Reaksi kota karvastra

Kota Karvastra, yang dulunya gemerlap oleh cahaya buatan, kini terasa seperti bangunan purba yang baru saja ditinggalkan dewa pengawasnya. Tanpa "Mata yang Menyala", layar-layar iklan membeku, kamera-kamera tak lagi mengikuti gerakan kepala rakyat, dan alarm zona aman tak lagi berbunyi tiap kali seseorang melangkah keluar dari garis yang telah ditentukan.

Untuk sesaat... sunyi.

Tapi dari sunyi itu—keluar suara.

Teriakan pertama datang dari seorang bocah di distrik tengah. Ia berlari tanpa dipantau, tanpa diikuti sorotan drone. Ibunya menjerit, tapi bukan karena ketakutan. Melainkan karena ia sadar: tidak ada yang menghukum anaknya karena berlari sembarangan lagi.

Lalu dari distrik barat, orang-orang mulai keluar dari rumah mereka. Awalnya ragu, masih menatap ke langit seakan kamera akan muncul dari balik awan. Tapi tak ada sorotan. Tak ada suara peluit. Tak ada peringatan.

Di tengah kerumunan, seorang lelaki tua—mantan guru yang pernah dipenjara karena mengajar filsafat bebas—naik ke bangku taman dan mulai berbicara.

Tidak ada sensor yang memotong ucapannya. Tidak ada drone yang membungkamnya.

> “Kita tidak sedang merayakan kemenangan. Kita sedang merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia… untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.”

Orang-orang mulai berdatangan. Diskusi meletus di sudut-sudut jalan. Grafiti anti-sistem disemprotkan secara terbuka. Lagu-lagu terlarang diputar dari radio tua yang selama ini disembunyikan. Di sebuah lorong, anak-anak menari tanpa formasi, tertawa lepas. Polisi yang tersisa hanya berdiri mematung, tak tahu apa yang harus dilakukan tanpa arahan pusat.

Namun tak semua merayakan.

Beberapa yang dulunya diuntungkan oleh sistem—penguasa kecil, kolaborator, bahkan kaum elite teknologi—merasa ketakutan. Tanpa pengawasan, kekuasaan mereka runtuh. Kekayaan mereka tidak bisa lagi dijaga oleh “ketertiban algoritma”.

Sebagian dari mereka mulai membakar berkas-berkas, menghapus server cadangan, menghubungi kontak lama untuk perlindungan.

Di tempat lain, kelompok-kelompok bawah tanah yang selama ini tertindas mulai bermunculan dengan identitas baru. Mereka tidak datang untuk balas dendam. Mereka datang untuk menunjukkan bahwa dunia tanpa sistem bukan berarti kekacauan... tapi peluang.

Di markas kecil tempat Praja dan timnya bersembunyi, suara siaran radio pertama pasca-kejatuhan sistem terdengar lirih.

> “Kepada siapa pun yang mendengar ini… Karvastra masih berdiri. Tapi hari ini, ia berdiri atas kehendaknya sendiri. Bukan karena kabel, bukan karena layar. Tapi karena kita.”

Praja menatap langit dari balik jendela pecah.

Ia tidak tersenyum. Belum.

Karena ia tahu:

Kebebasan adalah awal dari kekacauan baru.

Dan kebebasan, seperti juga kekuasaan, tidak pernah tanpa harga.