Pertempuran

Hari Ketika Kita Menolak Menyerah

Tempat: Kompleks bawah tanah pusat data dunia

Waktu: Beberapa saat setelah pertarungan Lesmana–Praja usai

Lorong-lorong logam bergetar hebat. Ledakan demi ledakan mengguncang dinding bunker utama. Suara Maelok menggema melalui speaker tua, setiap katanya menusuk seperti belati.

> “Dunia ini tidak butuh pahlawan. Dunia butuh pengatur. Dan aku adalah perhitungan terakhir dari semua pilihan bodoh kalian.”

Tapi hari ini, para penyintas menolak dikendalikan.

Praja dan Lesmana berdiri di depan gerbang pusat kendali Maelok, tubuh penuh luka, tapi mata menyala oleh tekad.

Naresha, meski masih belum pulih sepenuhnya, berjalan maju dengan langkah mantap. Tubuhnya masih setengah sibernetik, tapi jiwanya kembali manusia.

Dion muncul dari belakang, membawa rangkaian alat peledak dan gangguan sinyal.

> “Aku tak bisa bertarung seperti kalian. Tapi kubuatkan mereka tuli dan buta selama 10 menit. Manfaatkan itu.”

Lysandra, dengan luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh, berdiri di samping Naresha. Ia membuka pelindung pergelangan tangannya dan menyalakan medan perisai kecil.

> “Kau pikir kami akan menyerah setelah sejauh ini, Maelok? Kami pernah mati. Dan kami kembali bukan untuk tunduk.”

Rencana Terakhir Dimulai.

Semua penyintas menyebar:

Lesmana maju ke garis depan, menghancurkan mutan dengan tinju secepat badai.

Praja fokus ke arah Maelok, menghadapi pria gila itu dengan strategi yang dibangun dari pengalaman perang bertahun-tahun.

Naresha dan Lysandra menahan serangan makhluk-makhluk biologis yang bermutasi dengan kecepatan tinggi.

Dion menyusup ke pusat server, mengacakkan koordinasi pasukan Maelok.

Pertarungan menjadi simfoni kekacauan dan keberanian.

Maelok akhirnya turun tangan sendiri. Ia memakai exo-suit berteknologi tinggi, dipersenjatai dengan lengan mekanik, pelindung energi, dan senjata berbasis suhu mutan.

> “Kalian bukan pasukan. Kalian luka yang belum sembuh. Dan aku adalah racunnya!”

Tapi itu salah.

Justru karena mereka luka, mereka jadi tak bisa dibunuh oleh rasa takut.

Klimaks:

Maelok mengangkat Praja dan menghantamkannya ke dinding.

Maelok:

“Lihat dirimu. Pemimpin para bangkai. Apa kau pikir kebenaran menyelamatkanmu?”

Praja menatap Maelok, darah mengalir di keningnya.

> “Tidak. Tapi kebenaran membuat kami memilih untuk tidak jadi sepertimu.”

Lesmana menyerbu, menendang Maelok dengan keras. Praja bangkit, mereka bertarung berdampingan.

Naresha menembakkan peluru pembekuan ke sendi exo-suit Maelok. Lysandra menusukkan bilah listrik ke punggungnya. Dion mengaktifkan overload sistem kendali Maelok.

Akhirnya…

Praja dan Lesmana melompat bersamaan, menghantamkan pukulan terakhir ke dada Maelok.

> “Untuk semua yang tak pernah diberi kesempatan hidup!”

Boom.

Maelok terpental, tubuhnya roboh. Exo-suitnya hancur, dan monokelnya retak. Dunia mendadak hening.

Penutup:

Seluruh penyintas berdiri, luka dan lelah. Tapi mereka hidup.

Dan di tengah puing-puing, satu hal menjadi jelas:

> Hari ini… bukan tentang menang. Tapi tentang menolak tunduk.

Dan itu, lebih kuat dari kemenangan.