Duel praja dan Naresha

Lokasi: Reruntuhan Menara Komando Bawah Tanah, 43 Hari Setelah Runtuhnya Drav.

Suasana beku. Bukan karena dingin, tapi karena atmosfer di antara dua orang yang seharusnya satu tujuan, kini saling berhadapan.

Naresha berdiri di depan gerbang pusat penyimpan data terakhir—The Codex—pusat kode sejarah dan kebenaran yang pernah ditulis ulang oleh sistem Drav. Di tangannya, ia memegang kunci akses terakhir, sebuah chip berlapis kristal merah.

Praja tiba terlambat beberapa detik. Bajunya robek, wajahnya berdarah, dan matanya penuh amarah—bukan karena pengkhianatan, tapi karena kesadaran bahwa ia telah dibohongi. Naresha menyembunyikan sesuatu sejak awal: bahwa tujuannya bukan menghancurkan sistem, tapi menyalinnya.

> “Jangan lanjutkan, Naresha,” kata Praja pelan.

> “Ini bukan pencurian, ini penyelamatan,” jawab Naresha dingin. “Jika semua memori hilang… kita akan mengulang kesalahan yang sama.”

> “Dan kalau semua itu kau simpan, siapa yang akan kau pilih sebagai pewarisnya? Dirimu? Siapa yang menjamin kau tak akan menjadi Drav berikutnya?”

Naresha menatapnya. Bukan dengan kebencian, tapi kesedihan yang dalam. Tangannya mulai gemetar. Ia tidak ingin melawan Praja. Tapi jalan mereka sudah tak bisa menyatu.

> “Aku bukan pencipta sistem. Aku hanya penjaga sejarah.”

> “Penjaga yang memilih memihak adalah penjaga yang berhenti netral.”

Mereka saling menatap. Tak ada kata lagi. Hanya diam yang meledak menjadi gerakan.

Duel dimulai.

---

Duel: Emosi, Logika, dan Tubuh yang Terbakar Pilihan

Naresha menyerang lebih dulu—cepat, elegan, tapi tidak brutal. Ia masih menahan. Praja mengelak, menangkis, menyerang balik dengan gaya bertarung jalanan: tidak indah, tapi penuh niat membunuh.

Tendangan Naresha mengenai rusuk kiri Praja. Ia tersungkur, namun bangkit. Ia melemparkan puing logam ke arah Naresha, membuatnya mundur, lalu menyusul dengan pukulan ke arah leher—namun Naresha menangkis dengan siku, dan membalas dengan gerakan rotasi yang hampir mematahkan lengan Praja.

> “Aku tak ingin membunuhmu, Praja…”

> “Tapi kau bersedia hidup di atas mayatku.”

Mereka bertarung dalam lingkaran sempit, penuh puing. Darah bercucuran. Nafas semakin berat. Tapi lebih dari tubuh, pikiran mereka lah yang terluka.

Praja akhirnya berhasil menjatuhkan Naresha—membanting tubuhnya ke dinding besi. Chip kristal terlepas dari tangannya.

> “Kau benar,” kata Praja, berdiri di atas tubuhnya. “Dunia memang perlu diingatkan agar tak mengulang sejarah… Tapi tidak dengan memegang kendali atas kebenaran.”

> “Lalu biarkan semuanya hilang?” seru Naresha, menatapnya dari bawah. “Apa kita akan mengandalkan manusia untuk belajar sendiri, padahal mereka selalu memilih jalan mudah: dikendalikan?”

> “Lebih baik manusia belajar lewat luka, daripada hidup dalam kebohongan yang nyaman.”

Praja mengangkat chip itu. Ia menggenggamnya erat, lalu dengan satu gerakan cepat—menghancurkannya dengan hentakan ke dinding logam.

Chip hancur.

Naresha menutup mata. Diam. Ia tak menangis. Tapi tatapannya kosong, seperti jiwa yang kehilangan rumah terakhirnya.

---

Praja membalikkan badan. Ia tidak membunuh Naresha. Tapi tidak juga memeluknya.

> “Aku tahu kau akan membenciku,” katanya, berjalan menjauh. “Tapi setidaknya sekarang kita benar-benar bebas… dari segalanya.”

Naresha duduk dalam diam, tangan berdarah, napas berat. Di luar, hujan mulai turun lagi. Kali ini, tanpa abu. Hanya hujan.