[Tumbal Data]
Gelap menelan kota, namun bagi sebagian orang, itu adalah sinar kebebasan. Di sisi lain, kegelapan adalah ladang kekacauan. Tanpa pengawasan, konflik kecil di Karvastra mulai meletus. Perampokan, sabotase, dan pembalasan dendam terjadi bersamaan. Warga sipil yang telah lama dipantau kini bingung antara euforia dan takut.
Lysandra menyusun pengalihan menuju Neotera, titik pusat dari semua server cadangan yang belum dihancurkan.
> "Kalau Karvastra sudah gelap, maka Neotera adalah matahari terakhir mereka. Kita harus padamkan juga."
Sementara itu, Dion memetakan sisa node jaringan dan menyadari ada satu pusat data yang disembunyikan bahkan dari mata-mata digital—disebut hanya sebagai "Kuil Pantulan."
> "Tempat itu... bukan sekadar server. Itu tempat di mana seluruh rekaman ingatan warga disimpan. Mereka bisa menciptakan ulang siapa pun yang mereka mau."
Praja terdiam. Drav tak hanya ingin mengontrol gerakan. Ia ingin mengontrol sejarah, narasi, bahkan ingatan.
Kemenangan mereka tadi bukan akhir. Itu hanya membuka babak baru—perang untuk identitas manusia.
> "Kita harus hancurkan Kuil itu. Bukan hanya untuk kebebasan, tapi untuk membebaskan masa lalu kita."
Dan untuk itu, tumbal baru harus disiapkan. Termasuk kebenaran yang mungkin akan memecah tim mereka sendiri.
Karena dalam gelap, yang menyala bukan hanya mata. Tapi rahasia.
Konflik Moral
Karvastra gelap. Tidak seperti malam biasa yang ditemani cahaya neon dan iklan raksasa, kini kota itu seperti kuburan elektronik—sepi, kelam, dan mendebarkan. Namun dalam kegelapan itu, manusia kembali bisa berpikir tanpa pengawasan. Dan itu, justru membuat beberapa dari mereka ketakutan.
Di dalam bangunan tua tempat mereka bersembunyi, sisa-sisa tim Praja duduk bersandar, kelelahan, luka, dan diam. Api kecil dari tong sampah menyala, memberi cahaya samar yang lebih mirip nyala lilin di altar kematian.
Praja menatap tangannya. Ada darah di sana—darah musuh, darah Elian, darah dari masa lalunya sendiri. Ia belum bicara sejak penarikan tuas utama. Lysandra memperhatikan dari jauh, menunggu, berharap ada keputusan, tapi yang ia lihat hanya kekosongan di mata pemimpin mereka.
Dion yang duduk tak jauh mulai membuka suara.
"Elian mati bukan karena peluru, tapi karena keputusan kita," katanya pelan. "Kita tahu risikonya. Tapi apakah layak? Kita padamkan pengawasan... lalu apa? Apa kita bisa jamin Karvastra jadi lebih baik?"
Tak ada yang menjawab. Karena yang Dion ucapkan bukan pertanyaan. Itu tuduhan. Tuduhan pada diri mereka sendiri.
Lysandra akhirnya bangkit. “Apa yang kamu inginkan, Dion? Kita biarkan semua tetap seperti semula? Mereka memantau mimpi kita, mencuri anak-anak dari statistik, menciptakan warga yang taat bukan dari kesadaran, tapi dari rasa takut.”
“Tapi kita tidak bersih juga,” jawab Dion cepat. “Kita membunuh. Kita pakai kebohongan. Kita menciptakan kekacauan. Kita menamakan ini perlawanan, tapi nyaris tak ada bedanya dengan mereka yang kita benci.”
Praja berdiri, tubuhnya berat, namun tatapannya kini menyala seperti bara yang dipendam terlalu lama.
“Kita memang bukan orang suci,” katanya datar. “Tapi kita tidak sedang berjuang untuk jadi bersih. Kita sedang berjuang agar orang lain bisa memilih—untuk jadi bersih atau kotor atas kehendaknya sendiri, bukan atas instruksi dari sistem yang disembah seperti Tuhan.”
Suasana hening. Mereka semua tahu, bahwa dalam perjuangan ini, tidak ada tangan yang bersih. Semua tercemar. Tapi pilihan mereka tetap satu: melawan, atau menyerah pada dunia di mana kebebasan hanyalah ilusi yang sudah diprogram.
Lysandra akhirnya berkata, pelan, hampir seperti berdoa.
“Kadang... kebenaran datang dari mereka yang paling kotor. Karena hanya yang pernah tersesat, tahu nilai arah.”
Dan di saat itu, terdengar dentingan—bunyi logam dari luar. Seseorang sedang mendekat. Bukan musuh. Tapi juga bukan teman. Langkah-langkah ragu, seperti seseorang yang ingin bicara... tapi membawa beban.
Karvastra mungkin telah buta. Tapi justru dalam kebutaan, nurani manusia diuji.