Waktu: 1 minggu setelah duel Naresha–Velgran
Tempat: Bunker utama, lantai bawah markas penyintas
---
1. Diam yang Menyesakkan
Praja duduk sendiri di ruang strategi. Cahaya hologram memantul di matanya yang merah, bukan karena begadang, tapi karena tak sanggup menangis lagi. Semua sudah terlalu berat. Terlalu dalam.
Di depannya, foto-foto bekas pejuang yang mati dalam perang melawan TARAK terpampang: anak-anak muda, orang tua, bahkan bayi. Sebagian wajahnya ia kenal. Sebagian lagi… mati untuk nama yang tak mereka sebut: Praja.
> “Apa aku menyelamatkan mereka… atau menyeret mereka ke neraka versi lain?” bisiknya.
---
2. Bayang-Bayang Masa Lalu
Dalam mimpinya, ia kembali ke masa kecil. Kota kecil. Ibunya yang meninggal karena sistem yang menolak memberi bantuan medis tanpa izin digital.
> “Kau tak cukup penting,” begitu kata petugas algoritmik waktu itu.
Sejak hari itu, Praja hidup untuk menghancurkan ketidakadilan. Tapi kini, ia malah dihormati, bahkan ditakuti. Wajahnya dicetak di selebaran. Namanya dipakai untuk menakuti anak-anak nakal.
Dan itu membuatnya muak.
---
3. Pertentangan dengan Naresha
Malam itu, Naresha datang, membawa bubuk luka untuk tangannya yang luka. Tapi ketika ia mencoba bicara…
> “Kenapa kau selalu menyendiri?” tanya Naresha.
“Karena setiap suara dari luar, adalah keraguan yang tak bisa kutolak,” jawabnya.
> “Kau takut salah?”
“Aku takut menjadi benar seperti musuh yang kita bunuh.”
Ia tak benci kekuasaan. Tapi ia tahu betul: kekuasaan akan terus mengubahmu, bahkan saat kau bilang tidak.
---
4. Penyesalan yang Tertahan
Praja berjalan ke ruang catatan tempur—arsip senyap yang menyimpan strategi gagal, korban tak tercatat, dan kenangan yang terlalu pedih untuk diingat. Di satu dinding tua, ia melihat tulisan tangan yang telah pudar, ditulis oleh Lysandra sebelum misi bunuh diri melawan Drav:
> “Karena percaya itu lebih menyakitkan daripada terluka.”
Ia menyentuh tulisan itu. Lysandra memang selamat. Tapi kata-kata itu tak pernah ia hapus. Mungkin karena bagi mereka, luka yang belum sembuh adalah bagian dari perlawanan juga.
> “Aku ingin percaya padamu, Lys,” bisik Praja.
“Tapi aku bahkan takut percaya pada diriku sendiri.”
---
5. Percakapan Hantu: Praja vs Bayangan Dirinya
Di kamar kosong, Praja bermimpi berdiri di hadapan dirinya sendiri—versi lain, dengan mata yang dingin dan senyum sinis.
> “Kau pikir dunia bisa selamat karena belas kasihan?”
“Tidak. Tapi dunia tak layak diselamatkan dengan darah yang tak tahu kenapa ia ditumpahkan.”
Bayangan itu tertawa.
> “Kau sudah jadi simbol. Tak bisa kembali jadi manusia biasa.”
“Kalau simbol ini palsu, maka aku akan hancurkan juga.”
---
6. Kesimpulan Batin
Di tengah malam, Naresha menemukan Praja sedang menulis. Bukan rencana perang. Tapi surat untuk dirinya sendiri:
> “Jika suatu hari aku menjadi tiran, jangan selamatkan aku. Bunuh aku. Sebelum aku lupa bahwa aku hanya manusia yang ingin hidup bebas, bukan jadi dewa baru.”
7. Suara Ledakan
Baru saja Naresha hendak membuka mulut untuk menanggapi surat yang ditulis Praja, suara ledakan besar mengguncang markas. Lantai berguncang. Debu turun dari langit-langit. Lampu cadangan menyala merah menyala.
> DUUUARRRRR!
Sirine otomatis meraung. Hologram strategi di meja langsung menampilkan notifikasi berkedip:
[ALERT] – LANTAI ATAS DIJEBOL – IDENTITAS PENYUSUP: UNKNOWN CLASS – LEVEL A+
Praja langsung berdiri. Mata yang tadi suram, kini tajam. Naresha menyambar senjatanya tanpa tanya.
> “Mereka takkan biarkan kita bernapas lebih lama,” gumam Naresha.
> “Atau mungkin,” kata Praja lirih, “seseorang yang kita kubur… belum benar-benar mati.”
Langkah mereka pun berlari menuju tangga darurat, sementara dari atas, suara jeritan, tembakan, dan suara mekanik menyeruak. Ada sesuatu—atau seseorang—yang lebih mengerikan dari TARAK lama… dan ia baru saja tiba.
8. Sang Bayaran: GRAVMOR
Di permukaan, di antara reruntuhan yang mulai membentuk zona hitam terlarang, sebuah truk logam raksasa meledak dari bawah tanah. Dari dalamnya, sesosok makhluk muncul: tinggi lebih dari dua meter, tubuhnya dilapisi tulang keras seperti baja, dan matanya—merah seperti bara. Kulitnya hitam keunguan, bercahaya samar dari aliran energi biokimia yang menggantikan darah.
Namanya GRAVMOR. Dan ia bukan makhluk biasa.
Dia tidak bicara. Dia tidak punya rasa sakit. Dia adalah senjata hidup, diprogram hanya untuk satu hal:
> Menghancurkan siapa pun yang menentang perintah dari "Raja Gelap Karvastra"—MAELOK.
---
9. Pertarungan Pertama
Praja dan Naresha muncul di permukaan tepat saat Gravmor menjatuhkan tiga penjaga bunker dalam satu gerakan brutal. Tanpa sempat berbicara, makhluk itu melesat ke arah mereka, mengayunkan tangan besar yang bisa menghancurkan beton.
> Blarrr!
Praja terpental menabrak dinding. Naresha melemparkan granat plasma, tapi Gravmor hanya menyerap ledakannya.
> “Dia punya perisai biogenetik. Ini bukan cuma tentara—ini eksperimen neraka,” kata Naresha terengah.
> “Bukan hanya eksperimen,” sahut Praja sambil berdiri. “Dia pesan. Dan aku ingin tahu… siapa pengirimnya.”
---
10. Mata Rantai yang Hilang
Di kejauhan, dari menara rusak, seorang pria memperhatikan mereka dengan monokel berlayar digital. Senyumnya lebar. Wajahnya tampan, rapi, tapi sinar matanya penuh kekacauan.
Maelok—raja mafia yang lahir dari reruntuhan TARAK, kini membangun kekaisaran bayangan dengan uang, darah, dan makhluk seperti Gravmor. Ia bukan ideologi. Ia bukan algoritma. Ia adalah kekuasaan yang mewujud—dan berbisik dari kegelapan:
> “Kalau sistem gagal, biar kekacauan yang mengatur ulang. Dan Praja… adalah kunci kehancuran terakhirnya.”