Duel

Duel Praja vs Korran — Dalam Reruntuhan Pabrik

Debu beterbangan di udara. Lampu redup dari sisa-sisa mesin yang terbakar menyorot ke arah dua sosok yang bertarung tanpa ampun. Praja menghela napas dalam-dalam, matanya tajam menatap Korran yang berdiri tegap dengan otot kekar berdenyut, kulitnya seperti batu karang retak-retak.

Korran menggeram, memukul tanah keras dengan tinjunya. “Aku akan hancurkan kamu, manusia sombong!”

Praja menjawab dengan senyuman dingin, “Aku bukan manusia sombong. Aku hanya manusia yang tak mau mati tanpa sebab.”

Serangan Pertama

Korran melompat maju, pukulan besarnya menghantam ke arah dada Praja. Tapi Praja menghindar gesit, menggunakan kecepatan dan kelincahan yang selama ini diasah di medan perang. Sebuah tendangan menyambar sisi perut Korran, membuatnya mundur sejenak.

Amarah yang Meledak

Korran marah, menyerang dengan serangkaian pukulan brutal. Praja merasakan setiap pukulan itu seperti menghantam batu bata, tapi ia bertahan. Dalam pikirannya berkecamuk, bayangan ibu yang meninggal, teman yang gugur, dan sistem yang penuh kebohongan. Semua itu menguatkan tekadnya.

Menggunakan Logika

Praja menyadari kemampuan regenerasi Korran membuat pertarungan fisik langsung terlalu berisiko. Ia mulai mengincar titik lemah—bagian belakang leher Korran yang terlindung lapisan keras.

Dengan kelicikan, Praja menipu Korran dengan gerakan pura-pura menyerang ke kiri, lalu melompat ke kanan dan mendaratkan tusukan pisau tajam ke leher mutan itu. Korran meraung kesakitan, darah hitam pekat mengucur.

Kesadaran dan Kemenangan

Namun, regenerasi Korran bekerja cepat. Praja tahu waktunya terbatas. Ia mengumpulkan seluruh tenaga dan kemarahannya, kemudian melepaskan pukulan terakhir yang menghantam wajah Korran dengan keras. Korran terjatuh, kehilangan kesadaran.

Praja berdiri terengah-engah, napasnya berat. “Ini baru permulaan... tapi aku akan buat kalian semua tahu arti kata ‘keadilan’.”

Duel Naresha vs Sylas — Lorong Gelap Pabrik Terkutuk

Udara pengap dan bau zat kimia menusuk hidung. Lorong pabrik yang remang-remang menjadi arena pertarungan antara Naresha, sang pejuang tangguh dengan kemampuan bertarung yang memadukan kecepatan dan kecerdasan, melawan Sylas, sosok kurus tapi mematikan, dengan senyum licik yang tak pernah lepas.

Sylas melangkah perlahan, membawa dua botol kecil berisi racun pekat di kedua tangan.

> “Kau tahu, Naresha,” katanya dengan suara berbisik, “Racun ini tidak hanya membunuh tubuh, tapi juga jiwa.”

Naresha membalas dengan dingin, “Jangan sok pintar. Aku sudah lebih dari cukup merasakan racun dalam dunia ini.”

Pertarungan Awal

Sylas mulai dengan melemparkan cairan racun ke arah Naresha. Tapi dengan kelincahan luar biasa, Naresha melompat ke samping, menghindar dan membalikkan posisi.

Ia menutup jarak dengan cepat, menyerang dengan serangkaian pukulan yang diarahkan untuk melumpuhkan tangan Sylas agar tidak bisa melempar racun lagi.

Permainan Mental

Sylas tertawa kecil, “Cepat sekali kau, tapi bisakah kau melawan ketakutanmu sendiri?”

Sylas mulai mengucapkan kalimat-kalimat provokatif, memancing emosi Naresha agar kehilangan fokus.

Namun Naresha menutup telinganya, menenangkan diri dengan menarik napas panjang, lalu mengingat lagu ibu yang dulu ia dengar sewaktu kecil — lagu yang selalu memberinya ketenangan.

Serangan Balik

Dengan fokus kembali, Naresha melancarkan serangan telak yang membuat Sylas terdesak. Ia mengambil kesempatan itu untuk menendang botol racun yang dipegang Sylas, pecah di lantai, mengeluarkan asap beracun.

Namun udara beracun itu malah membuat Sylas sendiri tersengal, karena ia sudah terlalu lama menghirup zat itu tanpa perlindungan.

Akhir Duel

Dalam keadaan terengah-engah dan melemah, Sylas mencoba menyerang terakhir. Tapi Naresha dengan sigap menggunakan pisau kecilnya menusuk bahu Sylas, memaksa lawannya terjatuh.

Sylas tersungkur, tatapannya kosong.

Naresha berdiri tegak, napasnya berat tapi matanya tajam.

> “Jangan pernah bawa racun ke dalam jiwaku,” katanya.

