Kota setelah lenyapnya drav

Karvastra, 17 Hari Setelah Runtuhnya Drav.

Hujan turun tanpa henti. Tapi bukan hujan yang membersihkan—melainkan hujan yang membawa abu, partikel-partikel kecil dari reruntuhan masa lalu. Setiap tetesnya membasahi kulit dengan aroma logam dan sejarah yang terbakar.

Praja berjalan perlahan di antara puing, mengenakan mantel hitam lusuh. Tubuhnya masih terasa sakit. Tapi pikirannya lebih berat. Dunia belum damai, hanya kehabisan suara.

Lalu dia melihatnya.

Di antara potongan logam yang tertancap di lantai, di bawah balok beton besar yang nyaris menghancurkan tubuhnya, seorang perempuan terbaring. Nafasnya tipis. Separuh wajahnya tertutup debu, tapi mata itu—mata keperakan yang aneh dan nyaris tak masuk akal dalam warna kulit manusia—masih terbuka.

> “Tolong…” suara perempuan itu pelan, nyaris lenyap.

Praja memutar otak cepat. Ia menyingkirkan balok dengan susah payah, lalu mengangkat tubuh gadis itu. Saat disentuh, dia merasa sesuatu aneh—denyut nadi perempuan ini terasa lebih pelan dari manusia normal. Tapi hangat. Masih hidup.

Praja membawanya ke salah satu tempat perlindungan yang dulu disiapkan untuk para pemberontak—sebuah stasiun metro tua yang kini kosong. Di sana, ia bersihkan luka-lukanya, membungkus tubuh perempuan itu dengan selimut termal, dan menyimpan senjatanya tak jauh dari jangkauan. Ia belum bisa percaya.

Perempuan itu butuh dua hari untuk sadar.

Saat akhirnya membuka matanya, ia berkata dengan suara berat namun jernih:

> “Aku bukan siapa-siapa… tapi aku mengingat semuanya.”

Praja duduk di seberang, menatapnya.

> “Namamu?”

> “Aku tak yakin itu namaku. Tapi saat mereka mencoba membunuhku, mereka memanggilku Naresha.”

---

Misteri Naresha

Ia cantik, jauh melebihi deskripsi biasa. Rambut hitamnya panjang dan tebal, matanya berwarna logam seperti air raksa, dan kulitnya seperti porselen yang hidup. Tapi lebih dari itu: cara dia bergerak, cara dia melihat, seolah semua di sekitarnya adalah potongan data yang bisa dibaca dan dimengerti.

Praja perlahan menyadari, Naresha bukan sekadar manusia biasa. Dalam percakapan mereka, terungkap:

Ia adalah hasil eksperimen dari satu proyek masa lalu yang ditutup karena terlalu "berbahaya".

Drav bukan satu-satunya yang diciptakan—ada juga "penyimpan memori alternatif", manusia yang ditanamkan seluruh sejarah kekuasaan agar jika sistem runtuh, mereka bisa menjadi 'cetak biru' dari peradaban baru.

Naresha adalah satu dari hanya tiga subjek yang selamat. Dua lainnya sudah diburu dan dimusnahkan.

---

Pertarungan Pertama: Bayangan Lama

Di malam keempat, tempat persembunyian mereka diserang.

Tiga sosok bertopeng, berpakaian logam tipis, muncul dari lorong—bukan pasukan biasa. Mereka bukan sekadar pembunuh. Mereka adalah pemburu warisan.

> “Serahkan penyimpan memori,” salah satu dari mereka berkata. “Atau kau akan dikubur bersama kota ini.”

Praja menggenggam senjatanya. Tapi sebelum ia bergerak, Naresha berdiri.

> “Biar aku yang urus.”

Ia tidak punya senjata. Tapi gerakannya cepat, nyaris tak terlihat. Dalam sekejap, dua musuh tumbang—bukan dengan kekuatan brutal, tapi tekanan titik saraf, teknik gerak presisi, dan… kemampuan prediksi yang tak masuk akal. Yang ketiga berusaha lari—Praja menembaknya tepat di punggung.

> “Kau…” gumam Praja. “Apa kau manusia?”

Naresha menatapnya.

> “Aku bukan ciptaan sistem. Aku korban dari para pencipta.”