Hadirnya Sang Raja

[Hadirnya Raja]

Langit Karvastra malam itu tidak pernah sebising ini. Bukan oleh sirene atau ledakan, tapi oleh suara sunyi yang ditelan ketakutan massal—ketika semua menyadari bahwa sosok yang selama ini disebut-sebut dalam bisik, dalam berita palsu, dalam mimpi buruk anak-anak, benar-benar nyata.

Ia berdiri di atas balkon menara perak yang muncul dari balik kubah energi markas pusat Regentis. Sosok itu kurus tinggi, berjas hitam rapih, wajahnya tidak asing—karena sudah sering dipalsukan media. Namun tidak ada yang menyangka betapa nyata dan dinginnya auranya. Sorot matanya seperti lubang hitam yang menelan rasa percaya diri.

Namanya: Drav Malkion. Mantan diplomat, ahli ekonomi, penulis buku motivasi… dan raja sejati dari kekacauan yang terstruktur.

Ia tak perlu pengawal. Dunia adalah senjatanya. Dan malam itu, ia memegang segelas anggur, seolah semua ini hanya pesta kecil untuk menertawakan manusia yang mencoba menjadi Tuhan.

> “Kalian membocorkan data,” katanya, tenang. “Kalian pikir itu menghancurkan saya? Tidak. Itu hanya menghancurkan ilusi kalian tentang siapa saya.”

Praja maju beberapa langkah. Tidak takut. Tubuhnya sudah lebam, peluru bersarang di bahu, namun matanya menyala lebih terang dari api di belakangnya.

“Tidak, Drav. Ini tentang menunjukkan pada dunia bahwa kau bukan dewa. Kau hanya manusia yang terlalu lama bermain peran.”

Drav tersenyum kecil.

> “Dan dunia menyukai peran saya. Bahkan ketika kalian membocorkan segalanya, lihatlah… apa yang mereka lakukan? Mereka panik. Mereka tidak tahu harus mempercayai siapa. Mereka butuh narasi, dan saya punya ratusan narasi baru untuk mereka.”

Layar di sekeliling kota mulai menyala kembali. Tapi kini, ada dua versi kebenaran—yang asli dan yang baru dari Drav. Kebingungan melanda. Beberapa masyarakat mulai menyerang satu sama lain karena informasi bertentangan.

Itulah kekuatan sebenarnya dari sang raja: bukan kekuasaan, tapi kontrol atas kenyataan.

“Selamat datang di era baru, Praja,” ujar Drav.

“Kau pikir ledakan narasimu mengguncang segalanya? Tidak. Aku sudah menyiapkan generasi yang tak peduli pada kebenaran, hanya butuh ketenangan.”

Dan di saat itulah, sebuah peluru nyasar menembus dada Ayla. Ia jatuh di pelukan Dion yang luka-lukanya belum sembuh. Jeritannya tertahan. Praja tidak menoleh. Tapi rahangnya mengeras.

Perlawanan belum selesai. Tapi kali ini, musuhnya bukan lagi sistem.

Musuhnya adalah harapan yang mulai kehilangan wujud.