Waktu: Malam badai
Tempat: Atas menara relay Maelok – tempat sinyal pengendali organ-klip disiarkan ke seluruh wilayah
---
Pembukaan
Petir menyambar. Hujan mengguyur besi panas di atap menara.
Praja menembus pintu terakhir dengan peluru terakhir. Tubuhnya penuh luka, tapi matanya tetap dingin.
Zhaer sudah menunggu. Tubuhnya besar—empat tangan, dua kaki logam, dan helm transparan memperlihatkan otaknya yang dipenuhi kabel.
> “Praja,” gumam Zhaer. “Banyak orang menyebutmu harapan. Aku menyebutmu keterlambatan.”
Praja tak menjawab. Ia maju perlahan.
> “Satu langkah lagi,” lanjut Zhaer. “Dan aku akan mengubah sinyal ini jadi gelombang pemusnah. Semua organ-klip akan menghanguskan pemiliknya.”
> “Kalau kau yakin bisa melakukannya… kenapa masih menunggu?”
“Karena aku ingin membunuhmu dulu.”
---
Pertarungan Dimulai
Zhaer menyerang cepat: dua tangan menghantam dari samping, dua lagi menusuk dengan pisau energinya. Praja menahan dengan pisau pendek dan sabetan senjata api kecil, tapi kalah tenaga.
Mereka saling dorong. Hantaman Zhaer melemparkan Praja ke panel listrik—menghancurkan setengah sistem.
Petir menyambar dari luar, memperlihatkan siluet keduanya—manusia vs monster.
> “Aku dibangun dari kehancuran,” teriak Zhaer. “Aku prototipe kesempurnaan Maelok!”
> “Kau bukan kesempurnaan. Kau... sisa dari sistem yang takut mati,” balas Praja.
---
Fase Kedua
Zhaer melepas helm. Otaknya terbuka, bercahaya. Ia masuk mode overdrive. Gerakannya makin cepat. Ia menebas, menghancurkan lantai, menendang tiang penyangga.
Praja tertinggal. Bahunya luka parah. Tapi ia menggigit kain bajunya, membalut luka, lalu menyusup di bawah tiang roboh. Di sanalah ia memasang granat pemutus sinyal—diam-diam.
Zhaer tertawa.
> “Kau kalah.”
“Belum,” kata Praja pelan. “Tapi kau… sudah terputus.”
Praja menekan detonator. Ledakan kecil, tapi cukup untuk merusak chip kontrol Zhaer.
Tubuh Zhaer tersendat. Gerakannya kacau. Salah satu tangannya menusuk dada sendiri.
> “Tida—AKU—AKU—”
Praja mendekat dan menghantam kepala Zhaer dengan palu tangan. Berkali-kali. Sampai otak, mesin, dan harapan tirani itu hancur berserakan.
---
Penutup
Hujan masih turun. Praja jatuh terduduk. Ia menatap ke arah panel yang kini mati. Di tangannya, alat pemancar darurat. Ia bicara pada semua penyintas:
> “Pemancar musuh telah hancur. Tapi musuh tak pernah berupa menara atau senjata. Musuh selalu… adalah rasa puas menjadi tuan atas penderitaan orang lain.”