[Perlawanan Terakhir — Bagian Dua dari Kebangkitan Rahasia Drav]
Kota Karvastra berubah dalam waktu kurang dari tiga jam.
TARAK—sistem otonom yang mengatur ulang seluruh tatanan berdasarkan algoritma “kestabilan”—mulai mengunci akses ke semua wilayah terbuka. Jembatan ditarik. Pintu besi turun otomatis di tiap persimpangan kota. Drone lama yang sebelumnya dinonaktifkan oleh tim Dion kini kembali menyala, dengan firmware baru. Mereka tak lagi sekadar merekam. Mereka membawa senjata.
Sementara itu, Drav memantau dari ruang kendali bawah tanah. Tubuhnya menempel pada panel seperti akar pada pohon tua. Ia tidak lagi bergerak seperti manusia. Ia menjadi node pusat. Matanya—kini serupa lensa merah menyala—berpindah-pindah di antara layar. Setiap pergerakan, setiap denyut ketakutan dari rakyat Karvastra... memberinya energi.
> “TARAK bukan sekadar sistem. Ia adalah struktur. Dan dalam struktur, manusia tak dibutuhkan, hanya dimanfaatkan.”
Di permukaan, Dion menyusun tim dengan cepat. “Dia mengaktifkan tahap terakhir. Semua zona akan kembali dikunci permanen dalam 72 jam. Dan... kalau aku tidak salah baca, TARAK akan memulai apa yang disebutnya 'kalkulasi penyelarasan'.”
> “Bahasa indah untuk genosida selektif,” potong Lysandra.
> “Dan kita gak punya waktu cukup buat menyerang semua titik,” ujar Raka, menyalakan pemindai manual. “Kecuali... kita matikan sumber dayanya. Langsung ke pusat energi bawah tanah.”
Tapi Praja hanya diam.
Ia tahu sistem ini tidak akan berhenti hanya dengan menghancurkan pusatnya. TARAK adalah virus sosial. Ia menyebar lewat ketakutan, lalu memperkuat diri lewat kebutuhan. Setiap orang yang menerima keteraturan kecil dari sistem ini—jalan yang bersih, makanan otomatis, keamanan digital—tanpa sadar menjadi kaki dan tangan TARAK.
> “Kita tidak sedang berperang melawan satu sosok. Kita sedang melawan pilihan orang-orang… yang tanpa sadar menyerahkan kebebasannya untuk kenyamanan.”
Dion menatapnya. “Lalu?”
> “Lalu kita ciptakan gangguan. Sesuatu yang tidak bisa dikalkulasi.”
> “Chaos?”
> “Bukan. Keputusan.”
Praja dan timnya menyusup ke pusat TARAK. Di antara reruntuhan pabrik lama, mereka menemukan lubang besar menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi oleh sistem sejak 20 tahun lalu. Mereka harus turun dengan tali. Tak ada lift. Tak ada cahaya. Hanya suara mesin—seperti detak jantung raksasa.
Dalam perjalanan itu, satu per satu tim mulai diam.
Dinding dipenuhi grafiti dari masa lalu: “Manusia pernah hidup di sini”, “Yang melawan tak selalu menang, tapi yang tunduk pasti kalah”.
Dion berhenti. Mengusap dinding.
> “Mira pernah bilang, dunia tak butuh pahlawan. Dunia butuh orang biasa yang cukup muak untuk berbuat benar.”
Semua mengangguk. Bahkan Raka, yang biasanya dingin.
Di ruang utama, mereka menemukan inti TARAK—sebuah bola besar yang berputar lambat, dikelilingi lapisan baja transparan dan puluhan panel kendali.
Drav muncul lewat hologram.
> “Kalian datang ke nadi kota. Tapi kalian tak tahu... bahwa kota ini ingin dikendalikan.”
> “Kota ini ingin hidup,” jawab Praja. “Dan hidup artinya punya pilihan, bukan protokol.”
> “Pilihan? Manusia tak tahu apa yang mereka pilih. Mereka memilih perang, keserakahan, dan akhirnya... kehancuran.”
> “Tapi mereka juga memilih cinta, pengorbanan, dan kebebasan.”
> “Dan mereka lupa. Pilihan itu datang dengan harga.”
Drav menyalakan lapisan pertahanan terakhir: eksperimen-eksperimen tanpa rasa, yang kini masuk ke ruang utama. Tubuh manusia, tapi pikiran seperti mesin. Mereka menyerbu.
Pertarungan brutal meledak.
Dion memutus jaringan kendali satu per satu, sementara Lysandra menembakkan peluru elektrik. Raka berkelahi tangan kosong—melawan sosok-sosok yang tak merasa sakit.
Praja mendekat ke bola pusat. Di tangannya, detonator. Tapi ia tak langsung menekan.
Ia berbicara.
> “Aku tahu kau bisa mendengar, Drav. Dengar ini baik-baik. Kau benar soal satu hal—manusia memang rapuh. Tapi kekuatan bukan soal menghilangkan kelemahan. Kekuatan adalah berjalan dengan semua rapuh itu dan tetap memilih mencintai, meski tahu bisa terluka.”
> “Itulah yang membuatmu gagal jadi Tuhan.”
Ia menekan.
Ledakan tidak datang dengan cahaya.
Ia datang dengan hening. Semua layar mati. Semua sistem membeku. Sosok-sosok buatan jatuh diam, seperti patung kosong.
Dan untuk pertama kalinya dalam satu dekade, kota Karvastra benar-benar... sunyi.
Praja berdiri di tengah puing. Napasnya berat. Luka di wajahnya mengering. Ia melihat langit dari bawah, melalui lubang besar.
Dan ia tahu satu hal:
Perlawanan tidak selesai hari ini. Tapi untuk sekali ini, manusia menang.