Duel Praja vs Kael Dran — Atap Menara Limbah Kota Tua

Malam penuh angin. Hujan ringan membasahi reruntuhan kota. Di atas menara logam berkarat, Kael berdiri dengan jubah panjang hitam, senjatanya: dua bilah pedang karbon yang menyatu di punggung. Ia sudah menunggu.

Praja muncul dari kegelapan, tubuh penuh luka, wajah keras seperti batu.

Tak ada kata. Tak ada peringatan.

Bentrokan Pertama

Kael menyerang duluan — lompatan nyaris tanpa suara, dua bilah menyilang ke arah leher Praja. Tapi Praja memblokir dengan bilah besi pendek yang ia temukan di perjalanan. Dentuman logam memekakkan telinga.

Praja tak bisa menandingi kecepatannya. Tapi Kael tak bisa membendung daya tahan dan niat hidup Praja.

Pertarungan Fisik Brutal

Kael menghujamkan pukulan ke dada Praja. Terasa seperti dihantam palu. Tapi Praja tak mundur. Ia membalas dengan menghantam wajah Kael menggunakan helm tua yang ia pakai sejak pertempuran melawan Gravmor.

Kael terpental. Tapi masih tanpa suara. Tak ada jerit, tak ada amarah. Hanya tatapan dingin yang makin menusuk.

Pukulan yang Mengguncang Batin

Saat Kael berhasil menusuk lengan Praja, ia mengaktifkan chip suara. Seketika terdengar rekaman suara anak kecil.

> “Ayah, kenapa kita nggak boleh nolong mereka?”

Suara itu… menghantam batin Praja. Ia ingat… dulu Kael pernah punya keluarga. Dan keluarganya dimusnahkan oleh sistem yang sama. Lalu Kael dibentuk, dijadikan mesin.

Praja ragu sesaat.

Dan Kael memanfaatkan itu. Bilahnya menghantam bahu Praja, nyaris merobek tulang.

Akhir Duel

Tapi justru rasa sakit itulah yang membangkitkan kembali tekad Praja.

Ia berteriak. Untuk pertama kalinya, Kael goyah.

Praja mengunci leher Kael dari belakang dan menjatuhkan mereka berdua dari menara, menabrak tabung logam di bawah.

Kael terkapar, bilahnya terpental.

Praja berdiri goyah. Lalu menghancurkan chip suara Kael, dan berkata lirih:

> “Kau bukan mesin. Dan aku bukan dewa. Kita cuma manusia yang ditipu.”

Waktu: Tengah malam, 3 hari setelah serangan bunker

Tempat: Lab mental buatan Maelok – sebuah ruang virtual dalam kapsul mental interogasi

---

Pembukaan

Dion sadar di sebuah ruangan putih, tak bertepi. Cermin mengelilingi ruangan, memantulkan bayangan dirinya ribuan kali lipat. Tapi... setiap pantulan menunjukkan versi berbeda dari dirinya: satu penuh darah, satu memakai seragam TARAK, satu berlutut di genangan air mata.

> "Selamat datang di ruang kebenaran," suara itu datang dari atas. Datar. Tak bernyawa.

Tiba-tiba, di depannya, muncullah sosok berjas putih—tanpa wajah, hanya kilatan arus listrik di kepala. Agen Psikoteknologis Maelok. Seorang “pemrogram trauma”.

---

Pertarungan Dimulai

"Kenapa kau tak melawan?" ejek sang agen. "Karena kau tahu ini semua hanya ilusi?"

Dion mengangkat tangannya—langsung muncul layar hologram dengan program pemecah logika. Ia membalas: "Bukan ilusi yang kutakutkan. Tapi saat ilusi jadi pelarian."

Ledakan cahaya! Sistem mulai bentrok. Agen menginjeksi memori palsu: Dion melihat Praja menembak Mira, Naresha tertawa saat Lysandra sekarat, dan bahkan dirinya mengkhianati pasukan penyintas.

Dion hampir jatuh. Tangan gemetar.

> "Kau cuma informasi yang bingung dengan dirinya sendiri," bisik sang agen.

Tapi Dion tersenyum. "Kalau aku hanya informasi... maka aku bisa menulis ulang diriku."

Plot twist: Dion mengakses ulang trauma aslinya—kematian ibunya karena kegagalan sistem diagnosis AI. Trauma itu bukan kelemahan, tapi sumber kekuatan. Ia membalik sinyal interogasi, menjadikan rasa sakit sebagai firewall.

---

Akhir Duel

Ruang mulai retak. Cermin hancur. Agen berteriak, kehilangan kendali.

> “Kau tak bisa menang… bukan di dunia yang kami desain!”

> “Kalau dunia ini ciptaanmu, biar aku jadi virusnya,” jawab Dion.

Dengan satu sentuhan, Dion menanamkan code disruptor dalam jaringan mental Maelok. Agen terbakar dari dalam, tubuhnya hilang jadi glitch digital.

---

Penutup

Dion bangun dari kapsul interogasi, lemas. Di sampingnya: Praja, Naresha, dan dua penyintas yang menyelamatkannya.

> "Kau menang?" tanya Praja.

Dion menghela napas. "Aku menang... tapi itu artinya aku ingat semuanya. Dan tak ada cara untuk melupakan."