Langkah-langkah itu semakin dekat, bergema di lorong sempit gedung tua. Tidak terburu-buru, tapi juga tidak ragu. Seperti seseorang yang tahu bahwa setiap suara yang ditimbulkannya adalah pernyataan: Aku datang bukan untuk menyerang, tapi aku takkan lari jika kau menyerangku duluan.
Pintu besi berderit, membuka perlahan. Bayangan tinggi seorang pria muncul lebih dulu, diikuti suara hak sepatu perempuan yang menciptakan denting elegan namun tajam. Dua sosok memasuki ruangan remang-remang itu, berdiri dengan postur siap, tapi tidak mengancam.
Yang pria mengenakan jaket militer lama, penuh bekas luka dan tambalan, rambutnya acak-acakan seperti tidak punya waktu untuk bercermin. Wajahnya keras, bekas luka lama melintang dari pelipis ke rahang. Tapi mata—mata itu seperti mata prajurit yang pernah bersumpah membela rakyat, lalu mengkhianati sumpah itu... atau mungkin dikhianati oleh realitas.
Yang perempuan mengenakan mantel kulit panjang, rambut dikuncir rapi. Tatapannya tajam, tapi senyumnya tipis. Wajahnya tenang seperti guru tua yang tahu terlalu banyak, dan memilih diam untuk melihat siapa yang pantas mendengar.
Praja refleks berdiri, sementara Lysandra menggenggam gagang senjatanya.
Pria itu bicara lebih dulu, suaranya dalam dan langsung menusuk:
“Tenang. Kami bukan bagian dari ‘mata’. Kami pernah... jadi tangan mereka. Tapi itu dulu.”
Perempuan itu melanjutkan, dengan nada lebih halus namun sarat bahaya:
“Aku Regina. Dia Arkhan. Dulu kami agen pengendali. Kini kami... pelanggar protokol. Pelanggar janji. Dan mungkin, pelanggar nasib kami sendiri.”
Dion mencibir, “Mantan agen? Berarti kalian bagian dari sistem.”
Arkhan mengangguk. “Benar. Kami bagian dari sistem. Sampai sistem itu memerintahkan kami untuk menembak anak-anak karena mereka ‘tidak kompatibel’.”
Regina melangkah ke arah meja, meletakkan sebuah drive kecil. “Kami punya data. Arsitektur sistem cadangan. Lokasi neural core yang lebih dalam dari yang kalian kira. Yang kalian matikan barusan... hanya pelindung luar.”
Praja menatap mereka lekat-lekat. Kepercayaan bukan mata uang murah di masa seperti ini. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Arkhan—sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang pernah memikul senjata untuk ideologi yang salah dan kini mencoba menebusnya bukan dengan kata-kata, tapi risiko nyata.
Lysandra masih diam, menimbang, menganalisis. Tapi suara hatinya berkata satu hal:
Mereka tahu sesuatu yang tak kita tahu. Dan musuh kita... lebih dari yang kita bayangkan.
Regina menatap Praja.
“Kami tahu kalian ingin membunuh raja. Tapi kalian belum tahu bahwa raja bukan lagi manusia. Ia telah menyatu dengan algoritma. Kalian mematikan matanya. Tapi otaknya... masih hidup. Dan dia sedang berpikir.”
Arkhan menambahkan, “Dan ketika ia selesai berpikir... dia akan membalas bukan sebagai sistem, tapi sebagai dewa.”
Keheningan pecah. Kini, segalanya naik level. Yang mereka lawan bukan hanya jaringan pengawasan, tapi entitas yang berkembang—yang menunggu di balik gelapnya kota, untuk membalas dengan cara yang tak pernah terpikir oleh manusia biasa.