dan wajah-wajah yang selama ini diagung-agungkan rakyat, berubah menjadi topeng yang mengelupas.
Seluruh kota menonton.
Di rumah, di kafe, di jalanan.
Anak-anak melihat ayah mereka menangis.
Seorang ibu memeluk anaknya yang menatap layar tanpa mengerti.
Seorang tentara melepas helmnya, lalu berlutut.
Kota runtuh dalam keheningan.
Pasukan Regentis gamang. Sebagian mulai berbalik arah. Sebagian mencoba menembak layar, tapi sinyalnya sudah tersebar ke seluruh infrastruktur digital Neotera.
“Ini bukan lagi pertempuran senjata. Ini perang kebenaran,” ujar Ayla, sambil menembakkan peluru terakhirnya ke sensor drone yang mendekat.
Tapi semua itu ada harganya.
Gedung pusat komunikasi meledak. Satu per satu pusat penyimpanan data palsu mengaktifkan protokol penghancuran otomatis. Kota diliputi cahaya merah dari sistem yang panik.
Dan dalam kekacauan itu, raja mafia, si arsitek utama, keluar dari persembunyiannya. Bukan karena ingin menghentikan, tapi karena akhirnya ia harus bicara langsung—untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun.
Wajahnya muncul di langit—proyeksi holografik dengan senyum tak berubah:
> “Jadi ini... cara kalian memilih mati?”
Praja menatap ke atas. Tak gentar.
“Aku tak memilih mati. Aku hanya menolak hidup dalam narasi buatanmu.”