Waktu: Tiga hari setelah Naresha tersadar. Lokasi: Markas penyintas.
Ruangan itu kecil, pengap, dindingnya dari plat besi dan triplek bekas. Tidak ada kaca, hanya tirai sobek yang jadi pembatas ruang. Naresha duduk bersandar di dinding. Rambutnya acak-acakan, matanya kosong, kulitnya pucat. Di tangannya, sepotong organ clip rusak—sisa tubuh lamanya.
Praja masuk membawa semangkuk sup hangat.
> “Makanlah. Badanmu belum pulih.”
Naresha tak menjawab. Ia hanya menatap sup itu sejenak, lalu berbalik menatap jari-jarinya—yang dulu menghancurkan banyak nyawa.
> “Berapa yang sudah kubunuh?” tanyanya datar.
Praja terdiam.
> “Aku ingin tahu,” lanjut Naresha. “Berapa banyak orang yang aku koyak… saat aku bukan aku.”
> “Itu bukan dirimu, Resha. Itu sistem—”
> “Sistem? Tapi tangan ini, mata ini, tubuh ini... masih aku, bukan?” suaranya naik. “Jadi, berapa?”
Ia membuang sup itu ke lantai.
> “Kau menyelamatkanku, tapi kau tak bisa menyelamatkan apa yang tersisa di kepalaku.”
Praja perlahan duduk di lantai, di dekatnya.
> “Aku tak pernah berniat menyelamatkanmu dari masa lalu. Tapi aku percaya kau masih bisa menyelamatkan masa depanmu.”
Naresha menutup wajahnya. Tangisnya pelan, terpendam, seperti suara hujan pertama di kota mati.
---
Malam Hari
Naresha berdiri di depan cermin kecil yang retak. Ia melihat bayangan dirinya: cantik, tapi rusak. Bukan luka di kulit, tapi luka di jiwa. Ia menempelkan organ clip rusak itu di dadanya, lalu berbisik:
> “Aku tak layak hidup.”
Tapi saat ia hendak meremukkan bagian terakhir itu, tangan seseorang menahan.
Lysandra.
> “Kalau kau merasa bersalah, jangan mati. Hadapi itu. Hukummu bukan kematian... tapi menjadi manusia. Dan itu jauh lebih menyakitkan.”
Naresha gemetar.
> “Aku tidak tahu caranya…”
Lysandra tersenyum, lembut dan getir.
> “Kita semua di sini belajar. Tapi kau tidak sendiri.”
---
Keesokan Harinya
Naresha duduk di luar tenda, menatap matahari pagi. Untuk pertama kalinya, ia mendengar tawa anak kecil, melihat tanaman tumbuh di sela puing, dan merasakan… hangat.
Ia belum bebas. Tapi ia mulai bernapas.
Dan untuk pertama kalinya… ia menutup matanya bukan untuk membunuh, tapi untuk memaafkan.