Tumbal

[Tumbal Kebenaran]

Darah Ayla mengalir perlahan di pelukan Dion. Napasnya tersendat, tapi tidak ada tangisan. Tidak ada jeritan minta tolong. Hanya desahan lirih, seolah dirinya tahu bahwa ia bukan korban, tapi pilihan.

“Aku sudah tahu…,” bisiknya, menatap Dion. “Seseorang harus… mati… agar sesuatu benar-benar hidup.”

Dion terdiam. Praja berdiri di hadapannya, tubuhnya membeku. Lysandra menunduk, tak sanggup menatap, tangannya gemetar namun matanya tetap awas. Suara ledakan dari kejauhan sudah berubah menjadi gema latar dari babak terakhir drama besar ini.

Ayla, mantan agen, pendiam, pengamat, jembatan antara idealisme dan strategi kotor. Ia tahu terlalu banyak, dan justru karena itu, memilih diam terlalu lama. Ia menebusnya malam ini. Dengan tubuhnya. Dengan hidupnya.

“Ambil data itu,” lanjutnya dengan suara nyaris hilang. “Drive di balik liontin. Transfer ke semua node di kota. Jangan titipkan kebenaran ke satu server.”

Praja mengangguk, lalu menyentuh liontin itu dengan jari berlumur darah. Data yang disimpan Ayla adalah gabungan rekaman, catatan transaksi, jejak sandi dan video internal — bukti keterlibatan Drav Malkion dalam hampir semua konflik modern di Neotera dan Karvastra. Pembantaian, pembunuhan tokoh oposisi, sabotase diplomatik, termasuk rekayasa kematian Perdana Konsul negara tetangga yang dulu diklaim "bunuh diri karena depresi".

> “Dia tumbal,” ucap Lysandra pelan. “Tapi bukan korban. Dia memilih. Karena dunia ini butuh darah untuk membuka mata.”

Dion menoleh, air mata tak jatuh. Tapi jiwanya hancur. Ia tahu, ia harus hidup untuk membawa akhir cerita ini. Bahkan jika tak ada yang percaya. Bahkan jika semua berkata “ini hanya konspirasi liar.”

Praja menyalakan koneksi jaringan mesh. Proyeksi mulai muncul di langit. Seperti hologram raksasa—data yang dibuka dari liontin Ayla menyebar seperti wabah.

Orang-orang menatap langit. Masyarakat bingung. Wartawan dibungkam. Tapi data itu terlalu cepat menyebar. Terlalu jujur. Terlalu berdarah.

Dan di tengah semua itu, sosok Drav kembali muncul di layar utama pusat kota. Kali ini, ia tidak tersenyum.

> “Kalian pikir kalian menang?” katanya.

“Bahkan narasi paling kuat pun bisa berubah menjadi kutukan ketika kehilangan aktor utamanya.”

Praja membalas dengan satu kalimat yang mengguncang layar.

“Tumbal kami bukan akhir. Tapi awal dari dunia yang tidak lagi tunduk.”

Karvastra kembali senyap. Tapi sunyi kali ini bukan karena takut. Tapi karena semua sedang mencerna kebenaran.