Lokasi: Puncak reruntuhan stasiun reaktor Karvastra—malam hari.
Angin keras menerbangkan debu panas dari ledakan sebelumnya. Di atas platform yang setengah runtuh, dua sosok berdiri: Praja, dengan pakaian sobek dan darah mengering di pelipis, dan Naresha, berdiri dengan mata merah menyala—organ clipnya masih aktif.
> “Kenapa kau kembali?” tanya Naresha, suaranya lebih dalam dari sebelumnya.
> “Karena kau belum kembali,” jawab Praja pendek.
Ia tahu... Naresha belum sepenuhnya menjadi dirinya lagi. Organ clip itu masih menahan sisi manusiawinya. Masih menjadikannya senjata.
Naresha mengangkat tangan. Sebuah pukulan logam menghantam perut Praja, membuatnya terlempar ke tembok. Tapi ia bangkit—lagi dan lagi.
> “Kau bukan monster,” ucap Praja, berdarah, tapi tegas. “Kau hanya dipaksa menjadi satu.”
> “Diam!” Naresha menyerang. Setiap pukulan makin berat, tapi juga makin goyah. Suaranya bergetar. “Jangan buat aku ragu!”
Praja menghindar, lalu menangkis, lalu... mendekapnya.
> “Kalau kau ingin membunuhku... lakukan. Tapi aku tahu kau tidak mau.”
Tubuh Naresha gemetar. Tangannya terangkat, siap menusuk... tapi tidak bergerak. Air mata mulai mengalir, dan suara kecil itu kembali menyanyi di kepalanya:
> “Jika aku tiada... jangan cari di langit...”
> “Berhenti… berhenti…” bisiknya. Tapi lagu itu tak mau berhenti. Itu bukan sistem. Itu kenangan. Itu... ibu.
Praja memanfaatkan momen itu—dengan satu gerakan cepat, ia meraih leher Naresha, merobek pelindung organ clip di bawah kulitnya, dan mencabut modul saraf yang mengikat sistem ke otaknya.
Seketika tubuh Naresha kejang, lalu jatuh...
---
Sunyi
Hanya suara angin yang terdengar. Naresha terbaring. Mata terbuka, tapi kosong. Ia tak sadarkan diri, namun wajahnya… tenang. Damai. Seperti tidur setelah mimpi buruk yang panjang.
Praja berlutut. Menatapnya dalam diam.
> “Akhirnya,” ucapnya. “Kau bebas.”
Ia mengangkat tubuh Naresha dan mulai berjalan turun dari reruntuhan.
---
Kembali ke Manusia
Keesokan harinya, di markas kecil kelompok penyintas, Naresha terbaring di tempat tidur darurat. Wajahnya pucat, tapi damai. Praja duduk di dekatnya, memandangi sisa-sisa organ clip yang telah ia hancurkan.
Lysandra mendekat.
> “Kau yakin ini pilihan yang benar?” tanyanya pelan.
Praja menatap Naresha, lalu berkata:
> “Dia bukan senjata. Bukan alat perang. Dia manusia. Dan manusia berhak mendapat kesempatan kedua.”
Dari luar tenda, suara anak kecil terdengar menyanyikan lagu yang sama:
> “Carilah aku... di jantungmu yang tak mati.”
Dan untuk pertama kalinya sejak perang berakhir... Praja tersenyum.