Karvastra, tengah malam.
Di sebuah ruangan gelap, Naresha duduk sendirian. Tangannya penuh luka, bajunya robek, dan darah mengering di pipinya. Pertarungan dengan Praja belum lama terjadi, tapi bukan tubuhnya yang terasa sakit—melainkan bisikan lembut yang kembali datang, setelah bertahun-tahun terkubur oleh kebencian.
> “Jika aku tiada, jangan cari di langit…”
“Carilah aku di jantungmu yang tak mati.”
Suara gadis kecil itu terdengar jelas. Suaranya… suaranya sendiri.
Naresha memejamkan mata.
---
Penglihatan: Diri yang Hilang
Ia terbangun di sebuah ruangan putih. Kosong. Tak ada pintu, tak ada cahaya, hanya... satu kursi kecil. Di sana duduk seorang gadis kecil, mengenakan baju lusuh, rambut acak, mata membengkak karena menangis.
> “Kau… siapa?” tanya Naresha.
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya mulai menyanyi, perlahan.
> “Jika aku tiada…”
> “Berhenti!” bentak Naresha, tapi suaranya serak.
> “Apa kau takut denganku?” tanya gadis itu, suaranya pelan tapi menusuk.
> “Aku bukan takut... aku sudah mati.”
> “Tidak. Aku masih hidup. Di sini.” Ia menunjuk ke dada Naresha. “Aku adalah alasan kau masih membiarkan mereka hidup. Aku adalah alasan kau menyelamatkan wanita tua kemarin dari reruntuhan, padahal tak ada logika yang mendukungnya.”
Naresha menggeleng. “Itu bukan aku. Itu kelemahan.”
Gadis kecil itu berdiri. Langkahnya ringan, tapi setiap langkah mengubah ruangan—dinding putih menjadi langit malam, lampu menjadi bintang, dan hawa dingin berubah menjadi hangat.
> “Kalau kau benar-benar kuat, kenapa masih membiarkan lagu ini hidup?”
“Kalau kau benar-benar dingin, kenapa menangis waktu tubuhmu jatuh di tangan Praja?”
“Dan kalau kau benar-benar mati, kenapa aku masih di sini…?”
---
Kembali ke Dunia Nyata
Naresha tersentak. Ruangan gelap itu berubah kembali. Tapi matanya basah. Untuk pertama kalinya… ia menangis.
Ia berdiri perlahan, menatap tangannya yang bergetar. Tak ada perintah. Tak ada logika. Hanya satu rasa: rindu.
> Rindu pada ibu.
Rindu pada kebebasan.
Rindu pada siapa dirinya sebelum dunia merampasnya.
---
Arah Baru
Ia keluar dari ruangan.
Langkahnya lebih ringan. Tapi bukan karena beban hilang—melainkan karena ia memilih untuk menanggungnya sendiri. Tanpa sistem. Tanpa program. Tanpa perintah.
Ia bukan alat. Ia bukan monster.
> “Aku Naresha,” bisiknya.
“Tapi aku juga gadis kecil itu. Dan mulai sekarang… aku yang menulis akhirku sendiri.”