Waktu: Beberapa menit sebelum penyerbuan ke ruang utama Maelok
Tempat: Ruang kendali bawah tanah, pusat akses ke sistem biologis Maelok
---
SUASANA
Lorong-lorong bergema oleh alarm. Lampu darurat menyinari dua sosok yang berdiri di depan pintu besi besar: Lesmana dan Praja.
Di antara mereka: kebisuan panjang. Senjata diturunkan, tapi tangan mengepal.
> Praja: “Kau terlalu jauh.” Lesmana: “Kau terlalu lambat.”
Mereka tahu, kata-kata tak cukup. Maka tubuh yang bicara.
---
Duel
Lesmana melompat lebih dulu. Tinju keras mengarah ke wajah Praja, tapi ditangkis dan dibalas tendangan ke rusuk.
Tubuh menghantam dinding logam. Mereka saling dorong, saling pukul, saling bertarung bukan karena benci, tapi karena kekecewaan—pada dunia, pada pilihan, pada satu sama lain.
> Lesmana: “Kau masih percaya perubahan?” Praja: “Aku percaya, kalau kita diam... Maelok menang.”
Darah mengalir. Nafas memburu. Tapi tak satu pun berniat membunuh.
Hingga akhirnya… mereka berhenti.
Lesmana tersungkur, tertawa lirih.
> Lesmana: “Kita ini dua kutub dari tragedi yang sama.” Praja: “Maka biarkan tragedi ini punya akhir.”
Praja mengulurkan tangan. Lesmana menatap sejenak… lalu menerima.
---
Penutup Adegan
Pintu ke ruang Maelok terbuka otomatis.
Di dalam sana, horor dan kekuasaan menanti.
Dua musuh lama berjalan berdampingan—tidak sebagai saudara, tidak sebagai sahabat, tapi sebagai dua manusia terakhir yang belum tunduk.
> “Setelah ini,” kata Lesmana, “kita tetap tidak akan sepakat.”
“Tak perlu,” jawab Praja. “Yang penting… Maelok runtuh.”
Momen Sebelum Badai
Lorong gelap bergetar oleh suara alarm dan dentuman mesin. Cahaya merah menyala menyilaukan wajah Praja dan Lesmana yang berdiri berdampingan, tapi jarak di antara mereka masih terasa tebal.
Praja menoleh ke Lesmana, mata mereka bertemu untuk sekejap, ada kilatan pengertian yang sulit diucapkan.
Praja:
“Dulu, aku kira kau adikku. Tapi kau bukan. Kau adalah bayangan yang selalu aku hindari.”
Lesmana tersenyum getir.
Lesmana:
“Aku juga dulu mengira kau musuh. Tapi sekarang aku tahu, kita bertarung bukan untuk satu sama lain... tapi untuk membebaskan dunia ini dari rantai yang lebih kejam.”
Praja menghela napas, menggenggam tangan Lesmana dengan erat.
Praja:
“Kita tak harus sepakat tentang masa lalu. Yang penting, kita melangkah bersama sekarang.”
Lesmana mengangguk, matanya menyiratkan tekad yang sama.
Lesmana:
“Untuk semua yang hilang... dan untuk yang masih bisa kita selamatkan.”
Pintu berat terbuka perlahan, memperlihatkan kegelapan yang penuh ancaman di baliknya.
Keduanya melangkah maju, bukan sebagai musuh, bukan sebagai saudara, tapi sebagai pejuang terakhir yang menolak menyerah.